Para sopir truk yang tergabung dalam Aliansi Pengemudi Independen (API) berdemo di depan Kantor Dinas Perhubungan Jawa Tengah (Dishub Jateng). Mereka menolak aturan soal Over Dimension Over Load (ODOL) dan meminta Dishub Jateng menandatangani surat tuntutan berisi 16 poin.
Pantauan detikJateng, aksi digelar sejak pukul 09.30 WIB. Truk-truk itu membawa poster bertulisan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) ODOL, seperti 'Tolak RUU ODOL', 'Negara Kebanyakan Aturan', 'Sopir Bukan Kriminal'.
Salah satu sopir asal Jakarta, Roli (54), mengaku berangkat dari Jakarta sejak kemarin pukul 22.00 WIB demi ikut demo di Semarang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Saya sampai sini pagi. Rombongan kami ada sekitar 17 truk, datang terpisah. Memang niatnya ke Semarang untuk aksi ini," kata Roli kepada detikJateng di lokasi, Selasa (23/6/2025).
Roli mengatakan aturan Zero ODOL itu memberatkan sopir. Menurut dia, muatan yang diangkut sopir sering tak bisa diprediksi dan bergantung pada kebutuhan pelanggan.
"Kalau muatannya terlalu sedikit ya kita rugi, kalau terlalu banyak takut kena tilang. Maunya kita sih seimbang aja. Saya biasanya bawa juga nggak jauh dari kapasitas," ujar dia yang sebelumnya juga ikut demo serupa di Jakarta.
Sopir truk lain asal Semarang Utara, Nursholeh (51) juga mengatakan hal serupa.
"Kalau RUU ODOL diberlakukan, kita rugi. Biasanya bisa bawa 10 kubik, sekarang cuma 4 kubik. Ongkos tetap, tapi barang sedikit. Ujung-ujungnya harga barang naik, yang kena imbas ya rakyat kecil," kata Nursholeh.
Dia berujar, biasanya dalam sekali perjalanan ke Kalimantan bisa mendapat pemasukan kotor Rp 1,5 juta. Namun, setelah dipotong solar dan biaya makan, yang tersisa hanya sekitar Rp 500 ribu.
"Kalau ODOL makin ketat, bisa-bisa bayarannya nanti Rp 700 ribu bahkan kurang. Dua hari di jalan, capek, risiko besar. Tapi nggak ada jaminan. Mau naikkan ongkos ya rakyat juga kasihan, harga-harga makin mahal," ucap dia.
Nursholeh menambahkan, seluruh sopir yang demo hari ini sengaja libur dulu demi memperjuangkan nasib.
"Kalau aturannya terus begini, kita siap mogok terus. Tapi kita juga mikir rakyat. Kita bisa jalan, tapi apakah rakyat kuat kalau harga-harga makin naik?" kata dia.
"Kita di jalan bukan cuma mikir logistik, tapi juga keselamatan. Pungli masih banyak, preman juga masih berkeliaran. Kita bukan minta dimanja, cuma ingin dihargai," sambung Nursholeh.
Aksi demo ini dipimpin langsung Ketua Umum API Nasional, Suroso. Dia bilang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memberatkan para sopir.
"Sebetulnya teman-teman ini akan mendukung dengan adanya undang-undang 22/2009. Akan tetapi bilamana undang-undang diperlakukan, akan memberatkan bagi para pengemudi khususnya di bidang transportasi logistik," kata Suroso.
Ia menyebut, jika pelaksanaan aturan itu tidak adil, pengemudi yang akan jadi korban. Ia menyoroti keadaan sopir yang kerap pulang hanya membawa uang Rp 500 ribu untuk tiga hari perjalanan, tanpa THR maupun perlindungan hukum.
"Itu punglinya Pak? Rp 2-3 juta punglinya di Jakarta. (Dalam satu kali perjalanan?) Iya, kalau di Jakarta apalagi itu," ujarnya. Ia menegaskan, aksi kali ini baru peringatan awal.
"Bilamana ini tidak segera direspons, kita akan mogok nasional. Kita nggak akan aksi di jalan, tapi akan mogok di rumah. Karena dengan adanya undang-undang ini kita sudah tertekan, sudah merasa keberatan," ujar Suroso.
Kemudian, perwakilan API diterima Kepala Dishub Jateng Arief Djatmiko bersama sejumlah pejabat dari BPTD, Polda Jateng, dan Dishub Kota Semarang.
"Kami sudah diskusi beberapa tuntutan dari API yang sudah masuk ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Ini sudah kita sepakati dan pasti kami teruskan ke pemerintah pusat agar mendapatkan perhatian," kata Arief Djatmiko saat menemui massa.
Arief pun membacakan tuntutan API yang telah diteken Dishub Jateng, yaitu:
- Mendorong pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2000 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan agar memenuhi asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
- Menolak penindakan pelanggaran ODOL di lapangan sebelum Undang-Undang 22 tahun 2009 direvisi, mengingat pengemudi hanya pelaksana di lapangan dan justru menjadi korban utama pendidikan Zero ODOL
- Mengusulkan pembentukan lembaga pengawas independen nonpemerintah. Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang nomor 22 tahun 2009
- Menyoroti bahwa hanya sedikit perusahaan angkutan yang telah memenuhi standar SMK PAU (Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum)
- Menuntut penindakan tegas kepada pemilik barang dan perusahaan angkutan umum yang melakukan pelanggaran
- Meminta keterlibatan pemerintah dalam menentukan standar tarif angkutan barang atas bawah dan batas atas agar tercipta persaingan sehat dan mendukung keselamatan lalu lintas
- Mengeluhkan ketimpangan daya saing antarpengemudi perorangan dengan perusahaan besar akibat mahalnya biaya operasional dan tingginya biaya penyelesaian perkara saat terjadi kecelakaan
- Menuntut penyediaan fasilitas peristirahatan dan terminal barang yang lengkap, memadai, dan aman
- Meminta perhatian terhadap maraknya tindak kriminal di jalan terhadap pengemudi angkutan barang
- Mengusulkan pembentukan Kementerian Khusus Pengemudi sebagai wadah resmi penyampaian aspirasi dan kebutuhan pengemudi kepada pemerintah
- Menyoroti kurangnya jalur penyelamat di lokasi rawan kecelakaan
- Menuntut fasilitas pendidikan khusus keselamatan berkendara, SIM berlaku seumur hidup, gratis biaya pembuatan SIM bagi pemudi
- Mengusulkan kajian ulang terhadap standar pengembangan desain dan uji kelayakan kendaraan angkutan barang agar sesuai dengan kemajuan teknologi
- Menuntut pengaturan khusus kendaraan angkutan spesifik, seperti seperti ternak, hasil bumi, dan barang antarpulau dari sisi desain dan kelayakan teknis
- Menuntut perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan pengemudi. Khususnya penyediaan asuransi kesehatan gratis
- Meminta ketersediaan operator pelayanan lebih dari satu atau multi operator di lintasan padat agar tidak terjadi monopoli harga tiket penyeberangan
(dil/afn)