Ular Cabai Vs King Cobra: Mana yang Paling Berbahaya?

Ular Cabai Vs King Cobra: Mana yang Paling Berbahaya?

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Minggu, 12 Okt 2025 13:56 WIB
Ilustrasi ular cabe
Ilustrasi ular cabai. Foto: dok. Laman Thai National Parks
Solo -

Bayangkan dua ular dengan pesona yang sama memikatnya, satu berwarna biru menyala dengan kepala merah terang, satunya lagi mampu berdiri tegak dan menatap manusia sejajar mata. Keduanya tampak menakjubkan, tapi di balik keindahannya tersimpan racun yang bisa mengakhiri hidup dalam hitungan menit. Inilah ular cabai besar (Calliophis bivirgatus) dan king cobra (Ophiophagus hannah), dua spesies yang melegenda.

Meski sama-sama mematikan, cara keduanya menyerang benar-benar berbeda. Ular cabai bekerja seperti 'arus listrik hidup' yang membuat otot korban kaku tak berdaya, sementara king cobra mematikan sistem pernapasan dengan satu suntikan racun saraf yang luar biasa banyak. Satu mengandalkan kecepatan molekul, satunya lagi kekuatan volume racun.

Siapa yang lebih berbahaya, si kecil dengan racun tercepat di dunia atau sang raja ular yang bisa membunuh gajah dengan satu gigitan? Jawabannya tidak sesederhana itu. Yuk, simak pembahasannya sampai akhir dan temukan siapa sebenarnya penguasa sejati di antara dua ular paling beracun di Asia ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poin utamanya:

  • Ular cabai besar punya racun saraf calliotoxin yang membuat seluruh otot korban berkontraksi terus-menerus hingga tak bisa bernapas.
  • King cobra dapat menyuntikkan hingga 600 mg racun yang melumpuhkan saraf pernapasan hanya dalam beberapa menit.
  • Ular cabai lebih unggul dari segi potensi racun, tetapi king cobra jauh lebih berbahaya bagi manusia karena volume racunnya besar dan serangannya cepat fatal.

ADVERTISEMENT

Apakah Ular Cabai Berbahaya?

Peneliti dari University of Queensland menemukan bahwa ular cabai besar (Calliophis bivirgatus) memiliki jenis racun yang sama sekali berbeda dari ular lain. Racunnya mengandung calliotoxin, zat yang langsung menyerang sistem saraf dan membuat saluran listrik di dalam tubuh tidak bisa berhenti bekerja.

Begitu racun masuk ke dalam tubuh, otot korban akan berkontraksi terus-menerus. Akibatnya, korban tidak bisa rileks dan bernapas. Efeknya bukan lumpuh lemas seperti pada gigitan kobra, melainkan kaku dan kejang hebat, mirip serangan listrik di seluruh tubuh.

Daya racunnya juga luar biasa. Seekor ular dewasa dengan panjang lebih dari satu meter bisa menghasilkan sekitar 150 mg racun kering dalam sekali pemerahan. Jumlah itu sangat besar untuk ukuran tubuh sekecil itu.

Dalam uji laboratorium, racun ular cabai besar menyebabkan kontraksi otot langsung dalam hitungan detik, dan angka toksisitasnya (LDβ‚…β‚€) hanya 0,7-0,8 mg per kg berat badan. Dosis tersebut sudah untuk membunuh hewan percobaan dengan cepat. Para ilmuwan menilai racun ini bekerja hampir secepat racun kalajengking atau keong laut, karena sama-sama menyerang saluran natrium di saraf yang mengatur pernapasan dan gerak otot.

Itulah sebabnya sebagian besar kasus gigitan ular cabai besar yang pernah tercatat berakhir fatal. Korban biasanya kehilangan kemampuan bernapas sebelum sempat mendapat pertolongan.

Berbeda jauh dengan kerabat besarnya, ular cabai kecil (Calliophis intestinalis) memiliki racun yang jauh lebih ringan. Penelitian dari Universiti Malaya menunjukkan bahwa racun Calliophis intestinalis didominasi oleh enzim umum seperti phospholipase dan metalloprotease, bukan racun saraf kuat seperti calliotoxin.

Ketika diuji pada hewan, bahkan dosis tinggi sekalipun tidak menyebabkan kematian. Efeknya terbatas pada nyeri, pembengkakan, dan kelumpuhan otot sementara yang hilang setelah beberapa jam.

Racun ular cabai kecil hanya menyerang jaringan di sekitar luka gigitan. Ia dapat merusak otot secara lokal, menimbulkan bengkak dan rasa panas, tetapi tidak berpengaruh pada sistem saraf atau jantung. Oleh karena itu, walaupun tetap harus dihindari, gigitan ular cabai kecil tidak tergolong mematikan bagi manusia.

Seberapa Mematikan Gigitan King Cobra?

King Cobra (Ophiophagus hannah) dikenal sebagai ular berbisa terpanjang di dunia, dengan panjang bisa mencapai lima meter. Namun yang membuatnya benar-benar berbahaya bukan hanya ukurannya, melainkan kekuatan dan jumlah racun yang mampu disuntikkan dalam satu gigitan.

Racun king cobra berwarna kuning keemasan dan sangat kental. Warna tersebut berasal dari enzim L-amino acid oxidase (LAAO) yang memberi rona khas sekaligus berperan dalam menimbulkan rasa nyeri dan kerusakan jaringan lokal setelah gigitan.

Hasil penelitian Choo Hock Tan dkk berjudul King Cobra and Snakebite Envenomation menjelaskan bahwa racun king cobra memiliki campuran racun saraf, racun otot, dan enzim perusak jaringan. Komponen utamanya adalah three-finger toxins (3FTx), terutama jenis alfa-neurotoksin, yang menargetkan saraf pengatur otot pernapasan.

Begitu racun masuk ke tubuh, saraf yang mengontrol otot menjadi lumpuh total, sehingga korban tidak mampu bernapas dalam waktu singkat. Selain itu, racun juga mengandung metalloproteinase (SVMP) dan phospholipase Aβ‚‚ (PLAβ‚‚) yang memperparah kerusakan dengan melarutkan jaringan dan menyebabkan perdarahan lokal.

Kombinasi racun ini menjadikan king cobra sangat mematikan. Dalam uji toksisitas, racunnya memiliki nilai LDβ‚…β‚€ sekitar 0,5 mikrogram per gram berat badan pada tikus. Artinya, hanya setetes kecil racun sudah cukup untuk membunuh hewan percobaan dalam waktu singkat. Seekor king cobra dewasa bisa menyuntikkan lebih dari 400-600 mg racun sekali gigit, jumlah yang jauh melampaui dosis mematikan bagi manusia jika tidak segera ditangani secara medis.

Menariknya, tingkat bahaya racun king cobra juga berbeda-beda tergantung asal geografisnya. Menurut penelitian yang sama, King Cobra dari Tiongkok dan Indonesia lebih mematikan terhadap mamalia (seperti tikus), sedangkan populasi dari Thailand dan Malaysia lebih beracun terhadap kadal. Hal ini menunjukkan bahwa jenis mangsa di daerah asal ular turut memengaruhi evolusi racunnya.

Meski begitu, kasus gigitan King Cobra jarang terjadi karena ular ini cenderung menghindari manusia dan hanya menyerang bila merasa terancam. Namun, jika gigitan terjadi, racunnya dapat melumpuhkan korban dalam hitungan menit. Laporan medis menunjukkan bahwa tanpa pertolongan cepat dan antivenom khusus (OhMAV dari Thailand), korban dapat meninggal akibat gagal napas atau syok sistemik.

Ular Cabai Vs King Cobra: Mana yang Paling Berbahaya?

Baik ular cabai maupun king cobra sama-sama berbisa mematikan, tetapi tingkat bahayanya berbeda jauh. Ular cabai besar (Calliophis bivirgatus) memiliki racun saraf unik bernama calliotoxin yang membuat otot korban berkontraksi tanpa henti hingga tidak bisa bernapas.

Dalam hitungan detik, racunnya bisa menimbulkan kejang hebat dan kematian cepat. Meski tubuhnya kecil, seekor ular cabai besar bisa menghasilkan hingga 150 mg racun, menjadikannya salah satu ular dengan bisa paling kuat di Asia.

Di sisi lain, king cobra (Ophiophagus hannah) mengandalkan kekuatan dan jumlah racun yang luar biasa besar. Seekor king cobra dewasa mampu menyuntikkan 400-600 mg racun yang melumpuhkan sistem pernapasan hanya dalam beberapa menit. Tanpa antivenom, peluang bertahan hidup sangat kecil.

Jadi, dari sisi potensi racunnya, ular cabai besar lebih kuat. Namun, dari sisi ancaman nyata terhadap manusia, king cobra jauh lebih berbahaya karena volume racunnya yang besar dan efeknya yang cepat melumpuhkan.

Dua ular ini membuktikan bahwa bahaya bisa datang dari wujud yang menawan. Entah si kecil bercorak mencolok atau si raksasa berhias mahkota, keduanya punya cara mematikan yang unik. Kalau kamu bertemu salah satunya di alam liar, menurutmu, siapa yang paling ingin kamu hindari?




(par/par)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads