Sejarah Sumur Minyak di Blora yang Ada Sejak Zaman Penjajahan Belanda

Sejarah Sumur Minyak di Blora yang Ada Sejak Zaman Penjajahan Belanda

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Selasa, 19 Agu 2025 19:49 WIB
Semburan air muncul di bekas sumur minyak di Dukuh Nglencong, Desa Botoreco, Kecamatan Kunduran, Blora. Lokasi ini kini jadi wisata dadakan.
Ilustrasi sumur minyak. Foto: Arif Syaefudin
Solo -

Sejarah sumur minyak di Blora menyimpan jejak panjang sejak masa penjajahan Belanda hingga sekarang di era modern. Dimulai dari pengeboran sumur Ledok-1 pada akhir abad ke-19, kawasan ini terus mengalami dinamika.

Masa nasionalisasi pascakemerdekaan, penurunan produksi di tahun 1960-an, hingga kebangkitan kembali lewat lapangan Banyu Urip yang menjadi salah satu penopang utama produksi minyak nasional. Perjalanan panjang itu menjadikan Blora sebagai salah satu pusat industri minyak yang penting dalam sejarah energi Indonesia.

Penasaran seperti apa sejarah sumur minyak di Blora yang sudah ada sejak masa kolonial, detikers? Mari kita simak penjelasan lengkap yang dihimpun detikJateng dari buku Kamus Istilah Geologi oleh Djoko Wintolo serta Cepu: Sejarah Tata Ruang dan Arsitektur oleh Ashadi berikut ini!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Sumur Minyak di Blora Sejak Zaman Penjajahan Belanda

Untuk mempermudah memahami sejarah sumur minyak yang ada di Blora, kita akan membaginya ke dalam beberapa fase, mulai dari masa penjajahan hingga saat ini.

ADVERTISEMENT

1. Penemuan Sumur Minyak Pertama di Blora

Sejarah panjang perminyakan di Blora berawal sejak akhir abad ke-19, ketika pemerintah kolonial Belanda menyadari potensi sumber daya alam di kawasan Cepu. Sekitar 1870, wilayah Blora dan sekitarnya masuk ke dalam konsesi minyak milik perusahaan Belanda Royal Dutch/Shell yang beroperasi melalui Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM). Saat itu, konsesi minyak di kawasan ini dikenal dengan nama Panolan.

Langkah besar pertama tercatat pada Juli 1893 ketika dilakukan pengeboran sumur Ledok-1. Sumur ini menjadi sumur minyak pertama di daerah Cepu sekaligus menandai awal berkembangnya Blora sebagai salah satu pusat produksi minyak di Hindia Belanda.

Seiring berjalannya waktu, eksplorasi diperluas ke berbagai titik di sekitar Cepu. Fasilitas perminyakan mulai dibangun, termasuk lapangan minyak serta sarana pengolahan sederhana yang menjadi cikal bakal industri perminyakan di Blora.

Selama masa pendudukan Belanda hingga menjelang Perang Dunia II, ladang minyak di Cepu terus diusahakan dan menghasilkan produksi yang cukup signifikan. Namun, pengelolaannya sepenuhnya terkonsentrasi pada kepentingan kolonial. Minyak yang dihasilkan lebih banyak dialirkan untuk kebutuhan industri dan kepentingan pemerintah Belanda, sementara masyarakat lokal hanya menjadi tenaga kerja. Kondisi ini menciptakan jurang ketimpangan, tetapi sekaligus mewariskan jejak industri minyak yang kelak menjadi sangat penting setelah Indonesia merdeka.

2. Masa Perjuangan Kemerdekaan dan Nasionalisasi Awal

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perjuangan mempertahankan kedaulatan tidak hanya terjadi di medan pertempuran, tetapi juga di sektor strategis seperti minyak. Pada 5 Oktober 1945, Menteri Kemakmuran mengeluarkan Maklumat Nomor 5 yang menetapkan Daerah Perminyakan Cepu secara resmi sebagai Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN). Keputusan ini menunjukkan betapa pentingnya Cepu sebagai sumber energi bagi negara yang baru lahir.

Namun, masa awal ini penuh tantangan berat. Situasi politik dan keamanan yang belum stabil membuat pengelolaan perminyakan di Cepu tidak berjalan mulus. Pada Agresi Militer Belanda II tahun 1948, pasukan Belanda berhasil merebut kembali kilang Cepu dan lapangan Kawengan.

Bahkan, pada Desember 1948, mereka membumihanguskan fasilitas PTMN Cepu, mulai dari kilang, gedung kantor, hingga rumah-rumah dinas. Tindakan ini membuat roda produksi minyak terhenti total.

Setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1950, pengelolaan aset perminyakan di Cepu kembali berpindah tangan. Kilang Cepu dan lapangan Kawengan diserahkan kepada BPM (yang kemudian berubah nama menjadi Shell).

Sementara itu, lapangan minyak Ledok, Nglobo, Semanggi, dan Lusi justru diserahkan ke Komando Distrik Militer (Kodim) Blora. Sayangnya, pengelolaan oleh militer berlangsung singkat, hanya sekitar 1950-1951, karena PTMN sendiri sudah lebih dulu dinonaktifkan pada 1949.

3. Pembentukan Perusahaan Minyak Negara

Memasuki dekade 1960-an, pemerintah Indonesia mulai menata ulang industri minyak dan gas bumi secara lebih terstruktur. Pada tahun 1960, lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Regulasi ini membatasi pergerakan perusahaan asing di Indonesia hanya sebagai kontraktor dan mencabut hak-hak konsesi mereka. Langkah ini sekaligus menjadi fondasi untuk memperkuat kedaulatan negara atas sumber daya alam strategis.

Tidak berhenti di situ, pemerintah juga membentuk perusahaan-perusahaan minyak negara. Pada 1961, berdasarkan peraturan baru, didirikan tiga entitas penting, yaitu:

  • PN Pertambangan Minyak Indonesia (PN Pertamin);
  • PN Pertambangan Minyak Nasional (PN Permina); dan
  • PN Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (PN Permigan).

Shell yang masih menguasai Kilang Cepu akhirnya menjual asetnya kepada PN Permigan pada 1962. PN Permigan sebenarnya memiliki akar dari usaha perminyakan rakyat melalui Tambang Minyak Nglobo CA (1957), yang sebelumnya bernama Perusahaan Tambang Minyak Rakyat Indonesia (PTMRI) sejak 1951. Mereka mengelola lapangan Ledok, Nglobo, dan Semanggi yang sempat dijalankan oleh Administrasi Sumber Minyak (ASM) pada 1950.

Namun, situasi politik kembali bergejolak. Peristiwa G30S/PKI pada 1965 membuat PN Permigan dibubarkan. Wilayah kerjanya di Cepu kemudian dimasukkan ke dalam Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) yang difokuskan untuk pendidikan dan pelatihan perminyakan.

4. Kebangkitan Cepu sebagai Pusat Pendidikan Migas

Setelah mengalami masa suram pada periode 1960-1965 akibat penurunan produksi minyak, wilayah Cepu mulai bangkit kembali pada 1966-1967. Saat itu, pemerintah menetapkan Cepu sebagai Pusat Pendidikan dan Latihan Lapangan Perindustrian Minyak dan Gas Bumi (Pusdiklap Migas). Penetapan ini bukan tanpa alasan, sebab Indonesia sangat membutuhkan tenaga ahli migas, sementara lembaga pendidikan khusus di dalam negeri belum tersedia.

Kilang Cepu yang beroperasi pada kapasitas 300-350 mΒ³ per hari menjadi fasilitas utama dalam pendidikan ini. Produk BBM yang memenuhi standar diserahkan kepada PN Pertamina Depot Cepu, sementara produk non-standar dijual oleh Pusdik Migas sendiri.

Sayangnya, kondisi kilang kala itu memprihatinkan, peralatan sudah usang, bahkan sempat terbakar. Untuk mengatasinya, pada 1973 Lemigas Jakarta bekerja sama dengan konsultan asing melakukan studi kelayakan kilang. Hasilnya, rehabilitasi besar dilakukan pada 1977.

Sejak pengelolaannya diambil alih oleh PPT Migas, produksi kilang Cepu meningkat kembali. Kerosin dan solar bisa disalurkan ke Pertamina Depot Cepu. Namun, produk lain seperti naptha, filter oil, dan residu sulit dipasarkan sehingga tangki sering penuh.

Bahkan sejak 1979, masalah bertambah berat karena pemerintah menerapkan spesifikasi produk yang lebih tinggi. Akibatnya, kilang kadang harus berhenti beroperasi karena tidak ada ruang penyimpanan. Kondisi ini menggambarkan tantangan besar pengelolaan kilang di era tersebut.

5. Transformasi Infrastruktur dan Pengeboran Modern

Memasuki 1980-an, perminyakan di Blora dan sekitarnya mengalami perubahan besar dalam sistem pengangkutan minyak. Minyak dari sumur-sumur sekitar Cepu ditampung di tangki Menggung, lalu dikirim ke kilang Cilacap menggunakan mobil tangki.

Dalam kunjungan ke kawasan pengeboran Ledok, terlihat bahwa kegiatan pengeboran dilakukan baik dengan cara tradisional maupun modern menggunakan pompa angguk. Minyak mentah berwarna hitam pekat ditampung di bak penampungan sebelum dipindahkan ke tangki mobil untuk didistribusikan lebih lanjut.

Meski ada upaya modernisasi, pasang surut produksi masih terasa. Pada 1990, pemerintah memberikan izin Technical Evaluation Study (TES) kepada Humpuss Patragas untuk mengelola ladang minyak Cepu. Sayangnya, proyek ini tidak berjalan mulus. Humpuss Patragas gagal melakukan pemboran, hingga akhirnya pada 1998 ketika krisis finansial melanda, seluruh sahamnya dijual kepada Mobil Oil.

6. Kontrak Baru dan Ekspansi Blok Cepu

Awal 2000-an menjadi periode penting bagi Cepu. Setelah melalui berbagai fase kegagalan eksplorasi, pemerintah Indonesia mulai serius menggandeng investor global untuk mengelola potensi minyak yang besar di kawasan ini. Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah tegas dengan memberhentikan direksi Pertamina dan menunjuk ExxonMobil sebagai operator utama Blok Cepu.

Kontrak kerja sama selama 30 tahun pun diteken. Kesepakatan ini menandai fase baru pengelolaan Blok Cepu dengan harapan produksi bisa lebih stabil sekaligus memberi pemasukan besar bagi negara dan daerah.

Komposisi saham pun ditetapkan dengan rincian berikut ini:

  • 45% untuk ExxonMobil;
  • 45% untuk Pertamina; dan
  • 10% untuk pemerintah daerah

Kepemilikan saham untuk pemerintah daerah ini juga terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu:

  • 4,48% untuk Kabupaten Bojonegoro;
  • 2,18% untuk Kabupaten Blora;
  • 2,24% untuk Pemerintah Jawa Timur; dan
  • 1,09% untuk Pemerintah Jawa Tengah

7. Era Produksi Besar Lapangan Banyu Urip

Blok Cepu memiliki tujuh lapangan migas utama, yaitu Kemuning, Alas Dara, Kedung Tuban (di Blora), serta Cendana, Jambaran, Sukowati, dan Banyu Urip (di Bojonegoro). Di antara semuanya, lapangan Banyu Urip yang terletak di Desa Mojodelik menjadi primadona. Dengan luas hanya sekitar 3 hektare, cadangan minyaknya diperkirakan mencapai 507 juta barel, menjadikannya salah satu temuan terbesar di Indonesia.

Produksi Banyu Urip mencapai puncaknya dengan 165.000 barel per hari, setara dengan sekitar 20% produksi minyak nasional. Angka ini membuat Blok Cepu menjadi tulang punggung ketahanan energi Indonesia.

Selain Banyu Urip, lapangan Jambaran juga mencatat potensi besar dengan 227 juta barel, sementara Sukowati menyumbang sekitar 42,5 juta barel. Total cadangan minyak Blok Cepu bahkan diperkirakan mencapai 2 miliar barel, menjadikannya salah satu blok strategis dengan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara.

Nah, itulah tadi penjelasan lengkap mengenai sejarah sumur minyak di Blora yang sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Semoga bermanfaat!




(par/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads