Sejarah Guling di Indonesia, Berawal dari Kesepian hingga Jadi Teman Tidur

Sejarah Guling di Indonesia, Berawal dari Kesepian hingga Jadi Teman Tidur

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Rabu, 09 Jul 2025 15:45 WIB
Bantal guling
Bantal guling. (Foto: freepik/Freepik)
Solo - Banyak orang tidak bisa tidur nyenyak tanpa guling, dan mungkin kamu salah satunya. Meski kini jadi teman tidur yang lekat dengan kenyamanan, sejarah guling di Indonesia justru berawal dari kesepian para pria kolonial yang jauh dari rumah. Dari benda pelipur rindu di tanah jajahan, guling perlahan berubah menjadi bagian penting dari budaya tidur masyarakat Indonesia.

Istilah guling sendiri sudah muncul di Nusantara sejak zaman kolonial Belanda. Dikutip dari Viertalig aanvullend hulpwoordenboek voor Groot-Nederland (Kamus Tambahan Empat Bahasa untuk Negeri-Negeri Belanda Raya), istilah goeling (guling) dijelaskan sebagai 'Dutch wife'. Artinya adalah sebuah bantal panjang dengan rangka terbuka dari rotan atau tebu untuk menyokong anggota tubuh saat tidur di Hindia Belanda (Indonesia).

Lalu bagaimana sejarahnya guling bisa muncul di Indonesia? Yuk, simak penjelasan lebih lengkapnya di bawah ini, detikers!

Sejarah Guling di Indonesia dan Asia

Guling bukan sekadar bantal panjang yang dipeluk saat tidur. Ia menyimpan jejak sejarah yang berkelindan dengan kesepian, kekuasaan, dan kehidupan kolonial. Dalam proyek seni The Dutch Wife karya Aram Lee di Design Academy Eindhoven, guling dijelaskan sebagai benda yang awalnya dibuat dari anyaman bambu dan digunakan di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga tubuh tetap sejuk ketika tidur di iklim tropis. Tetapi lebih dari itu, benda ini juga memiliki makna simbolis yang dalam.

Aram menelusuri bahwa guling pernah dikenal sebagai pengganti istri bagi pria kolonial. Saat itu, banyak laki-laki Belanda tinggal di Hindia (Indonesia) tanpa pasangan sah. Mereka sering membangun relasi informal dengan perempuan lokal. Dalam banyak kasus, perempuan ini memiliki status sosial yang lebih rendah. Guling kemudian dianggap mewakili peran istri di koloni. Ia menjadi teman tidur yang tidak bersuara, memberi kenyamanan fisik sekaligus menjadi cerminan relasi kuasa antara penjajah dan yang dijajah.

Pandangan ini juga diperkuat oleh Bo Ruberg dalam buku Sex Dolls at Sea yang diterbitkan oleh MIT Press. Ia menyebut bahwa istilah 'Dutch wife' atau 'istri Belanda' muncul dalam catatan kolonial sebagai bentuk substitusi kedekatan fisik yang hilang saat pria kulit putih tinggal jauh dari rumah. Bagi Ruberg, guling bahkan dianggap sebagai cikal bakal boneka seks yang berakar pada fantasi kolonial, di mana kenyamanan dan dominasi hadir dalam satu objek.

Nama Dutch wife sendiri bukan berasal dari masyarakat lokal. Istilah ini muncul ketika para kolonialis Belanda dan Inggris mulai menggunakan bantal panjang yang umum dipakai di wilayah tropis seperti Indonesia. Bentuknya yang memanjang dan berongga membuatnya nyaman dipeluk dan membantu sirkulasi udara saat tidur. Dalam konteks kesendirian dan iklim panas, guling menjadi solusi praktis sekaligus simbolis. Dari sinilah muncul istilah istri Belanda yang menyebar dalam bahasa Inggris sebagai Dutch wife.

Laman Good Nights Rest menyebut bahwa istilah Dutch dalam 'Dutch wife' kemungkinan berasal dari masa kolonisasi Belanda di Indonesia. Bisa juga berasal dari penggunaan kata Dutch dalam Bahasa Inggris klasik yang bermakna tidak lazim atau menyimpang. Contohnya seperti istilah Dutch courage yang berarti keberanian palsu akibat alkohol, yang muncul pada masa konflik antara Inggris dan Belanda di abad ke-17.

Di luar konteks kolonial, guling juga dikenal di berbagai budaya Asia Timur dan Tenggara dengan nama lokal masing-masing. Guling di Jepang disebut chikufujin, di Tiongkok disebut zhΓΊfΕ«rΓ©n, dan di Korea dikenal sebagai jukbuin. Ketiganya berarti istri bambu. Di Filipina disebut kawil, di Thailand monkhang, di Vietnam gα»‘i Γ΄m, dan di Kamboja khnaeu-orp. Meskipun namanya berbeda, maknanya serupa yaitu bantal peluk atau teman tidur.

Perubahan Material Guling

Dalam ulasan dari Good Nights Rest, dijelaskan bahwa guling atau bamboo wife pada awalnya dibuat dari anyaman bambu tipis. Bentuknya panjang, berongga, dan cukup keras. Bahan seperti bambu atau rotan dipilih karena mudah dianyam dan mampu menjaga sirkulasi udara. Struktur ini memungkinkan pengguna tidur lebih nyaman di iklim panas dan lembap.

Namun seiring waktu, bentuk dan fungsi guling mulai disesuaikan dengan kebutuhan modern. Kehadiran teknologi seperti pendingin ruangan dan kipas angin membuat kebutuhan akan kerangka bambu berkurang. Guling memang tetap dibutuhkan hingga kini, tetapi tidak lagi sebagai alat pendingin utama. Maka lahirlah berbagai versi guling dengan bahan empuk seperti busa, kapas, bahkan memory foam.

Hal serupa juga disampaikan dalam artikel dari Knuffel Kussen. Mereka menyebut bahwa guling atau goeling kini dihadirkan dalam desain kontemporer dengan material berkualitas tinggi. Fungsinya masih sama yaitu memberikan pelukan, kenyamanan, dan dukungan tubuh saat tidur. Bedanya, kini guling tampil lebih modern dan empuk. Guling menjelma dari barang khas negara tropis hingga akhirnya menjadi bagian dari gaya tidur sehat di banyak negara.

Transformasi bahan ini menunjukkan bahwa meski bentuk luar dan nama bisa berubah, esensi dari guling tetap bertahan. Ia tetap menjadi simbol kenyamanan dan teman tidur yang bisa diandalkan, baik dalam bentuk bambu maupun dalam wujud bantal modern yang empuk dan lembut.

Itulah tadi sejarah guling di Indonesia yang ternyata sangat menarik. Semoga penjelasan di atas dapat memberikan manfaat!


(sto/apl)


Hide Ads