Peristiwa kelam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) tidak bisa dilepaskan dari satu nama, Dipa Nusantara Aidit atau biasa dikenal sebagai DN Aidit. Sosoknya tercatat sebagai tokoh penting Pemberontakan PKI tahun 1965.
Disadur dari laman resmi SMA Negeri 9 Sijunjung, pada 30 September 1965, G30S/PKI pecah dengan tujuan mengubah haluan Indonesia dari Pancasila menjadi komunis. Salah satu langkah yang diambil adalah penculikan sejumlah perwira tinggi tentara yang dinamai Dewan Jenderal.
Total, ada 7 jenderal yang dicap sebagai pengkhianat oleh PKI. Ketujuhnya adalah Ahmad Yani, Raden Suprapto, Mas Tirtodarmo Haryono, Siswondo Parman, Donald Isaac Panjaitan, Sutoyo Siswomiharjo, dan Abdul Haris Nasution.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari ketujuh jenderal itu, hanya Abdul Haris Nasution yang lolos dari maut. Namun, ajudannya, Pierre Tendean, turut jadi korban kebiadaban PKI. Jasad para perwira tinggi tentara itu dihinakan oleh PKI dan dibuang di sumur yang berlokasi di Lubang Buaya, Jakarta.
Kejadian nahas itu disinyalir berkaitan erat dengan sosok DN Aidit. Ingin tahu lebih lanjut tentangnya? Cek profil ringkas DN Aidit berikut.
Profil Ringkas DN Aidit
Masa Kecil DN Aidit
Menurut keterangan dari laman National Geographic, Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Belitung. Ayahnya bernama Abdullah Aidit, sedangkan ibunya Mailan. Sejak kecil, hidup Aidit tak pernah kekurangan karena ayahnya bekerja sebagai mantri kehutanan, posisi yang bergengsi.
Lebih lanjut, dikutip dari buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia tulisan Floriberta Aning S, konon, nama asli tokoh PKI satu ini adalah Achmad. Ia kemudian mengubahnya menjadi Dipa Nusantara Aidit, mengikuti nama sang idola, Pangeran Diponegoro.
Tak banyak yang tahu jika Aidit kecil hidup dalam keluarga Islami. Ia terbiasa mengaji bersama adik-adiknya sepulang sekolah di bawah bimbingan guru bernama Abdurrachim. Bukan hanya mengaji, Aidit juga dikenal sebagai anak yang kerap mengumandangkan adzan.
Kebiasaan ini juga tak lepas dari status ayahnya, Abdullah, sebagai tokoh pendidikan Islam di Belitung. Bukan hanya mantri kehutanan, ayah DN Aidit adalah pendiri Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam yang sampai sekarang masih eksis.
Disadur dari buku Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Aidit yang datang dari keluarga terpandang diketahui mudah bergaul. Ia biasa berteman dengan polisi, orang-orang China, hingga noni-noni Belanda.
Pergaulan Aidit yang sangat luas membuatnya sering kerap nongkrong bersama anak-anak geng. Layaknya konsep geng-gengan modern, Aidit ikut baku pukul yang terjadi. Di antara geng yang Aidit dekati adalah geng Sekak dan geng anak benteng.
Tak berhenti sampai sana, Aidit juga bergaul dengan kaum buruh yang bekerja di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton. Konon, pergaulan inilah yang kemudian menjadi pengarah sikap politik Aidit.
Pendidikan DN Aidit
Sukses menamatkan Hollandsch Inlandsche School (HIS) pada usia 13 tahun, Aidit kemudian melanjutkan pendidikan ke Jakarta. Tujuannya adalah masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs alias MULO.
Namun, setibanya di ibu kota, sekolah itu sudah menutup pendaftaran. Sebagai gantinya, Aidit menempuh studi di Middestand Handel School (MHS) di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Diketahui, Aidit tak pernah menuntaskan pendidikannya di MHS.
Dari MHS, tak banyak catatan tentang riwayat pendidikan Aidit selanjutnya. Ia diketahui pernah membangun bisnis bersama adiknya, Murad. Namun, kondisi yang terus memburuk membuat Aidit melepaskan usahanya.
Riwayat DN Aidit di PKI dan Pemerintahan
Mula-mula, DN Aidit bergabung dengan Persatuan Timur Muda alias Pertimu yang dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pimpinan Amir Syarifudin dan Dr Ahmad Kapau Gani. Tak butuh waktu lama bagi Aidit untuk menjadi ketua umum perkumpulan politik itu.
Pada pertengahan 1948, Aidit yang sudah bergabung PKI ditugasi mengurus seksi perburuhan. Belum lama ia mengisi jabatan, pecah pemberontakan PKI di Madiun, tepatnya pada 18 September 1948.
Pemberontakan itu gagal. Mayoritas pimpinan PKI ditangkap dan dieksekusi, termasuk Muso, sosok yang jadi idola Aidit. Dalam situasi panas, Aidit dikabarkan berpindah-pindah tempat untuk menyelamatkan diri. Ada yang menyebutnya kabur ke Beijing, ada pula yang menyebut Jakarta.
Oleh Aidit, PKI yang tercerai-berai coba dibangun kembali. Dengan dukungan sejumlah kalangan muda, dalam Kongres V PKI tahun 1951, Aidit sukses mencapai posisi Ketua Committee Central. Jabatan ini digenggamnya hingga G30S/PKI pecah.
Kembali dilihat dari buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia tulisan Floriberta Aning S, selain tampuk pucuk PKI, Aidit juga tercatat pernah menggenggam posisi penting di pemerintahan, yakni Menteri Koordinator. Selain itu, Aidit pernah mengisi jabatan Wakil Ketua MPRS.
Kabarnya, hal ini bisa diraih Aidit karena lobby politik kepada Soekarno agar mengangkat orang-orang PKI di pemerintahan. Salah satu bukti nyatanya adalah kampanye Nasakom yang kencang didengungkan saat itu.
Akhir Hidup DN Aidit
Menurut informasi dari Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan yang dirilis tahun 2009, akhir hidup DN Aidit masih menyimpan tanda tanya. Ada sejumlah versi yang kemudian muncul.
Versi pertama, Aidit yang melarikan diri dibunuh di Jogja oleh pihak militer. Versi kedua, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa ke Boyolali. Ia digelandang ke sebuah sumur dan diberi waktu selama setengah jam.
Selama periode waktu 30 menit itu, Aidit menyampaikan pidato berapi-api yang menyebabkan kalangan tentara marah. Akibatnya, letusan senapan api tak terlewatkan sehingga merenggut nyawa DN Aidit.
Versi ketiga menyebut DN Aidit meninggal dalam ledakan di rumah tempatnya ditahan. Terlepas dari kebenarannya, yang jelas, jasad DN Aidit sampai sekarang tak diketahui rimbanya.
Demikian biografi DN Aidit, pimpinan Partai Komunis Indonesia, yang ditengarai sebagai dalang di balik G30S/PKI. Semoga bermanfaat!
(sto/alg)