Cerita Agus Sutikno Pendeta Jalanan Layani Anak Terlantar di Semarang

Cerita Agus Sutikno Pendeta Jalanan Layani Anak Terlantar di Semarang

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 25 Des 2024 11:42 WIB
Pendeta sekaligus pendiri Yayasan Hati Bagi Bangsa, Agus Sutikno, di Kelurahan Lamper Lor, Kecamatan Semarang Selatan, Selasa (24/12/2024).
Pendeta sekaligus pendiri Yayasan Hati Bagi Bangsa, Agus Sutikno, di Kelurahan Lamper Lor, Kecamatan Semarang Selatan, Selasa (24/12/2024). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Siapa sangka pria dengan dandanan nyentrik dan penuh tato itu merupakan pendeta. Dia adalah Agus Sutikno (45) yang banyak dikenal sebagai pendeta jalanan di Semarang. Dia, juga pendiri Yayasan Hati Bagi Bangsa yang ditujukan untuk melayani kaum miskin.

Suara bayi terdengar menggema dalam bangunan sederhana yang halaman depannya bertuliskan 'Yayasan Hati Bagi Bangsa' di Jalan Manggis II Nomor 4, Kelurahan Lamper Lor, Kecamatan Semarang Selatan.

Anak-anak kecil berkeliaran bermain dengan bebas. Mereka tampak riuh saat menyambut 'ayah' mereka yang berpenampilan tak biasa. Menggunakan motor modifikasi dengan dandanan nyentrik, Agus Sutikno (45) langsung dipanggil 'Bapak Agus' oleh anak-anak kecil itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rambut gondrongnya berkibar diterpa angin saat ia menyalami empat anak yang menyambut kedatangannya. Meski tato memenuhi tubuhnya yang saat itu mengenakan kaus tanpa lengan dan boots merah, anak-anak tak takut.

Mereka adalah anak-anak dengan berbagai latar belakang kelam yang tinggal di yayasan milik Agus. Sebagian besar dari mereka merupakan anak seorang pekerja seks komersial (PSK), anak jalanan, dan orang terlantar yang tak memiliki tempat singgah.

ADVERTISEMENT

"Dulu lulus SMP nggak lanjut sekolah karena nggak ada biaya, tapi teman bilang daripada nggak sekolah, nggak jelas, mending ikut yayasan. Akhinya saya ke sini," kata Rafael di Kelurahan Lamper Lor, Selasa (24/12/2024).

Rafael dulunya berjualan nasi di Pasar Peterongan. Mimpinya untuk melanjutkan sekolah pupus karena terhalang biaya. Lewat uluran tangan Agus, Rafael bisa melanjutkan sekolahnya hingga kini mampu berkuliah di Universitas Terbuka (UT).

"Sudah di sini 4 tahun. Sekarang sudah kuliah di UT, baru semester satu," ungkapnya.

Selain anak-anak, ada pula manusia lanjut usia (manula) yang hidup di yayasan yang didirikan Agus sekitar 10 tahun lalu itu. Dengan mata teduhnya, ia memandangi anak-anak kecil yang sudah ia anggap bak cucunya sendiri.

"Sebelumnya saya merantau dari Lampung, nyari 3 saudara udah nggak ada semua. Kenalan saya bilang nanti saya cariin tempat buat tinggal. Ketemu Pak Agus, akhirnya diterima sama istrinya juga, saya tinggal di sini, sudah 4 tahun," tutur Mbah Aliyah (82), sapaan akrabnya.

Tak terhitung sudah berapa kehidupan yang terbantu oleh Agus. Meski tak pernah menggalang dana, pendeta jalanan yang namanya tercatat sebagai Pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) itu telah berhasil membiayai pendidikan anak-anak, kebutuhan para bayi, hingga kebutuhan sehari-hari hampir 200 manusia.

"Sampai hari ini saya sudah menyekolahkan hampir 200 anak tanpa bantuan pemerintah. Karena menurut saya pendidikan itu hak segala bangsa," tutur Agus.

Pria asal Probolinggo itu mengaku mengelola yayasan bersama istrinya. Ia hadir menjadi sosok ayah yang selama ini mereka butuhkan. Tak jarang, Agus dan istrinya juga dibantu anak-anak yayasan yang sudah mulai tumbuh dewasa.

"Dulu ini banyak orang hamil di luar nikah, jadi yg PSK dan yg lain. Banyak yang datang ke sini nggak punya akta, KK, nggak bisa baca tulis. Saya terima tanpa syarat, sekarang sudah pada sekolah," tuturnya.

Agus pun sering berpindah-pindah lokasi yayasan. Kini, ada 20 penghuni tetap Yayasan Hati Bagi Bangsa dan puluhan anak asuh di luar yayasan, karena rumah yayasan yang tak cukup menampung mereka semua.

Ditanya alasannya, pria satu itu menjawab, alasannya hanya berusaha untuk melakukan sifat-sifat yang dimiliki Tuhan, salah satunya sifat kasih sayang kepada siapapun. Tak terkecuali kepada hewan maupun tumbuhan.

"Karena kalau menurut saya, sanksi sosial itu sampai kita mati pun masih melekat. Sanksi sosial lebih berat dari hukuman Tuhan. Makanya kami tolong orang-orang yang istilahnya dibuang masyarakat, tertindas, tertolak," terangnya.

Hal itu yang kemudian melekat pada dirinya. Seorang pendeta yang mengabdikan hidupnya kepada orang-orang di jalanan. Meski tak pernah membuka galang dana, rezeki untuk menghidupi anak-anak selalu datang dari siapapun.

"Yayasan ini punya Tuhan, saya hanya sebagai hambanya saja. Kalau dibilang biaya dari mana, saya nggak tahu, ada saja," ujarnya.

Agus enggan membicarakan soal tato yang ada di sekujur badannya maupun soal dirinya yang merupakan pendeta. Ia hanya fokus membantu sesama tanpa dinilai dari penampilan maupun latar belakang religinya.

"Kalau dibilang tadi kontras (antara penampilan dan perbuatan), itu wajar namanya manusia kan melihat tampilan fisik, tapi yang penting itu hasilnya apa. Masalah baju itu nggak penting. Yang penting bagaimana hidupmu bisa bermanfaat untuk semua orang," jelasnya.

"Agama bagi aku adalah sumber konflik di Indonesia, makanya untuk menengahinya adalah humanity, kemanusiaan, itu di atas ritual keagamaan. Apapun yang kamu percayai, yang penting hidupmu bermanfaat, barokah untuk semua orang," sambungnya.

Pada Hari Raya Natal tahun ini, ia pun mengutarakan pesannya kepada seluruh umat, tak terbatas kepada umat Nasrani saja. Ia berpesan agar perayaan Hari Raya Besar bisa dilakukan lewat welas asih kepada sesama.




(afn/afn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads