Tiap harinya, lanjut Yusuf, ia bisa menerima 2-3 telepon dari orang-orang yang meminta bantuan. Namun, ia tetap menyaring siapa saja pihak yang akan ia bantu. Yusuf tak ingin jika ada orang yang lebih membutuhkan jadi tak bisa mendapat bantuannya lantaran oknum yang hanya ingin mencoba lari dari tanggung jawab.
"Harapan saya aneh, kalau bisa saya ingin yayasan ini tutup. Karena itu kan berarti sudah tidak ada lagi anak yang seperti ini. Tapi saya lihat fenomenanya malah per hari makin banyak," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Per hari saya bisa dapat telepon 2-3 orang ada yang hamil di luar nikah dan sebagainya. Tapi kita pilih, kita ingin yang ada kita rawat dan kita bisa memilih mana yang betul-betul perlu bantuan kami," sambungnya.
Yusuf mengaku sempat merawat anak berkebutuhan khusus di pantinya. Namun karena merasa belum memiliki ilmunya, Yusuf pun mengirim anak tersebut ke pondok pesantren inklusif.
"Alhamdulillah di Semarang ada pondok pesantren inklusif. Anak-anak kita kirim ke sana, dirawat di sana karena mereka yang punya ilmunya, tapi kebutuhannya dari sini. Panti asuhan nggak mengeluarkan uang sama sekali," paparnya.
Ia juga menyekolahkan anak-anak di atas tiga tahun ke sekolah tingkat Paud hingga Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setingkat SMP, yang dikelola yayasannya. Hal itu dilakukan guna menghindari adanya perundungan yang terjadi di sekolah akibat anak-anak tersebut tak mengetahui orang tuanya.
Sebab, meski beberapa anak dirawat di Rumah Bayi Semarang karena tak diterima atau mendapat kekerasan dari keluarganya, ada pula bayi yang ditinggal begitu saja tanpa diketahui siapa orang tuanya. Yusuf pun berusaha menyelamatkan masa depan anak itu sambil berharap mereka bisa kembali ke keluarganya.
"Cita-cita kami itu ingin menyelamatkan hidupnya anak, menyelamatkan masa depan, dan menyelamatkan nasibnya. Harapannya mereka kembali ke keluarganya," jelasnya.
(ams/apu)