Kota Pekalongan memiliki perjalanan panjang yang membentuk karakter dan identitasnya hingga hari ini. Sejarah Kota Pekalongan dimulai dari pelabuhan kuno yang ramai dilalui pedagang dari berbagai bangsa, hingga berkembang menjadi pusat perdagangan dan budaya di pesisir utara Jawa. Dinamika ini menjadi fondasi bagi pertumbuhan masyarakat yang multietnis dan berjiwa pedagang.
Seiring waktu, Pekalongan terus mengalami perubahan signifikan, dari era Pekalongan Kuno, Pekalongan Baru, hingga masa pendudukan Jepang dan pembentukan kota otonom. Setiap periode membawa pengaruh terhadap struktur sosial, ekonomi, dan budaya yang membuat kota ini unik. Pemukiman, pelabuhan, dan aktivitas perdagangan mencatatkan jejak yang masih bisa dirasakan hingga sekarang.
Untuk memahami bagaimana Pekalongan berkembang menjadi kota batik yang kaya budaya dan sejarah, simak rangkaian perjalanan panjangnya yang dihimpun dari laman resmi Pemerintah Kota Pekalongan serta buku berjudul Pekalongan karya Murdijati Gardjito berikut ini!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Kota Pekalongan
Untuk memudahkan kita dalam memahami sejarah Kota Pekalongan, detikJateng membaginya ke dalam beberapa periode. Yuk, simak selengkapnya!
1. Masa Pekalongan Kuno
Pada masa awal perkembangannya, Pekalongan tumbuh sebagai daerah pesisir yang dipengaruhi oleh perpindahan penduduk dan interaksi antarbudaya. Sekitar satu setengah milenium lalu, wilayah ini termasuk dalam garis pantai purba yang kini bergeser hingga ke pegunungan bagian selatan. Jejaknya masih bisa dikenali melalui nama-nama desa seperti Kajen, Petungkriono, Linggo Sri, Doro, dan Wonopringgo, yang diyakini memiliki keterkaitan dengan pemukiman di tepian pantai kuno tersebut.
Kondisi perairan di pesisir kala itu cukup dalam, bahkan mencapai sekitar 150 meter. Kedalaman ini menjadikan pantai Pekalongan sebagai tempat bersandar kapal-kapal besar, seperti jung dan cadik yang bentuknya terekam pada relief Candi Borobudur. Keberadaan pelabuhan alami itu menjadikan Laut Jawa jalur penting perdagangan internasional. Pedagang dari Cina, India, Melayu, hingga Timur Tengah kerap datang untuk mencari komoditas berharga, terutama rempah-rempah, dan sebagian menetap di Jawa.
Kawasan pesisir utara Jawa, termasuk Pekalongan, juga tidak lepas dari pengaruh politik kerajaan-kerajaan besar pada masa itu. Catatan sejarah abad ke-7 dan ke-8 M menyebut wilayah ini berada dalam lingkup kekuasaan wangsa Sanjaya dan Syailendra.
Menariknya, pada periode Mataram Kuno, sumber-sumber Cina mencatat nama daerah pelabuhan di kawasan ini dengan sebutan Poe-Chua-Lung. Bahkan pada abad ke-12, penulis Cou-Ju-Kua kembali menyinggung nama tersebut dalam karyanya. Dari catatan itu, para ahli bahasa sepakat bahwa sebutan Poe-Chua-Lung merujuk pada Pekalongan, yang kala itu dikenal sebagai pelabuhan penting di pesisir utara Jawa pada masa Dinasti Tsung.
2. Masa Pekalongan Baru (Abad ke-14 hingga ke-16)
Seiring sedimentasi pantai yang melahirkan daratan baru, pusat pemukiman bergeser ke utara sekitar abad ke-14. Pekalongan berkembang sebagai pelabuhan kosmopolit di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Muncul kampung-kampung perdagangan di sekitar muara Sungai Kupang, dengan komunitas Cina menempati wilayah Sampangan dan warga Arab bermukim di sisi timurnya. Kedua kampung ini kemudian menjadi motor aktivitas niaga. Catatan perjalanan Laksamana Cheng Ho pada 1493 menyebut Pekalongan sebagai Wu-Chueh atau "pulau indah".
Setelah Kesultanan Cirebon berdiri, pelabuhan Pekalongan dipimpin seorang kepala bandar, sebelum akhirnya wilayah ini jatuh ke bawah kendali Kesultanan Mataram. Pada masa Sultan Agung, pengelolaan daerah diserahkan kepada bupati Mandurorejo yang dilantik di Kotagede, menandai integrasi Pekalongan dengan Mataram.
3. Masa Kolonial Belanda dan VOC
Memasuki abad ke-17, pengaruh Mataram mulai bergeser seiring kehadiran VOC. Belanda mempertahankan struktur pemerintahan lokal dengan menunjuk bupati sebagai penguasa pribumi, sementara kendali utama ada pada kebijakan VOC.
Pada abad ke-19, sistem pemerintahan di Jawa dirombak melalui pembentukan Gewest (Karesidenan). Pekalongan menjadi salah satu gewest yang meliputi Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Batang.
Pada fase ini pula, perdagangan batik berkembang pesat, terutama setelah migrasi besar-besaran pasca Perang Jawa (1825-1830) yang membawa perajin dari Mataram ke daerah pesisir, termasuk Pekalongan. Pertemuan budaya dengan pedagang Cina, Arab, India, Belanda, hingga Jepang ikut memperkaya ragam motif batik Pekalongan, yang kelak menjadi identitas utama kota ini.
4. Masa Pendudukan Jepang dan Semangat Perlawanan
Pada awal 1942, Jepang mengambil alih kendali dari Hindia Belanda. Di Pekalongan, pemerintahan lokal tetap berjalan, tetapi Jepang meniadakan dewan-dewan daerah. Sistem pemerintahan lebih bersifat dekonsentrasi, sehingga banyak keputusan penting tetap dikontrol oleh pihak militer Jepang.
Meski demikian, semangat penduduk Pekalongan untuk merdeka tidak padam. Mereka tetap aktif dalam menjaga wilayahnya dan mempersiapkan diri menghadapi perubahan politik yang terjadi di Indonesia secara umum.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, warga Pekalongan langsung bertindak. Pada 3 Oktober 1945, rakyat berhasil merebut markas tentara Jepang dan memutuskan kendali Jepang di wilayah mereka. Peristiwa ini menjadi titik awal Pekalongan menunjukkan peranannya dalam mempertahankan kemerdekaan, sekaligus menegaskan identitasnya sebagai wilayah yang berani dan mandiri.
5. Transisi Menuju Kota Otonom
Secara administratif, Pekalongan belum terbagi menjadi kota dan kabupaten secara formal hingga pasca-kemerdekaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950, Pekalongan ditetapkan sebagai Kota Besar di Jawa Tengah. Selanjutnya, dengan UU Nomor 18 Tahun 1965, sebutannya menjadi Kotamadya Dati II Pekalongan, yang menandai dimulainya era pemerintahan kota dengan otonomi terbatas.
Perkembangan wilayah Kota Pekalongan terus terjadi. Melalui PP Nomor 21 Tahun 1988 dan Inmendagri Nomor 3 Tahun 1989, luas kotamadya bertambah signifikan dari 1.755 hektare menjadi 4.465,24 hektare. Wilayah tersebut mencakup 4 kecamatan, 22 desa, dan 24 kelurahan.
6. Reformasi dan Kota Pekalongan Modern
Era reformasi mendorong penyesuaian tata kelola pemerintahan daerah. PP Nomor 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 32 Tahun 2004 mengubah sebutan Kotamadya Dati II Pekalongan menjadi Kota Pekalongan. Perubahan ini bukan sekadar nama, melainkan menegaskan hak otonomi yang lebih luas bagi kota, sehingga memungkinkan pengembangan pelayanan publik, infrastruktur, dan kegiatan ekonomi yang lebih mandiri.
Selama periode ini, Kota Pekalongan juga mempertahankan identitas budaya dan religiusnya. Batik yang telah dikenal sejak abad ke-19 tetap menjadi bagian penting kehidupan masyarakat. Pelabuhan perikanan dan industri rumah tangga berkembang seiring urbanisasi, sementara tradisi lokal seperti syawalan dan sedekah bumi memperkuat kohesi sosial.
Gambaran Umum Kota Pekalongan Masa Kini
Dirangkum dari video profil Kota Pekalongan yang diunggah di laman resmi Pemkot Pekalongan, Kota Pekalongan yang terletak di dataran rendah pantai utara Pulau Jawa menjadi salah satu kota penting di Provinsi Jawa Tengah. Dengan luas wilayah sekitar 45,2 kilometer persegi, kota ini terbagi menjadi empat kecamatan, yakni Pekalongan Utara, Pekalongan Barat, Pekalongan Selatan, dan Pekalongan Timur. Keempat kecamatan ini membawahi 27 kelurahan pasca penggabungan pada akhir 2014. Berdasarkan data BPS tahun 2023, jumlah penduduknya mencapai lebih dari 317 ribu jiwa.
Keberagaman masyarakat menjadi salah satu ciri khas Pekalongan. Tiga etnis besar, yaitu Jawa, Arab, dan Tionghoa hidup berdampingan secara harmonis. Nuansa religius dan toleransi tercermin di kawasan Jatayu, di mana masjid, gereja, wihara, dan kelenteng berdiri berdekatan. Keharmonisan ini menjadi salah satu identitas sosial kota yang menonjol.
Kota Pekalongan dikenal sebagai "Kota Batik", dengan nilai-nilai kebersihan, keamanan, ketertiban, dan keindahan yang tinggi. Batik Pekalongan telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, bahkan mendapat pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 2009. Selain batik, kota ini juga memiliki garis pantai sepanjang 6,8 kilometer yang mendukung sektor perikanan atau minapolitan, menjadikannya pusat kegiatan ekonomi berbasis laut.
Pekalongan juga menonjol di bidang kreativitas dan pariwisata. UNESCO menobatkan kota ini sebagai salah satu kota kreatif dunia pada 2014. Wisata di Pekalongan sangat beragam, mulai dari wisata budaya, alam, religi, hingga belanja dan kuliner. Kuliner khas kota ini, seperti megono, tauto, soto Pekalongan, kopi tahlil, garang asem, dan nasi uwet, menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dan melengkapi identitas budaya kota yang kaya.
Baca juga: Ciri Khas Batik Pekalongan dan Gayanya |
Demikianlah tadi penjelasan lengkap mengenai sejarah Kota Pekalongan mulai dari zaman kuno hingga modern seperti saat ini. Semoga bermanfaat!
(sto/aku)