Gerabah asal Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Klaten masuk nominasi Anugerah Pesona Indonesia (API) Award 2025 kategori Cendera Mata. Gerabah ini memiliki kekhasan dalam cara produksinya, yakni dengan menggunakan alat putaran miring.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Klaten, Purwanto, menuturkan diusulkannya gerabah Melikan dalam API Award itu lantaran kerajinan tersebut merupakan kearifan lokal.
Purwanto menyebutkan teknik pembuatan gerabah di Melikan diklaim tidak ada di tempat lain, yakni dengan menggunakan alat putaran miring.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gerabah Melikan itu kita usulkan untuk kategori cendera mata karena gerabah Melikan itu kearifan lokal yang mungkin tidak ada di tempat lain dengan keramik putaran miring itu," ungkap Purwanto saat dihubungi wartawan beberapa waktu lalu.
Purwanto menjelaskan gerabah Melikan masuk 10 besar API Award 2025 kategori Cendera Mata. Sebab itu, proses voting atau pemungutan suara masih berlangsung sehingga dibutuhkan kontribusi dari masyarakat.
"Saat ini masih voting. Masuk 10 besar,dengan penentuan voting itu akan diambil juara 1, 2, dan 3-nya. API Award itu tujuannya untuk promosi agar dikenal di Indonesia," ujarnya.
Cara voting Gerabah Melikan bisa melalui akun Instagram @ayojalanjalanindonesia dengan menyukai foto 'Gerabah Melikan Kabupaten Klaten' di unggahan. Satu suka terhitung sebagai satu voting.
Selain itu, voting dapat dilakukan dengan menyukai konten video 'Gerabah Melikan Kabupaten Klaten' di kanal YouTube APIaward, atau dengan mengirim SMS 'API 6D' ke nomor 99386.
Gerabah Putaran Miring Melikan
Tak ayal jika Desa Melikan disebut sebagai sentra produksi gerabah di Klaten. Ketika detikJateng mengunjungi Desa Melikan pada Kamis (11/9), tampak tumpukan hasil kerajinan gerabah tertata di rumah-rumah warga hingga dijual di pinggir jalan.
Aktivitas warga sekitar pun tampak bergelut dengan gerabah, mulai dari pembuatan hingga penjualan. Pandangan mata nyaris tak lepas dari tumpukan gerabah di lingkungan tersebut.
Masuk ke tempat produksi gerabah putaran miring di Melikan, tampak dua perempuan tengah sibuk membuat gerabah berbahan dasar tanah liat. Salah seorangnya yaitu Sri Yulianti (50).
Yuli tampak membuat gerabah menggunakan alat putaran miring dengan posisi duduk di sebuah kursi kecil. Alat tersebut berbahan baku dari bambu, kayu, dan tali rotan.
Tali rotan tersimpul diantara dua sisi, yakni di tembok dan seruas potongan bambu yang lentur di tanah. Di tengah tali rotan itu, sebuah kayu berbentuk roda berdiameter sekitar 50 cm.
Dengan alat itu, kaki kiri Yuli menggerakkan tali tersebut dengan cara dipancal. Saat kayu berputar, tangan Yuli gesit membuat sebuah mangkok berdiameter 8 cm. Jempolnya menekan segenggam tanah liat bagian luar yang berputar di atas kayu.
Sementara jemari lainnya menekan bagian dalam tanah liat itu sehingga dalam waktu kurang lebih 10 detik. Yuli menggunakan seutas tali untuk memisahkan tanah liat yang berbentuk mangkok itu.
Sebuah mangkok bundar sempurna tercipta. Tanpa jeda, tangan Yuli mengambil segenggam demi segenggam tanah liat untuk dibuat mangkok.
Keahlian tersebut tidak Ia dapat dalam waktu yang singkat. Yuli mengaku belajar membuat gerabah sejak kecil menggunakan alat putaran miring.
"Celengan dulu bikin setelah pulang sekolah," ungkapnya ketika ditemui detikJateng di rumah produksi gerabah di Melikan.
Sudah 30 tahun Yuli membuat mangkok hingga gelas gerabah. Dalam sehari, Yuli bisa membuat 500 mangkok gerabah.
"Yang (mangkok) kecil bisa 500 (dibuatnya dalam satu hari). Dari jam 8 (mulai produksi) sampai sore, sambil istirahat," jelas Yuli.
Ukuran alat putaran miring bervariasi. Yuli menjelaskan, ukuran alat tersebut disesuaikan dengan bentuk tubuh pembuat gerabah.
"Ukuran alatnya menyesuaikan dengan orangnya," tuturnya.
Adapun Gerabah Putaran Miring Melikan telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh yang saat itu masih Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia pada 2022.
(akd/akd)