Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI membongkar praktik produksi sekretom ilegal di Magelang milik seorang dokter hewan berinisial YHF (56). YHF disebutkan mengobati orang secara ilegal, bahkan pasiennya ada yang datang dari luar negeri.
Pasien dari Pulau Jawa yang pernah mendapatkan layanan di sarana milik YHF itu mendapatkan produk sekretom agar dapat meneruskan terapi dengan bantuan tenaga kesehatan terdekat.
"Sementara untuk pasien-pasien yang berasal dari Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau wilayah lain di luar Pulau Jawa, termasuk dari luar negeri, melakukan pengobatan langsung di sarana tersebut," terang Kepala BPOM, Taruna Ikrar, saat konferensi pers, Rabu (27/8/2025), dikutip dari detikHealth.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun pengungkapan praktik pengobatan yang dijalankan YHF itu dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM bersama dengan Koordinator Pengawas (Korwas) PPNS Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri). Temuan tersebut adalah hasil dari pengawasan BPOM pada 25 Juli 2025.
YHF diduga menjalankan praktik dokter hewan sebagai sarana pengedaran sekretom ilegal di Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang.
Sekretom adalah salah satu produk biologi turunan dari sel punca atau stem cell. Sekretom merupakan bagian dari semua bahan yang dilepaskan oleh sel punca, mencakup mikrovesikel, eksosom, protein, sitokin, zat mirip hormon (hormone-like substances), dan zat imunomodulator.
Sarana yang diduga dijalankan YFH itu ditindak berdasarkan laporan masyarakat tentang adanya dugaan praktik pengobatan ilegal oleh dokter hewan yang dilakukan terhadap pasien manusia. YFH diduga menggunakan sekretom ilegal dalam praktik pengobatannya yang disuntikkan secara intra muscular seperti pada bagian lengan.
Adapun sarana ilegal di tengah pemukiman padat penduduk itu menerima pelayanan terapi pengobatan pasien yang sebagian besarnya merupakan manusia. Sarana tersebut disamarkan dengan cara menggunakan papan nama berupa Praktik Dokter Hewan
YHF tidak mempunyai kewenangan melakukan terapi maupun pengobatan terhadap manusia dan sarana miliknya itu cuma mempunyai perizinan praktik dokter hewan berdasarkan hasil pengecekan dan pendalaman yang dilakukan PPNS BPOM.
YHF pun membuat dan menggunakan sekretom untuk terapi pasiennya. Adapun produk tersebut belum mengantongi nomor izin edar (NIE) BPOM.
Produksi sekretom ilegal itu diduga menggunakan fasilitas laboratorium di sebuah universitas di Yogyakarta. YFH juga adalah dosen dan peneliti di kampus tersebut.
Barang yang Diamankan Tim PPNS BPOM
Sekretom yang telah dikemas dalam tabung eppendorf 1,5 ml ditemukan tim PPNS BPOM dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP). Sekretom yang berwarna oranye dan merah muda itu pun berbentuk siap disuntikkan ke pasien.
Tim PPNS BPOM juga menemukan 23 botol produk sekretom dalam kemasan botol 5 liter di dalam kulkas. Ditemukan pula produk berupa krim yang mengandung sekretom untuk mengobati luka.
Tim tersebut juga menemukan peralatan suntik dan termos pendingin berstiker identitas dan alamat lengkap pasien. Seluruh temuan tersebut ditaksir mencapai nilai Rp230 miliar.
Semua barang bukti tersebut telah disita oleh PPNS BPOM. Untuk menjaga produk tetap stabil selama proses penyidikan, barang bukti disimpan di di gudang barang bukti Balai Besar POM (BBPOM) di Jogja.
Selain menetapkan YHF sebagai tersangka, 12 saksi juga dimintai keterangan untuk keperluan penyidikan lebih lanjut.
"Tindakan mengedarkan produk sekretom ilegal ini diduga melanggar tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 435 jo. Pasal 138 ayat (2) serta Pasal 436 ayat (1) jo. Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan," ucap Ikrar.
"Pelaku usaha yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar. Kemudian pelaku yang melakukan pekerjaan kefarmasian tanpa keahlian dan kewenangan juga dapat dikenai pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta," lanjutnya.
(dil/apu)