Sejarah Hari Raya Nyepi Beserta Makna, Tujuan, dan Rangkaian Tradisinya

Sejarah Hari Raya Nyepi Beserta Makna, Tujuan, dan Rangkaian Tradisinya

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Kamis, 27 Mar 2025 09:40 WIB
Ilustrasi umat Hindu bersembahyang.
Ilustrasi Hari Raya Nyepi. Foto: Ilustrasi
Solo -

Sejarah Hari Raya Nyepi berkaitan erat dengan perayaan Tahun Baru Saka yang dirayakan oleh umat Hindu sebagai momen refleksi dan penyucian diri. Nyepi menjadi hari yang sangat sakral karena seluruh aktivitas duniawi dihentikan, memberikan kesempatan bagi umat Hindu untuk melakukan perenungan spiritual secara mendalam.

Pada 2025 ini, Hari Raya Nyepi akan jatuh pada hari Sabtu, 29 Maret. Perayaan ini mengikuti sistem kalender Saka dan selalu diperingati pada Tilem Kesanga atau bulan mati di bulan kesembilan kalender tersebut.

Lantas, seperti apakah sejarah Hari Raya Nyepi bermula? Mari simak penjelasan selengkapnya berikut ini!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Hari Raya Nyepi

Berdasarkan informasi yang dikutip dari laman resmi Kementerian Agama NTT serta buku Beragama Tanpa Rasa Takut tulisan Gede Agus Siswadi dan I Dewa Ayu Puspadewi, Hari Raya Nyepi berkaitan erat dengan sejarah Tahun Saka yang bermula di India. Sebelum ditetapkannya Tahun Saka, berbagai suku di India, seperti Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan Saka, sering terlibat dalam konflik berkepanjangan demi kekuasaan. Namun, suku Saka kemudian mengubah arah perjuangannya dari politik dan militer ke kebudayaan dan kesejahteraan. Perubahan ini membawa pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat India saat itu.

Pada 125 SM, Dinasti Kushana dari suku Yuehchi mengambil alih kekuasaan di India. Berbeda dengan penguasa sebelumnya, Dinasti Kushana tidak menggunakan kekuasaannya untuk menaklukkan suku lain, melainkan untuk merangkul dan menyatukan mereka dengan mengadopsi puncak-puncak kebudayaan setiap suku sebagai bagian dari budaya kerajaan.

ADVERTISEMENT

Kemudian pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari Dinasti Kushana menetapkan sistem kalender Saka sebagai kalender resmi kerajaan. Sejak saat itu, Tahun Saka menjadi simbol persatuan dan toleransi di India. Seiring dengan penyebaran agama Hindu, sistem kalender Saka juga menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara dan Nusantara.

Di Indonesia, penggunaan Tahun Saka tercatat dalam berbagai prasasti kuno. Salah satu bukti tertua adalah Prasasti Talang Tuo dari Dinasti Sriwijaya yang berangka tahun Saka 606. Selain itu, Prasasti Canggal dari Jawa Tengah yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun Saka 654 (732 M) juga mencatat penggunaan perhitungan Tahun Saka dengan sistem Candra Sangkala.

Di era Majapahit, perayaan Tahun Saka atau yang dikenal dengan perayaan Chaitra menjadi salah satu acara penting kerajaan. Berdasarkan catatan Mpu Prapanca dalam Nagarakretagama, perayaan Tahun Saka di Majapahit dirayakan dengan sangat meriah. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, acara ini melibatkan pertemuan besar para raja bawahan dari seluruh Nusantara, disertai dengan upacara keagamaan, meditasi, serta pertunjukan seni dan budaya.

Seiring waktu, perayaan Tahun Saka berkembang menjadi Hari Raya Nyepi yang dikenal saat ini. Perayaan ini tetap mempertahankan makna refleksi dan spiritualitas, sebagaimana yang telah dilakukan sejak zaman dahulu, serta terus menjadi bagian penting dari tradisi umat Hindu, khususnya di Indonesia.

Makna Hari Suci Nyepi

Dirangkum dari buku Catur Brata Panyepian Sebagai Proses Penyucian Diri dan Alam Semesta: Kajian Linguistik Fungsional Sistemik tulisan I Ketut Suardana dkk, Hari Suci Nyepi memiliki makna yang mendalam sebagai upaya mengharmonisasi alam semesta melalui pelaksanaan Catur Brata Panyepian. Dalam penerapannya, terdapat larangan-larangan yang dipatuhi oleh masyarakat, yang bertujuan untuk mencapai ketenangan dan keseimbangan. Selain aspek spiritual, perayaan ini juga melibatkan Pecalang Desa sebagai penjaga ketertiban, yang memastikan aturan-aturan selama Nyepi dapat berjalan dengan baik.

Selain sebagai bentuk penyucian diri, Hari Nyepi juga memiliki nilai toleransi antarumat beragama. Perayaan ini mencerminkan nilai-nilai multikultural yang berlaku secara universal, di mana masyarakat Bali menerapkan sikap saling menghormati dalam kehidupan sosial. Toleransi tersebut terwujud dalam sikap menghargai keberadaan kelompok lain yang memiliki latar belakang sosial dan budaya yang berbeda.

Di luar Bali, Hari Nyepi juga berperan sebagai perekat keberagaman umat Hindu yang tersebar di berbagai daerah. Perayaan ini menjadi momen berkumpulnya umat Hindu di suatu tempat tertentu, sehingga mempererat hubungan sosial dan keagamaan mereka.

Meskipun berada di lingkungan yang berbeda, mereka tetap melaksanakan Catur Brata Panyepian dengan penuh kekhidmatan, menyesuaikan dengan budaya setempat. Hal ini menunjukkan bahwa makna Hari Nyepi tidak hanya berpusat pada aspek ritual semata, tetapi juga sebagai bentuk penguatan identitas keagamaan dalam kerangka kebersamaan.

Tujuan Nyepi

Menurut Nyomas S Pendit dalam buku Nyepi: Kebangkitan, Toleransi, dan Kerukunan, Hari Suci Nyepi memiliki tujuan utama untuk mencapai disiplin hidup yang selaras dengan nilai-nilai spiritual Hindu. Melalui perayaan ini, umat Hindu menjalankan empat kaidah utama yang disebut Catur Brata Panyepian, yang bertujuan untuk mengendalikan diri, membersihkan hati, serta menciptakan keseimbangan dalam kehidupan.

Pertama, Amati Geni mengajarkan untuk tidak menyalakan api, baik secara fisik maupun simbolis. Selain mematikan api dapur dan lampu, makna yang lebih dalam adalah meredam api hawa nafsu, amarah, dan keserakahan dalam diri. Hal ini dilakukan melalui puasa, meditasi, serta menyepi guna mencapai ketenangan batin.

Kedua, Amati Karya berarti menghentikan segala aktivitas kerja. Dalam makna spiritual, hal ini mengajarkan pentingnya memahami hakikat bekerja tanpa mengharapkan imbalan berlebih, serta menjalani hidup secara sederhana dan penuh rasa syukur. Dengan beristirahat dari pekerjaan, seseorang dapat lebih mawas diri dan merenungkan tujuan hidupnya.

Ketiga, Amati Lelunganan adalah larangan untuk bepergian. Larangan ini bertujuan agar seseorang tidak menghabiskan waktu dan tenaga untuk perjalanan yang tidak perlu. Secara lebih luas, hal ini mengajarkan pentingnya penghematan dan pengelolaan sumber daya yang bijaksana, sehingga hidup menjadi lebih teratur dan bermanfaat.

Keempat, Amati Lelanguan mengajak umat Hindu untuk menahan diri dari kesenangan berlebihan. Perayaan yang penuh sukaria harus dihentikan, terutama jika mengarah pada perilaku negatif seperti berjudi, mengonsumsi minuman keras, atau melakukan tindakan tidak bermoral. Sebagai gantinya, umat Hindu dianjurkan untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat, seperti olahraga, membaca, atau mengasah keterampilan.

Rangkaian Tradisi Nyepi

Dikutip dari buku Sejarah Agama dan Kepercayaan di Dunia tulisan Siti Fauziyah serta Adat Istiadat Masyarakat Bali tulisan Dewi Mashita, perayaan Hari Suci Nyepi terdiri dari beberapa rangkaian. Mari kita simak penjelasannya!

1. Melasti

Tradisi Melasti dilakukan sebelum Hari Nyepi sebagai bentuk penyucian diri dan benda-benda sakral milik pura. Dalam upacara ini, arca dewa atau pratima dari setiap pura di suatu desa dikumpulkan terlebih dahulu di Pura Desa Puseh sebelum dibawa menuju laut atau mata air suci.

Air dipercaya sebagai sumber kehidupan yang mampu membersihkan segala kekotoran, baik lahir maupun batin. Oleh karena itu, umat Hindu menggunakan air suci dalam prosesi ini untuk memurnikan diri dari segala pengaruh negatif sebelum memasuki tahun yang baru.

Selain menyucikan diri, Melasti juga bertujuan untuk membersihkan alam semesta dari energi buruk. Air yang digunakan dalam ritual ini harus berasal dari sumber yang dianggap suci oleh masyarakat setempat, seperti laut, danau, atau mata air.

2. Tawur Kesanga

Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Tawur Kesanga, yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan antara manusia, sesama makhluk hidup, dan alam. Upacara ini dilakukan pada hari Tilem Chaitra (Kesanga) dengan mempersembahkan sesaji kepada Bhuta Kala, yaitu kekuatan-kekuatan alam yang dianggap bisa membawa ketidakseimbangan jika tidak dikendalikan dengan baik.

Sesaji dalam Tawur Kesanga disusun dengan berbagai bahan, seperti makanan, bunga, dan dupa, yang kemudian diletakkan di persimpangan jalan atau halaman rumah. Dalam beberapa daerah, upacara ini juga dimeriahkan dengan pawai Ogoh-Ogoh, patung raksasa yang melambangkan kejahatan. Setelah diarak keliling desa, Ogoh-Ogoh dibakar sebagai simbol pembersihan unsur negatif dari kehidupan manusia sebelum memasuki tahun baru.

3. Hari Nyepi

Puncak dari perayaan ini adalah Hari Nyepi, yang merupakan hari suci untuk melakukan refleksi diri dan mengendalikan hawa nafsu. Selama satu hari penuh, umat Hindu menjalankan Catur Brata Nyepi, yaitu empat aturan utama yang harus ditaati:

- Amati Agni (Tidak Menyalakan Api dan Mengendalikan Hawa Nafsu)

Dalam aturan ini, umat Hindu tidak menyalakan api, termasuk penggunaan listrik dan alat elektronik. Hal ini juga memiliki makna mendalam, yaitu pengendalian diri dari hawa nafsu dan emosi negatif agar jiwa tetap tenang.

- Amati Karya (Tidak Melakukan Pekerjaan Fisik)

Pada Hari Nyepi, semua aktivitas pekerjaan dihentikan. Umat Hindu dianjurkan untuk lebih fokus dalam meningkatkan kesadaran spiritual dengan melakukan meditasi dan doa.

- Amati Lelungan (Tidak Bepergian)

Tidak ada mobilitas di luar rumah selama Nyepi, sehingga jalanan di Bali benar-benar sunyi dan sepi. Aturan ini bertujuan agar masyarakat dapat melakukan refleksi diri tanpa gangguan dari dunia luar.

- Amati Lelanguan (Tidak Melakukan Hiburan atau Keseruan Duniawi)

Tidak ada hiburan, musik, atau kegiatan bersenang-senang pada Hari Nyepi. Sebaliknya, umat Hindu diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi melalui tapa, yoga, dan semadi.

Keempat aturan ini berlangsung dari fajar hingga fajar keesokan harinya. Uniknya, Hari Nyepi tidak hanya berdampak pada umat Hindu saja, tetapi juga pada alam sekitar. Dengan berkurangnya aktivitas manusia, polusi suara dan udara pun berkurang, sehingga memberikan kesempatan bagi alam untuk beristirahat.

4. Ngembak Agni

Sehari setelah Nyepi, umat Hindu merayakan Ngembak Agni atau Ngembak Geni. Pada hari ini, kehidupan sosial kembali berjalan seperti biasa, tetapi dengan semangat baru yang lebih bersih dan tenang. Umat Hindu memanfaatkan momen ini untuk melakukan Dharma Santi, yaitu saling mengunjungi keluarga, kerabat, serta teman-teman untuk mengucapkan selamat tahun baru dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu.

Dharma Santi bertujuan untuk mempererat kembali hubungan antarindividu setelah melewati masa penyucian diri pada Hari Nyepi. Dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, umat Hindu diharapkan dapat menjalani tahun yang baru dengan kebijaksanaan dan kedamaian.

Demikianlah penjelasan lengkap mengenai sejarah Nyepi, beserta makna, tujuan, hingga rangkaian upacaranya. Semoga bermanfaat!




(par/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads