Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Fajar Riza UI Haq mengatakan, angka putus sekolah di Indonesia sekitar 4 jutaan. Pihaknya menyebutkan salah satu upaya menekan angka putus sekolah dengan mengenalkan program relawan mengajar.
"Kita melihat mungkin ada sekitar 4 jutaan anak putus sekolah yang ada di Indonesia, itu menjadi konsen pemerintah. Salah satu terobosan yang kami tawarkan adalah dengan melalui mengintensifkan pembelajaran di luar kelas karena kita memahami yang penting bukan schooling, tapi learning-nya," kata Fajar kepada awak media usai mengisi Kelas Inspirasi di SMP Muhammadiyah 1 Alternatif (Mutual) Kota Magelang, Sabtu (15/3/2025).
"Jadi proses kayak di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), di masyarakat, itu bisa menolong untuk mengurangi angka putus sekolah. Karena kami sekarang menerjemahkan bahwa belajar itu tidak harus di sekolah, maka yang kita terapkan adalah learning-nya bukan schooling-nya. Maka, pendidikan-pendidikan nonformal itu akan menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi angka putus sekolah termasuk juga nanti kami di kementerian akan mengenalkan namanya program relawan mengajar," sambung Fajar.
Relawan mengajar tersebut, kata Fajar, datang dari masyarakat yang punya komitmen terhadap pendidikan dan bisa memberikan layanan pendidikan ketika ada keterbatasan SDM dari pemerintah.
"Misalnya di daerah-daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, terluar) di daerah-daerah yang marginal di mana akses pendidikan susah, terbatas, maka kita akan memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat yang ada di situ. Bisa di musala, bisa di masjid, bisa di gereja, misalnya kalau di Indonesia Timur kan. Jadi, kita akan mengintensifkan pembelajaran di luar sekolah," kata Fajar yang alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta, itu.
"(Relawan mengajar) Diutamakan warga lokal. Kami, kemarin baru bertemu dengan teman-teman di Papua. Contohnya di Papua dan kita sedang membicarakan bahwa yang menjadi guru adalah masyarakat setempat. Memang ada problem keterbatasan soal kompetensi yang nggak bisa disamakan yang di Jawa, tapi itu bisa kita atasi. Kita akan bekali mereka dengan kemampuan pedagogik. Yang penting anak-anak di sana, daerah 3T dapat mengenyam pembelajaran yang baik, standar minimal. Nah salah satu caranya kita akan mengefektifkan tadi tokoh-tokoh masyarakat, aktivis-aktivis masyarakat," ujar dia.
Untuk di Papua, katanya, misalnya mendatangkan orang dari luar tidak bisa jalan. Menurutnya, ada faktor keamanan, faktor budaya juga.
"Maka, pendekatan kita adalah mengoptimalkan potensi masyarakat lokal bukan hanya di Papua. Di daerah-daerah 3T, kayak di Kalimantan, NTT juga polanya akan sama," tegasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir detikEdu Jumat (14/3), data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menunjukkan pada tahun ajaran 2024/2025 angka putus sekolah tertinggi ada di satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik), cut off 30 November 2024 yang diolah Pusdatin Kemendikdasmen, jumlah siswa putus sekolah tertinggi berada di jenjang Sekolah Dasar (SD) sebanyak 38.540 (0,16%).
Adapun tingkat Sekolah Menengah Pertama sebanyak 12.210 siswa (0,12%), Sekolah Menengah Atas sebanyak 6.716 siswa (0,13%), dan SMK sebanyak 9.391 siswa (0,19%).
"SD jumlah siswa putus sekolah tertinggi karena jumlah siswa SD terbesar. Secara persentase, SMK memiliki angka putus sekolah tertinggi," ujar Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Yudhistira Nugraha dalam Rapat Dengar Pendapat Panja Pendidikan di Daerah 3T dan Daerah Marginal Komisi X DPR, di Jakarta, Rabu (12/3) ditulis Kamis (13/3).
Menurut Yudhistira ada beberapa faktor penyebab siswa tidak melanjutkan pendidikan formalnya pada tingkat tertentu. Penyebab utama putus sekolah di jenjang SD adalah faktor ekonomi keluarga dan akses pendidikan yang terbatas.
"Sementara di tingkat sekolah menengah masalah sosial dan motivasi siswa menjadi kontributor putus sekolah," ujarnya. Ia menyambung, "Karena itu dibutuhkan kebijakan yang lebih spesifik di tiap jenjang untuk menekan angka putus sekolah."
Selengkapnya di halaman berikutnya.
Angka Putus Sekolah di Daerah 3 T
Yudhistira pun mengungkapkan angka putus sekolah di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) di semua jenjang pendidikan lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
Seperti diketahui penentuan daerah 3T merujuk pada Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2020 yang menetapkan sebanyak 62 kabupaten masuk kategori tersebut.
Kabupaten Yalimo di Provinsi Papua tercatat memiliki angka putus sekolah jenjang SD tertinggi (2,40) disusul Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (1,57). Angka ini jauh di atas rata-rata nasional putus sekolah tingkat SD sebesar 0,16.
Faktor penyebab putus sekolah di daerah 3T antara lain keterbatasan akses terhadap pendidikan, kondisi ekonomi keluarga, dan rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.
"Selain itu, adanya faktor sosial dan budaya seperti norma yang mengedepankan pekerjaan di usia muda juga dapat memengaruhi keputusan siswa untuk melanjutkan pendidikan," ujar Yudhistira.
"Kendala transportasi dan jarak yang jauh ke sekolah juga seringkali menjadi alasan utama siswa putus sekolah," imbuhnya.