- Kumpulan Contoh Khutbah Jumat Contoh Khutbah Jumat #1: Ciri-ciri Generasi Terburuk Contoh Khutbah Jumat #2: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama Contoh Khutbah Jumat #3: Antara Kualitas dan Kuantitas Rezeki Contoh Khutbah Jumat #4: Mari Bantu Siapa Pun yang Membutuhkan Contoh Khutbah Jumat #5: Pohon Keimanan Contoh Khutbah Jumat #6: Pentingnya Membiasakan Ibadah kepada Anak Sejak Dini Contoh Khutbah Jumat #7: Antara Ghibah dan Dzikrullah Contoh Khutbah Jumat #8: Menjadi Manusia Bermanfaat
- Doa Pembuka dan Penutup Khutbah Jumat
Sebelum sholat Jumat ditegakkan, khatib akan membawakan khutbah Jumat dahulu dengan berbagai macam temanya. Bagi detikers yang sedang membutuhkan, di bawah ini deretan contoh khutbah Jumat sebagai referensi!
Dikutip dari buku Tips Khutbah Jumat 15 Menit Paling Berkesan tulisan Muhammad Abduh Tuasikal, khutbah Jumat itu sebaiknya singkat saja. Hal ini didasarkan perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah as-Suwaiy RA:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa memberi nasihat ketika hari Jumat tidak begitu panjang. Kalimat yang beliau sampaikan adalah kalimat yang singkat." (HR Abu Daud no 1107. Abu Thahir menyebut hadits ini hasan)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping singkat, khutbah Jumat itu harus mudah dipahami oleh jemaah. Jangan sampai khatib justru memilih kata-kata yang menyulitkan jemaah. Penyampaiannya pun harus dengan suara lantang sehingga jelas terdengar.
Setelah mengetahui kriteria khutbah Jumat yang baik sesuai ajaran Nabi SAW, detikers perlu melihat contoh teksnya. Di bawah ini detikJateng sudah himpunkan 8 khutbah Jumat lengkap dengan doa pembuka dan penutupnya dalam tulisan Latin!
Kumpulan Contoh Khutbah Jumat
Contoh Khutbah Jumat #1: Ciri-ciri Generasi Terburuk
(sumber: tulisan Ahmad Fatoni di laman Suara Muhammadiyah)
Jamaah Jum`at Rahimakumullah
Salah satu dambaan hidup kita adalah munculnya generasi terbaik. Indikasi adanya generasi terbaik memang sudah ada. Ambil contoh, banyaknya kaum muslimin yang memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam sebagai agama yang harus diamalkan dalam kehidupan nyata. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan generasi sebaliknya, tampaknya generasi terbaik masih sedikit sekali. Kenyatannya, begitu banyak generasi manusia yang mencerminkan profil generasi terburuk. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw telah mengilustrasikan ciri-ciri generasi terburuk sebagai berikut:
سَيَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ هِمَّتُهُمْ بُطُوْنُهُمْ وَشَرَفُهُمْ مَتَاعُهُمْ وَقِبْلَتُهُمْ نِسَاؤُهُمْ وَدِيْنُهُمْ دَارَهِمُهُمْ وَدَنَانِيْرُهُمْ اُوْلئِكَ شَرُّ الْخَلْقِ لاَخَلاَقَ لَهُمْ عِنْدَ الله في الأخرة
"Akan tiba suatu zaman atas manusia di mana perhatian (obsesi) mereka hanya tertuju pada urusan perut dan kehormatan mereka hanya pada kekayaan (benda) semata, kiblat mereka hanya urusan wanita (seks) dan agama mereka adalah uang (harta, emas dan perak). Mereka adalah makhluk Allah swt yang terburuk dan tidak akan memperoleh bagian di sisi Allah swt di akhirat kelak." [HR. Ad-Dailami]
Dalam hadits tersebut, terdapat empat ciri-ciri generasi terburuk, yaitu lebih mementingkan perut, kemuliaan hanya diukur dari kepemilikan materi, suka mengagungkan perempuan, dan selalu mementingkan uang dan harta benda.
Pertama, mementingkan perut. Salah satu keinginan manusia dalam hidup adalah memiliki perut yang kenyang dengan berbagai jenis makanan. Namun, yang membahayakan adalah jika segala sesuatu dilakukan untuk kepentingan perut.
Fenomena itulah yang kini banyak terjadi pada masyarakat kita. Mementingkan perut berarti seseorang ingin memperoleh kekayaan dengan menghalalkan segala cara. Bahkan meskipun seseorang sudah mendapatkan rezeki yang secara halal, hal itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan keluarganya saja sehingga tidak peduli dengan kekurangan yang dialami orang lain.
Akibat lain yang sangat berbahaya dari mementingkan perut adalah seseorang menjadi takut lapar, kuatir tidak mendapatkan rezeki sehingga membuatnya takut menanggung risiko dalam menjalani kehidupan secara benar. Tak heran, orang yang selalu mementingkan urusan perut menjadi manusia yang melakukan sesuatu jika menguntungkan dirinya secara materi. Dia tidak mau mengerjakan sesuatu ketika sesuatu itu mengakibatkan kesulitan dalam hidupnya, apalagi jika sampai mengakibatkan perutnya menjadi lapar.
Jamaah Jumat rahimakumullah
Ciri kedua dari generasi terburuk adalah memuliakan perhiasan. Dalam hidup ini, manusia menghiasi dirinya dengan berbagai perhiasan hidup seperti rumah, kendaraan, pakaian, emas permata, dan lain sebagainya. Semua itu sering kali dijadikan ukuran bagi kemuliaan seseorang, padahal benda-benda itu hanya aksesoris belaka. Nah, generasi terburuk menjadikan perhiasan hidup sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang, sementara kemuliaan seseorang di mata Allah akan diukur seberapa besar ketakwaannya.
Hal ketiga yang merupakan ciri generasi terburuk adalah mengagungkan perempuan, yaitu menuruti syahwat terhadap perempuan yang tidak halal baginya atau memenuhi ajakan perempuan untuk melakukan perzinahan. Ini merupakan sesuatu yang sangat hina. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
"Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk." [QS. Al-Isra: 32].
Selain itu mengagungkan perempuan juga dapat dipahami sebagai pemenuhan keinginan-keinginan yang tidak baik dari perempuan, termasuk seorang suami yang takut kepada istrinya sehingga harus memenuhi keinginan istrinya yang tidak benar. Ketakutan kepada istri membuat suami tidak berani meluruskan kesalahan istri, padahal istri merupakan tanggungjawab suami untuk diselamatkan dari api neraka.
Jamaah Jumat rahimakumullah
Ciri keempat dari generasi terburuk adalah gila harta. Dalam Islam, uang dan harta merupakan sesuatu yang boleh dicari dan dimiliki. Namun, semua itu harus dalam kendali manusia, bukan justru manusia yang dikendalikan harta. Banyak orang menjadikan harta seolah sebagai agama baru sehingga melalaikan mereka. Allah telah mengingatkan,
Dari gambaran hadits di atas, sangat terasa bahwa ciri-ciri generasi terburuk sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah saw, itu tercermin pada generasi sekarang. Maka, menjadi kewajiban kita untuk memperbaiki generasi mendatang agar kehidupan masa depan dapat kita songsong dengan keyakinan dan optimisme sesuai tuntunan syariat Islam.
Contoh Khutbah Jumat #2: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
(sumber: tulisan Ustadz Sunnatullah dalam situs NU Online)
Ma'asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Puji syukur alhamdulillahi rabbil alamin, atas segala nikmat dan karunia yang telah Allah berikan kepada kita semua, terkhusus nikmat iman yang masih tertanam dalam hati kita semua, nikmat kemampuan untuk membuka mata di pagi hari, berdiri dengan kaki sendiri, mencicipi makanan dari rezeki yang halal dan nikmat-nikmat lainnya.
Shalawat dan salam mari senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala alih wa shahbih, sosok mulia yang diutus untuk membawa cahaya keimanan di tengah gelapnya zaman dan gersangnya peradaban. Semoga kita semua berada dalam barisan umat yang berhak untuk mendapatkan syafaatnya kelak di hari yang tiada pertolongan selain dari-Nya. Amin ya rabbal alamin.
Selanjutnya, sudah menjadi kewajiban bagi kami selaku khatib, untuk mengingatkan diri sendiri dan jamaah sekalian untuk terus meneguhkan iman dan memperkuat takwa kita kepada Allah. Di tengah derasnya arus godaan dunia dan tantangan zaman, keimanan mudah sekali goyah jika tidak kita jaga dan tidak kita rawat. Karenanya, mari kita bersama-sama berusaha dan berupaya untuk menjaga hati agar tetap terpaut kepada Allah SWT.
Ma'asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Salah satu bentuk nyata dari upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan yang kita jaga adalah dengan menghadirkan manfaat bagi orang lain. Islam tidak hanya mengajarkan kita perihal hubungan yang lurus antara hamba dan Tuhannya, tetapi juga mendorong agar setiap Muslim menjadi pribadi yang memberi kebaikan dan manfaat bagi sekelilingnya.
Bahkan, salah satu ukuran kemuliaan manusia adalah perihal bagaimana ia bisa menjadi hamba yang berguna dan bermanfaat bagi sesama. Hal ini sebagaimana Rasulullah jelaskan dalam salah satu haditsnya, yaitu:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya, "Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR Al-Baihaqi).
Hadits ini menegaskan kepada kita semua bahwa ukuran kemuliaan tidak semata diukur dengan banyaknya ibadah, tetapi juga pada sejauh mana kita bisa berguna kepada sesama, seperti dengan meringankan beban orang lain, menyambung silaturahmi, menebar salam, memberi pertolongan, dan menjadi penyejuk di tengah lingkungan yang panas oleh masalah.
Tidak hanya itu, menjadi orang yang berguna kepada orang lain juga bisa dengan menggunakan apa yang Allah titipkan kepada kita, seperti menyedekahkan sebagian dari kekayaan, menggunakan jabatan untuk memudahkan urusan orang lain, hingga menyebarkan ilmu pengetahuan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Abdurrauf al-Munawi, dalam kitab at-Taisir bi Syarhil Jami'is Shagir, jilid I, halaman 171, yaitu:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ. أي بِالْاِحْسَانِ إِلَيْهِمْ بِمَالِهِ وَجَاهِهِ وَعِلْمِهِ، لِأَنَّ الْخَلْقَ كُلَّهُمْ عِيَالُ اللهِ، وَأَحَبُّهُمْ إِلَيْهِ أَنْفَعُهُمْ لِعِيَالِهِ
Artinya, "Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya", yaitu dengan berbuat baik kepada mereka melalui hartanya, jabatannya, dan ilmunya. Karena seluruh makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi tanggungan-Nya."
Ma'asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Ketika seseorang atau salah satu di antara kita berusaha untuk menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat bagi sesamanya, maka sesungguhnya kita tidak hanya memberi ataupun peduli semata, tetapi juga sedang menanam kebaikan yang akan kembali kepada kita. Hal ini sebagaimana janji Allah kepada kita semua yang disampaikan oleh Rasulullah. Dalam salah satu hadits, Nabi bersabda:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya, "Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya." (HR at-Tirmidzi).
Menurut Syekh Ali al-Qari dalam kitab Mirqatul Mafatih, jilid XIV, halaman 239, hadits ini memberikan kabar gembira dan motivasi besar bagi kita semua, bahwa siapa saja yang memberi bantuan kepada orang lain, baik berupa tenaga, pikiran, doa, atau lainnya, semuanya akan dibalas oleh Allah dengan pertolongan yang sepadan, bahkan lebih. Maka siapa yang sibuk memudahkan urusan orang lain, Allah akan memudahkan urusannya,
وَفِيْهِ تَنْبِيْهٌ نَبِيْهٌ عَلىَ فَضِيْلَةِ عَوْنِ الْأَخِ عَلىَ أُمُوْرِهِ وَإِشَارَةٌ إِلىَ أَنَّ الْمُكَافَأَةَ عَلَيْهَا بِجِنْسِهَا مِنَ الْعِنَايَةِ الْإِلَهِيَّةِ سَوَاءٌ كَانَ بِقَلْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ أَوْ بِهِمَا لِدَفْعِ الْمُضَارِّ أَوْ جَذْبِ الْمَنَافِعِ
Artinya, "Di dalam (hadits) ini terdapat peringatan tentang keutamaan membantu sesama dalam urusannya, dan juga terdapat isyarat bahwa balasan atas bantuan itu akan sejenis dengan bentuk bantuannya, berupa pertolongan ilahiah, baik bantuan itu dilakukan dengan hatinya, tubuhnya, atau keduanya, untuk menolak bahaya atau menarik manfaat."
Dengan demikian, maka benar apa yang pernah disampaikan oleh KH. Hasyim Muzadi, beliau pernah mengatakan: "Orang yang memperjuangkan umat tidak akan kekurangan, dan orang yang memperjuangkan diri sendiri belum tentu berkelebihan."
Ma'asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Dengan demikian, maka menjadi jelas bagi kita bahwa menjadi pribadi yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain tidak hanya perbuatan mulia di mata manusia, tetapi juga bentuk nyata dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Bahkan, siapa yang menjadikan hidupnya untuk menebar kebaikan dan meringankan beban sesama, maka Allah akan hadir dalam kehidupannya sebagai penolong dan pelindung.
Maka mari jangan ragu untuk berbuat baik. Jangan tunda untuk membantu sesama. Sekecil apa pun manfaat yang kita berikan. Sebab ketika manfaat itu diniatkan karena Allah, maka akan berbuah pahala dan keberkahan. Karena bisa jadi, satu uluran tangan yang peduli akan menjadi sebab Allah menurunkan rahmat dan pertolongan-Nya kepada kita.
Jadikan diri kita sebagai hamba Allah yang tidak hanya salih secara pribadi, tetapi juga muslih dalam kehidupan sosial. Jangan cukupkan diri hanya dengan menjaga hubungan kepada Allah, tapi kuatkan juga hubungan kita dengan sesama manusia. Sebab sebaik-baik manusia, adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang lain.
Demikian adanya khutbah Jumat perihal menjadi hamba yang berguna bagi sesama. Semoga menjadi khutbah yang membawa berkah dan manfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal alamin.
Contoh Khutbah Jumat #3: Antara Kualitas dan Kuantitas Rezeki
(sumber: tulisan Muhammad Faizin dalam situs Kemenag)
Maasyiral Muslimin Hafidzakumullah..
Sebuah keniscayaan bagi kita untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan dan rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan berbagai nikmat yang tak bisa kita hitung satu persatu. Perlu kita sadari bahwa nikmat dari Allah ini bukan hanya dalam bentuk materi saja. Nikmat kesehatan, kesempatan, Islam dan iman lebih berharga dari sekadar nikmat materi yang kita miliki.
Bayangkan, bagaimana rasanya jika harta banyak namun tidak bisa menikmatinya karena sakit-sakitan. Bagaimana rasanya jika jabatan tinggi namun hati tidak merasa tenang. Oleh karenanya, sebagai seorang makhluk, kita harus menyadari bahwa ada yang memiliki segalanya dari kita dan berhak atas segala perjalanan kehidupan kita di dunia ini yakni sang khalik, sang Pencipta, Allah SWT.
Maasyiral Muslimin Hafidzakumullah..
Di era modern saat ini banyak manusia semakin menunjukkan sikap hedonis. Sebuah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia jika bisa mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup.
Pandangan ini mengakibatkan manusia berusaha mencari kebahagiaan dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan berbagai daya upaya. Cara-cara mendapatkan harta pun tidak mempedulikan norma-norma agama dan aturan yang ada. Halal haram tabrak saja yang penting harta banyak dan kebahagiaan bisa dirasa.
Saat ini juga kita rasakan banyak manusia yang mementingkan kuantitas dari pada kualitas harta. Manusia modern mementingkan jumlah daripada berkah harta yang dimiliki. Ini terlihat dari orientasi hidup dan prinsip manusia saat ini yang beranggapan bahwa hidup dan rezeki adalah matematika yakni satu tambah satu sama dengan dua.
Padahal rezeki dalam kehidupan ini tidak bisa dihitung dengan ilmu matematika. Dalam hidup terkadang 1+1 memang 2, namun bisa saja 1+1=11 atau 1+1 bisa jadi 0. Banyak yang bermodal besar tapi tidak mendapat untung besar dalam usaha. Sementara banyak yang usaha kecil tapi rezeki terus mengalir. Itu adalah rahasia Allah SWT.
Banyak kita lihat orang bekerja, pergi pagi pulang sore, peras keringat, banting tulang, sampai-sampai berani meninggalkan shalat dan ibadah wajib lainnya namun kehidupan ekonominya begitu-begitu saja. Sementara ada yang bekerja dengan biasa-biasa saja, bisa menjalankan ibadah dengan tenang, namun rezeki yang didapatnya terus mengalir dan berlipat ganda.
Ini menjadi renungan kita bersama bahwa Allah SWT telah memberikan rezeki berupa harta kepada masing-masing manusia. Rezeki manusia tak akan tertukar dengan rezeki orang lain. Yang terpenting dari kita adalah harus terus berusaha dengan baik seraya berdoa dan menyadari bahwa Allah telah membagi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki. Allah Ta'ala berfirman dalam Surat Ali 'Imran ayat 37:
إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas."
Maasyiral Muslimin Hafidzakumullah
Segala hal terkait dengan rezeki yang sudah didapatkan haruslah kita syukuri. Dengan syukur, kita tidak lagi selalu menghitung-hitung jumlah harta yang kita miliki. Harta adalah washilah (lantaran) saja untuk kita bisa beribadah dengan tenang kepada Allah. Karena perlu dicatat dan diingat bahwa tugas utama kita hidup di dunia ini adalah memang untuk beribadah menyembah Allah SWT sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an Surat Adz-Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."
Syukur ini akan membawa kita tenang dalam menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Walau sedikit harta yang dimiliki, jika kita bersyukur, kita akan hidup dengan tenang bersama keluarga. Sebaliknya, biar pun bergelimang harta, tapi rasa syukur tak ada, maka kegersangan hidup dan ketidaknyamanan akan selalu terasa dalam langkah kehidupan kita.
Syukur akan membuahkan hasil yang manis karena dengan bersyukur Allah akan menambahkan nikmat yang telah diberikan kepada kita. Allah berfirman dalam Surat Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhan kalian memaklumatkan, "Sesungguh¬nya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
Banyak di zaman sekarang ini orang yang hanya memikirkan jumlah gaji pekerjaan yang ia lakukan. Jika kita renungkan sebenarnya gaji atau pendapatan itu tidak ada apa-apanya dibanding gaji yang telah diberikan Allah kepada kita semua. Logika matematis dalam menyikapi harta ini lambat laun akan melupakan esensi dari status harta itu sendiri. Perlu kita sadari bahwa harta hanya titipan dari Allah yang suatu waktu akan hilang dari kita dan diambil oleh yang paling berhak memilikinya.
Kesadaran bahwa harta hanya sebuah titipan ini akan memunculkan sikap senang berbagi, bersedekah dan berzakat. Kita tak perlu khawatir jika kita memberikan harta kita kepada orang lain, harta kita akan jadi berkurang. Sekali lagi hidup bukanlah matematika. Sesuatu yang kita berikan kepada sesama, pada suatu hari pasti akan kita dapatkan kembali karena hakikat memberi adalah menerima.
Maasyiral Muslimin Hafidzakumullah
Di akhir khutbah ini mari kita renungkan Al-Qur'an Surat Ath-Tholaq ayat 2-3:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (3)
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (2). Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (3)"
Ayat ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa jika kita ingin hidup dalam ketenangan maka hiduplah dalam ketakwaan dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Selain akan diberikan ketenangan hidup dan jalan keluar dari segala permasalahan di dunia, jika kita bertakwa, kita juga akan diberi rezeki dari arah yang tidak kita duga-duga.
Jika kita betul-betul percaya (tawakal) kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kita rezeki seperti burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore harinya dalam keadaan kenyang. Yakinlah, Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Contoh Khutbah Jumat #4: Mari Bantu Siapa Pun yang Membutuhkan
(sumber: tulisan Amien Nurhakim dalam situs Kemenag)
Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Pada hari yang mulia ini, khatib menyeru kepada jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dengan semaksimal mungkin, takwa dalam artian menjauhi segala larangan yang ditetapkan Allah subhânahu wa ta'âla dan menjalankan perintah-Nya. Karena dengan ketakwaan, setiap persoalan hidup yang kita alami akan ada jalan keluarnya dan akan ada pula rezeki yang datang kepada kita tanpa disangka-sangka.
Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Ketika awal kita ada di dunia ini, kita membutuhkan seseorang yang menjadi perantara kelahiran, yaitu ibu. Saat itu, kita membutuhkan seorang bidan yang membantu mengeluarkan kita dari perut ibu. Dari kecil hingga tumbuh dewasa kita membutuhkan orang tua, ketika kesulitan dan memiliki hajat, kita membutuhkan tetangga dan warga sekitar, ketika punya problem kehidupan kita juga membutuhkan seorang pendengar, hingga ketika ajal menjemput, kita pun membutuhkan orang yang menguburkan jasad kita.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian, kita semua saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu, pesan yang ditanamkan sejak kecil hingga dewasa adalah jangan bosan-bosan menolong orang lain yang membutuhkan.
Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk saling tolong menolong dan merekatkan tali persaudaraan. Tolong menolong di sini tidak terikat oleh apa pun. Bantulah dengan tulus siapa pun orangnya, entah dia kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali, bahkan muslim atau non-muslim, selama itu dalam ranah sosial dan kebaikan, maka tidak ada salahnya kita membantu mereka, karena bagaimana pun mereka adalah saudara dalam kemanusiaan. Kecuali, jika bantu membantu itu hal kejahatan dan keburukan, maka Islam melarang hal ini. Allah menegaskan dalam Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."
Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Menolong orang lain, khususnya mereka yang sedang kesulitan sungguh memiliki banyak manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang yang kita tolong, bahkan kondisi masyarakat pun akan mendapatkan manfaat dari sikap dan perbuatan baik ini.
Dengan menolong orang muslim yang sedang membutuhkan pertolongan, maka kita telah mencerminkan pesan persaudaraan yang ditamsilkan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
"Orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (ikut merasakan sakitnya)"
Lebih tegas terkait keutamaan menolong sesama Muslim, Rasulullah bersabda dalam hadis riwayat Imam Muslim:
مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"Siapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Siapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Siapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya."
Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Dalam hadits lain Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menolong orang yang dizalimi bahkan orang yang ingin berbuat zalim juga. Dalam hadits Nabi disebutkan:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
"Tolonglah saudaramu ketika dia berbuat zalim atau ketika dia dizalimi."
Dalam hadits yang disebutkan tadi, mungkin kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin kita menolong orang zalim padahal Allah telah melarang bantu membantu dalam hal keburukan. Hal ini pun pernah ditanyakan juga para sahabat, Rasulullah pun menjawab:
تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
"Pegang tangannya (tahan ia dari perbuatan zalim)."
Ma'asyiral muslimin rahimakumullah.
Dari hadits-hadits di atas, kiranya dapat menjadi pelajaran bagi kita semua agar bermurah hati menolong sesama Muslim karena mereka adalah saudara kita. Pun tanpa menafikan kita juga harus menolong siapa saja orang-orang di sekitar kita yang sedang dalam kesulitan. KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berpesan:
"Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang. Orang tidak akan pernah tanya apa agamamu,"
Contoh Khutbah Jumat #5: Pohon Keimanan
(sumber: buku Ensiklopedi Khutbah Pilihan tulisan Abu Hafizhah Irfan)
Ma'asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah
Allah membuat satu perumpamaan tentang kalimat tauhid dengan sebuah pohon yang baik, yang akarnya menghunjam kokoh ke bumi dan cabang-cabangnya menjulang ke langit. Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ. تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنِ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ.
"Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan Kalimah Thayyibah (kalimat yang baik) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon tersebut memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat."
'Abdullah bin 'Abbas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Kalimah Thayyibah dalam ayat tersebut adalah Syahadat Laa Ilaha Ilallah. Inilah perumpamaan bagi seorang yang murni dan benar dalam keimanan dan tauhidnya. Keimanan yang benar tersebut menghunjam kokoh dalam hatinya, ia menyakini kebenarannya, sehingga akan tampak buah dari keimanan tersebut berupa berbagai macam kebaikan. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di mengatakan ketika menafsirkan ayat tersebut;
فَكَذَلِكَ شَجَرَةُ الْإِيْمَانِ، أَصْلُهَا ثَابِتٌ فِي قَلْبِ الْمُؤْمِنِ، عِلْمًا وَاعْتِقَادًا وَفَرْعُهَا مِنَ الْكَلَمِ الطَّيِّبِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَالْأَخْلَاقِ الْمَرْضِيَّةِ
"Demikianlah pohon keimanan, akarnya menghunjam di hati orang yang beriman, (secara) keilmuan dan keyakinan dan cabangnya adalah; ucapan yang baik, amalan shalih, dan akhlak yang diridhai."
Ikhwani fillah rahimani wa rahimakumullah
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pohon keimanan yang baik akan membuahkan beberapa hasil yang baik pula, di antaranya adalah:
1. Ucapan yang Baik
Seorang yang benar keimanan dan tauhidnya akan tercermin dari apa yang terucap dari lisannya. Jika keimanannya benar, maka yang keluar dari lisannya adalah kata-kata kebenaran. Karena Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar berkata-kata yang benar. Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيدًا.
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.
Ucapan yang baik yang tidak menyakiti orang lain, juga merupakan tanda keutamaan keislaman seseorang. Sebagaimana 'Abdullah bin 'Amru bin Al-'Ash, ia berkata;
إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.
"Sesungguhnya seorang Jaki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah "Siapakah muslim yang baik?" Rasulullah menjawab, "Seorang (muslim yang berupaya agar) muslim (yang lainnya) selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya.
2. Amalan Shalih
Keimanan yang benar akan melahirkan amal shalih, yaitu amalan yang dibangun di atas keikhlasan kepada Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Amal shalih tersebut dapat berupa; shalat, puasa, dan yang lainnya. Berkata Al-Fudhail bin 'Iyadh
إِنَّ الْعَمَلَ إِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلُ وَإِذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُوْنَ خَالِصًا وَصَوَابًا وَالْخَالِصُ أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ.
"Sesungguhnya suatu amalan jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka ia tidak akan diterima (oleh Allah ). Jika amalan tersebut benar tetapi tidak ikhlas, maka juga tidak akan diterima (oleh Allah ). Hingga amalan tersebut ikhlas dan benar. Ikhlas adalah karena Allah dan benar adalah sesuai Sunnah Rasulullah."
أَقُولُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ كُلِّ ذَنْبِ، فَسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمْنَ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَنِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَبَعْدُ :
Ma'asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah
3. Akhlak yang diridhai oleh Allah
Keimanan yang benar juga akan membuahkan akhlak-akhlak yang mulia yang diridhai Allah. Sehingga seorang mukmin akan baik dalam bermuamalah dengan sesama manusia. Dengan akhlaknya tersebut ia menjadi dicintai oleh manusia yang lainnya. Semakin baik akhlak seseorang, maka semakin menunjukkan kesempurnaan imannya.
Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda;
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. "
Sehingga dengan demikian, mukmin yang benar imannya akan menjadi insan yang mulia. Karena keimanannya akan mendoronganya untuk berucap yang baik, keimanannya akan memotivasi untuk melakukan berbagai amal shalih, dan keimanannya tersebut juga mengajaknya untuk menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang diridhai Allah.
Agar keimanan benar-benar menghunjam dalam dada, maka hendaknya seorang muslim berupaya untuk menyirami pohon keimanannya tersebut dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang di dalam diajarkan ayat-ayat Allah dan Sunnah-sunnah Rasulullah. Karena dengan demikian diharapkan keimanannya akan senantiasa terpupuk subur, sehingga dapat tumbuh dengan kokoh, dan pada akhirnya akan membuahkan hasil positif, yaitu menjadi manusia yang mulia di hadapan Allah 5% dan mulia di hadapan manusia.
Akhirnya kita memohon kepada Allah agar diberikan keimanan yang benar dan kokoh. Dan kita juga memohon kepada Allah, agar Allah mengampuni semua dosa-dosa kita dan memasukkan kita ke dalam Surga-Nya.
Contoh Khutbah Jumat #6: Pentingnya Membiasakan Ibadah kepada Anak Sejak Dini
(sumber: situs Muhammadiyah)
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah menganugerahkan kepada kita nikmat iman dan Islam. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Marilah kita meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Caranya mudah sekali yaitu dengan mengerjakan tiap-tiap perintah dan menjauhi tiap-tiap larangan. Dengan begitu, kita bisa menjadi manusia yang husnul khatimah.
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
Dalam kehidupan ini, kita semua adalah pemimpin. Setidaknya, kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri dan bagi keluarga kita. Salah satu amanah terbesar yang Allah bebankan kepada kita sebagai orang tua dan pendidik adalah mendidik generasi penerus.
Mendidik bukan hanya tentang mengajarkan ilmu dunia, melainkan juga menanamkan pondasi agama yang kokoh, terutama dalam hal kebiasaan ibadah sejak dini.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, surat Luqmān ayat 17, yang seharusnya menjadi pedoman utama bagi kita:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Artinya: "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS Luqmān [31]: 17).
Ayat yang mulia ini adalah nasihat Luqman Al-Hakim kepada putranya, sebuah nasihat yang abadi dan relevan bagi setiap orang tua. Di dalamnya, Allah menegaskan pentingnya shalat sebagai tiang agama, diikuti dengan perintah untuk beramar ma'ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), serta kesabaran dalam menghadapi ujian.
Ini adalah fondasi moral dan spiritual yang harus kita tanamkan pada anak-anak kita.
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
Tidak hanya Al-Qur'an, Rasulullah Muhammad SAW, teladan terbaik kita, juga memberikan perhatian khusus terhadap pembiasaan ibadah pada anak-anak. Beliau SAW bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: "Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika anak tersebut berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakiti) ketika umur mereka sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur mereka." (HR Abū Dāwūd, no. 495).
Hadis ini adalah bukti nyata betapa seriusnya Nabi SAW dalam mendidik umatnya untuk membiasakan shalat sejak dini. Pada usia tujuh tahun, anak sudah diperintahkan untuk shalat, dan pada usia sepuluh tahun, jika mereka belum juga melaksanakannya, maka diperbolehkan memberikan pukulan yang mendidik, bukan menyakiti, sebagai bentuk ketegasan dan bimbingan.
Ini menunjukkan bahwa mendidik ibadah adalah proses yang konsisten dan membutuhkan ketelatenan.
Hadirin jamaah Jumat yang berbahagia,
Membiasakan anak-anak kita beribadah bukan semata-mata memenuhi kewajiban agama, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang untuk membentuk karakter dan moral yang kuat pada diri mereka.
Ibadah yang dilakukan secara rutin, seperti shalat lima waktu, membaca Al-Qur'an, atau berzikir, akan menanamkan nilai-nilai luhur dalam jiwa mereka:
Disiplin: Ibadah melatih anak untuk disiplin waktu, bangun pagi untuk shalat Subuh, dan mengatur kegiatan sesuai waktu shalat.
Tanggung Jawab: Mereka belajar bertanggung jawab atas kewajiban agama mereka kepada Allah SWT.
Ketekunan: Konsistensi dalam ibadah mengajarkan ketekunan dan kesabaran.
Menghormati Waktu: Shalat pada waktunya mengajarkan mereka menghargai setiap detik yang Allah berikan.
Rasa Syukur: Melalui ibadah, anak-anak diajarkan untuk merenungi nikmat Allah dan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam.
Hubungan Spiritual: Yang terpenting, ibadah menguatkan hubungan spiritual mereka dengan Sang Pencipta, menumbuhkan ketenangan hati dan keimanan yang kokoh.
Oleh karena itu, Hadirin jamaah Jumat yang berbahagia, sebagai orang tua dan pendidik, kita memiliki peran yang sangat vital. Kita bukan hanya penyampai perintah, tetapi juga teladan dan pembimbing.
وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: "Dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil'." (QS Al-Isrā' [17]: 24)
Ayat ini mengingatkan kita akan hak orang tua dan bagaimana mereka telah mendidik kita sejak kecil. Kini, giliran kita untuk menjalankan peran tersebut dengan sebaik-baiknya. Dengan mengajarkan dan mencontohkan ibadah yang benar, kita membantu anak-anak untuk tumbuh menjadi individu yang:
Beriman kepada Allah SWT.
Berakhlak mulia, karena ibadah yang benar akan membuahkan akhlak yang baik.
Siap menghadapi tantangan kehidupan dengan sikap yang positif, berbekal keimanan dan ketakwaan.
Pembiasaan ibadah sejak dini adalah investasi berharga untuk masa depan anak-anak kita, dan bahkan untuk masa depan generasi mendatang. Merekalah penerus perjuangan Islam, yang akan memakmurkan bumi ini dengan nilai-nilai tauhid dan kebaikan.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita kekuatan dan petunjuk untuk mendidik anak-anak kita menjadi generasi yang shalih dan shalihah, yang menjadi penyejuk mata dan kebanggaan umat.
Marilah kita tutup ibadah Jumat kita hari ini dengan berdoa kepada Allah Swt.
Contoh Khutbah Jumat #7: Antara Ghibah dan Dzikrullah
(sumber: buku Kumpulan Materi Ramadhan & Khutbah Jum'at tulisan Abu Zakariya Sutrisno)
Jama'ah ibadah Jum'ah yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta'ala,
Pertama-tama marilah kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya. Kita besyukur masih diberi kesempatan oleh Allah subhanahu wata'ala untuk mengisi lembaran kehidupan kita dengan ibadah dan hal yang bermanfaat lainnya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada panutan kita, Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassallam, kepada keluarga, sahabat, serta pengikutnya sampai hari kiamat kelak. Tak lupa kani mewasiati diri kami sediri dan kaum muslimin sekalian untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah, sesungguhnya barangsiapa bertaqwa kepada Allah maka ia berada pada keberuntungan yang besar.
Saudaraku, Kaum Muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta'ala,
Lunak dan tidak bertulang itulah lidah. Tergantung yang memilikinya, ia bisa menjadi pintu kebaikan dan bisa juga menjadi pintu keburukan. Menjadi pintu kebaikan andaikata lidah tersebut ringan untuk senantiasa berdzikir dan bertutur kata yang baik. Menjadi pintu keburukan andaikata ringan berbicara kotor dan menyakiti orang lain. Oleh karena itu, pada kesempatan khutbah Jum'at yang mulia ini khatib ingin menyampaikan sedikit nasehat tentang bahaya ghibah. Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda,
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hendaknya kita selalu berusaha bertutur kata yang baik. Jika kita tidak mampu bertutur kata yang baik maka sebaiknya kita diam. Diam itu lebih baik dan lebih selamat daripada kita berkata yang tidak berfaedah. atau berkata yang mengandung keburukan seperti ghibah dan lainnya. Oleh karena itu, Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu mengatakan,
عليكم بذكر الله تعالى فانه شفاء واياكم وذكر الناس فانه داء
"Hendaknya kalian senantiasa berdzikir kepada Allah karena itu adalah obat, dan jauhi kalian menyebut manusia karena itu adalah penyakit."
Saudaraku Kaum Muslimin, Jama'ah ibadah Jum'ah yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta'ala,
Definisi ghibah adalah menyebut tentang seseorang yang ia tidak sukai meskipun hal itu benar adanya. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan Rasulallah sholallahu 'alaihi wassallam dalam hadistnya,
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا : الله وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذكرك أخاك بِمَا يَكْرَهُ، قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِن كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتُهُ
"Apakah kalian tahu apa itu ghibah?" Maka mereka menjawab: "Alloh dan rasul-Nya yang lebih tahu." Maka beliau bersabda: "Engkau menyebut-nyebut soudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai. Mereka bertanya lagi: "Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku itu memang ada yang seperti kataku, wahai Rosulullah?" Beliau menjawab: "Jika pada diri saudaramu itu ada yang seperti katamu, berarti engkau telah meng-ghibah-nya, dan jika pada dirinya tidak ada yang seperti katamu, berarti engkau telah berdusta tentangnya." (HR Muslim)
Jama'ah rahimakumullah,
Banyak sekali dalil-dalil dalam Al Qur'an dan Sunnah yang menunjukkan larangan dan bahaya ghibah. Diantaranya, Allah berfirman dalam surat Al Hujurat ayat ke 12,
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
"Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
Dalam ayat ini Allah memisalkan orang yang menghibah seperti memakai bangkai saudaranya. Tentu kita semua jijik dengan hal tersebut. Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam bersabda,
الزِّنَا؟ قَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ الغيبة أشد من الزنا، قَالُوا : يَا رَسُولَ الله وَكَيْفَ الْغِيْبَةُ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا؟ قَالَ: ليَزْنِي فَيَتُوبُ فَيَتُوبُ اللهُ عَلَيْهِ وَإِن صَاحِبَ الغيبة لا يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَهَا لَهُ صَاحِبُهُ
"Ghibah itu lebih jelek daripada zina. Mereka bertanya: "Bagaimana ghibah lebih jelek dari zina, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Sesungguhnya seseorang telah berzina, kemudian bertaubat dan Alloh pun mengampuni dosanya, sedangkan orang yang melakukan ghibah tidak akan diampuni Alloh, hingga orang yang di-ghibah-nya mengampuninya." (HR. Ibnu Abi Dunya dan Baihaqiy)
Jama'ah rahimakumullah,
Cukup banyak perkataan para salafus salih yang memperingatkan akan bahaya ghibah. Bahkan Imam Qatadah rahimahullah telah menukil adanya ijma' bahwa ghibah termasuk dosa besar. Berkata Imam Nawawi rahimahullah, "Ghibah seseorang (adalah) dengan (menyebut) sesuatu yang tidak ja sukai baik pada badannya, agamanya, (hal) dunianya, pribadinya, bentuknya, perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, bajunya, gerakannya.. atau yang lainnya. "Berkata Hasan al Bashri rahimahullah, "Barangsiapa disibukkan dengan aib orang lain dan lupa akan aib dirinya sendiri ketahuilah dia telah terperdaya."
Jama'ah Rahimakumullah,
Demikianlah sebagian gambaran bahaya dan jeleknya ghibah. Semoga kita dan kaum muslimin sekalian dijauhkan darinya
Jama'ah ibadah Jum'ah yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta'ala
Sebagaimana telah disebutkan dikhutbah pertama tentang pentingnya kita menjaga lisan kita dan bahaya ghibah. Hendaknya kita berhati-hati jangan sampai lisan kita menjadi sumber kejelekan bagi diri kita. Sebaliknya, mari kita gunakan lisan kita untuk dzikrullah dan perkataan yang bermanfaat lainnya sehingga bisa menjadi pintu kebaikan bagi din kita.
Jama'ah rahimakumullah,
Suatu ketika Rasulullah sholallahu 'alaihi wassalam pernah menasehati Abu Dzar, beliau shallallahu 'alaihi wasallam memegang lisan beliau sambil bersabda: "Jagalah inil Abu Dzar berkata, "Wohal Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?" Maka beliau bersabda, "Celaka! bukankah yang menjadikan seseorang tersungkur mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka adalah akibat lison-lisan mereka?" (HR Tirmidzi, la berkata hadits ini hasan shahih)
Sekali lagi, marilah kita jauhi ghibah dan perkataan kotor lainnya dan kita basahi lisan kita dengan dzikrullah. Cukuplah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berikut menunjukkan betapa utamanya dzikrullah. Beliau bersabda.
مثل الَّذِي يَذكرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لا يَذْكُرُ رَبُّهُ مثل الحي والميت
"Perumpamaan orang yang ingat akan Rabbnya dengan orang yang tidak Ingat Rabbnya laksana orang yang hidup dengan orang yang mati" (HR. Bukhari)
Contoh Khutbah Jumat #8: Menjadi Manusia Bermanfaat
(sumber: tulisan Ustadz M Shodiq Ma'mun dalam situs NU Banyumas)
Jamaah Jumat rahimakumullah...
Dalam kehidupan sosial, kita tidak hidup sebagai individu yang terpisah, melainkan sebagai makhluk sosial yang saling bergantung dan berinteraksi satu sama lain. Setiap manusia memiliki peran dan kontribusi yang berbeda dalam membangun keharmonisan dan kemajuan masyarakat. Namun, tidak semua individu memberikan manfaat yang sama besar atau memiliki pengaruh yang serupa dalam kehidupan bersama.
Imam Hasan Al-Bashri memberikan gambaran yang sangat menarik mengenai klasifikasi manusia berdasarkan tingkat manfaat dan keberadaan mereka dalam masyarakat. Beliau berkata:
الرِّجَالُ ثَلَاثَةٌ : فَرَجُلٌ كَالْغِذَاءِ لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ ، وَرَجُلٌ كَالدَّوَاءِ لَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ إِلَّا حِينًا بَعْدَ حِينٍ ، وَرَجُلٌ كَالدَّاءِ لَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ أَبَدًا
Manusia terbagi menjadi tiga tipe berdasarkan peran dan manfaatnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Pertama, orang yang keberadaannya sangat penting dan selalu dibutuhkan, seperti makanan yang menjadi sumber kehidupan dan kekuatan bagi tubuh. Tanpa kehadiran mereka, kehidupan sosial akan terasa kekurangan dan tidak berjalan dengan baik.
Kedua, orang yang manfaatnya terasa hanya pada saat-saat tertentu, layaknya obat yang diperlukan ketika tubuh sakit atau mengalami gangguan. Kehadiran mereka sangat berarti di waktu-waktu tertentu, namun tidak selalu dibutuhkan setiap saat.
Ketiga, orang yang keberadaannya justru membawa kerugian dan gangguan, seperti penyakit yang merusak kesehatan dan harus dihindari. Orang-orang ini tidak diinginkan kehadirannya karena dapat menimbulkan masalah dan merusak keharmonisan dalam masyarakat.
Dari gambaran tersebut, kita dapat mengambil pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya kita menempatkan diri dalam masyarakat.
Jamaah Jumat rahimakumullah...
Kita semua tentu berharap menjadi golongan manusia yang seperti makanan, yang selalu dibutuhkan dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Karena sesungguhnya Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ خَيْرٌ مِّنْهَاۚ وَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِيْنَ عَمِلُوا السَّيِّاٰتِ اِلَّا مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
"Barangsiapa datang membawa kebaikan, maka dia akan mendapat (balasan) kebaikan itu." (QS. Al-Qashash: 84)
Melalui ayat ini, kita dipahamkan bahwa setiap kebaikan yang kita berikan kepada orang lain akan kembali kepada kita dengan balasan yang baik dari Allah SWT. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita berusaha menjadi pribadi yang bermanfaat, tidak hanya untuk keluarga dan lingkungan terdekat, tetapi juga untuk masyarakat luas.
Jamaah Jumat rahimakumullah...
Marilah kita renungkan posisi kita masing-masing dalam masyarakat. Apakah kita sudah menjadi manusia yang selalu memberikan manfaat seperti makanan? Ataukah kita hanya sesekali diperlukan seperti obat? Atau bahkan kita termasuk golongan yang tidak diinginkan keberadaannya karena membawa mudharat seperti penyakit?
Untuk itu, mari kita tingkatkan kualitas diri dengan memperbanyak amal kebaikan, menebar manfaat, dan menjauhi perbuatan yang merugikan orang lain. Ingatlah bahwa menjadi pribadi yang bermanfaat adalah bagian dari ibadah yang dicintai Allah SWT dan jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Doa Pembuka dan Penutup Khutbah Jumat
Diambil dari buku Doa Harian Pengetuk Pintu Langit oleh Hamdan Hamedan, doa pembuka khutbah Jumat adalah:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مِنْ يَهْذِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . أَمَّا بَعْدُ.
Arab Latin: Innal hamdalillaah, nahmaduhuu, wa nasta'iinuhu, wa nastagh-firuh. Wa na'uudzu billaahi min syuruuri anfusinaa, wa min sayyi-aati a'maalinaa. Man yahdihillaahu falaa mudhilla lah, wa man yudh-lil falaa haadiya lah. Wa asyhadu al-laa ilaaha illallaah, wahdahu laa syariika lah, wa anna muhammadan 'abduhu wa rasuuluh. Ammaa ba'du. (berdasar HR Muslim no 868, Abu Dawud no 2118, dan an-Nasai no 1405)
Doa penutupnya adalah:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً, اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين
Arab Latin: Innallaha wa malaaikatahu yushalluuna 'alan-nabiyyi yaa ayyuhalladzina aamanuu shalluu 'alaihi wa sallimuu tasliimaa. Allahumma shalli 'alaa muhammadin wa 'alaa aali muhammad.
Allahummagfirlilmuslimiina wal-muslimaat, wal-mu'miniina wal-mu'minaati al-ahyaai minhum wal-amwaat, innaka samii'un qariibun mujiibud-da'awaati. Rabbanaa laa tuakhidznaa in nasiinaa au akhtha'naa rabbanaa walaa tuhmil 'alainaa ishran kamaa hamaltahu 'alalladziina min qablinaa. Rabbanaa walaa tuhammilnaa maalaa thaqatalanaabih wa'fu 'annaa wagfirlanaa warhamnaa anta maulaanaa fanshurnaa 'alal-qaumil-kaafiriin. Rabbanaa aatinaa fid-dunyaaa hasanah wa fil-akhirati hasanah, waqinaa 'adzaaban-naar. Wal-hamdulillahirabbil-'aalamiin
Nah, itulah 8 contoh khutbah Jumat dan bacaan doa pembuka-penutupnya yang bisa kamu jadikan referensi. Semoga bermanfaat!
(sto/dil)