Sejumlah pedagang yang tergabung dalam Sentra Kerajinan dan Makanan Borobudur (SKMB) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Tourist Information Center (TIC) Borobudur. Mereka menuntut agar 300-an pedagang SKMB bisa berjualan di Museum dan Kampung Seni Borobudur di Kujon, Kecamatan Borobudur.
Massa pedagang SKMB ini membawa berbagai poster dan dua bendera putih bertuliskan SKMB. Pedagang yang mayoritas perempuan memakai kostum warna merah dan putih. Aksi ini dilangsungkan mulai pukul 10.00 WIB.
Poster yang dibentangkan antara lain bertulis 'Bapak Presiden! Tolong Bantu Kami Pedagang SKMB Kami Pedagang yang Legal', 'TWCB Kembalikan Hak Lapak Tempat Berjualan Kami', 'Kami Pedagang Lapak Menagih Yang Telah TWCB Janjikan', dan 'Kembalikan Hak Kami'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami paguyuban pedagang (SKMB) yang belum mendapatkan hak lapak di Pasar Seni Kujon. Kami sudah 4 bulan ikut audiensi, berdiskusi hingga sampai saat ini belum ada kejelasan tentang hak lapak di Pasar Seni Kujon," kata Sekretaris SKMB, Dwias Panghegar, kepada wartawan di TIC Borobudur Jalan Balaputra Dewa No 1 Brojonalan Borobudur, Rabu (18/9/2024).
Pihaknya menginginkan pedagang yang berjualan di Pasar Seni tersebut menggunakan data dari pendataan awal.
"Kita pengin hak kami berserikat, berkumpul dan berorganisasi itu benar-benar dilindungi. Karena sementara itu dari kami pengin bahwa masuk ke Kujon langsung dari pengelola TWC (Tawan Wisata Candi) tanpa di bawah kelompok mana pun," sambung Dwias.
"Ini sekitar 300-an orang yang belum masuk (pasar seni). Jualan macam-macam ada yang jualan batik, aksesori, makanan dan jasa," katanya.
Selama 4 bulan, kata dia, para pedagang hanya berdiam di rumah menunggu kepastian lapak. Sebagian pedagang berjualan di trotoar Jalan Medang Kamulan.
"Tapi sekarang sudah diarahkan ke Kujon, jadi saat ini tidak bisa berjualan. Ada juga yang asongan seperti kerajinan, makanan dan ada jasa ojek. Pokoknya, kita seadanya apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga," ujarnya.
Sementara itu, pendamping pedagang SKMB dari LBH Jogja, Royan Juliazka menyebut TWC sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena mengelola zona 2 (kawasan taman wisata). Royan menyebut TWC menjanjikan seluruh pedagang masuk ke Kampung Seni Borobudur, namun nyatanya masih ada ratusan yang telantar.
"Ketika menggusur itu tidak ada perencanaan sama sekali. Kampung Seni Borobudur yang merupakan PSN (proyek strategis nasional), mereka (TWC) menjanjikan bahwa kampung ini nanti akan menjadikan tempat pedagang yang dulunya di zona 2 akan ke sana semua. Tapi, ternyata masih ada ratusan pedagang yang telantar nggak bisa masuk. Tata kelolanya, kami nggak ngerti," tegasnya.
"Kita sudah melakukan pertemuan 3 kali, 11 Juli, 14 Agustus dan 13 September, 3 pertemuan itu sama sekali nol tidak ada keputusan sama sekali. Mereka yang paling punya wewenang harusnya bisa mengatur pedagang, mereka yang memfasilitasi pembangunan lapak, tetapi kok tidak bisa bersikap adil," imbuh Royan.
Ditemui terpisah, Juru Bicara PT TWC, Ryan Eka Permana Sakti menghargai dan menampung aspirasi para pedagang. Menurutnya, mekanisme dialog sudah ada.
"Banyak peran dari pemerintah daerah untuk memfasilitasi agar ada solusi yang terbaik, tetapi yang jelas saat ini kami akan fokus untuk proses transisi dan masa uji coba (pemindahan lahan parkir dan pedagang). Sehingga nantinya ke depan akan terasa manfaat dari proses transformasi yang dilakukan di kawasan Candi Borobudur," kata Sakti.
"Ini proses yang transparan, diketahui banyak pihak, dialog pun juga terbuka. Kami masih akan fokus dengan apa yang menjadi tugas saat ini tujuan utama untuk benar-benar bisa mentransformasikan kawasan Candi Borobudur menjadi lebih nyaman," imbuhnya.
Warga Gelar Ritual di Candi Borobudur
Sementara itu, sejumlah orang melakukan ritual membuang sengkolo atau sial di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang. Mereka membawa batara kala yang dibuat dari daun pisang yang kering atau klaras.
Batara kala itu dipikul 4 orang dibawa menuju pelataran Candi Borobudur. Mereka kemudian melakukan ritual persis di bawah pohon Kenari.
Setelah melakukan ritual, batara kala yang terbuat dari klaras tersebut kemudian dibawa menuju Sungai Progo. Batara kala tersebut dibakar dan diharapkan hanyut menuju ke laut.
"Ini bukan aksi, tapi wujud kepedulian sebagai warga Borobudur melalui Lembaga Adat Desa ingin menyampaikan kepada leluhur. Bahwa selama ini, apa yang menjadi keluh kesah kami (soal pembangunan di DPSP Borobudur) tidak tersampaikan kepada manusia bisa orang yang jahat, orang yang tidak sesuai kaidah Borobudur. Kita pengin sampaikan kepada leluhur banyak pembangunan ini tidak berpihak pada masyarakat," kata Ketua Panitia Sarasehan Budaya Borobudur, Lukman Fauzi Mudasir kepada wartawan di Candi Borobudur, Rabu (18/9).
![]() |
Pembangunan tersebut antara lain penataan ruas jalan dan trotoar. Selain itu, yang terakhir membangun Museum dan Kampung Seni Borobudur di Kujon, Kecamatan Borobudur.
Di mana selama proses pembangunan tersebut, kata Lukman, tidak melibatkan masyarakat. Pihaknya menilai masyarakat tidak diajak berembuk dalam proses pembangunan tersebut.
"Pembangunan tidak pas karena kami tidak diajak ngobrol. Kadang-kadang top down, tidak ada pembicaraan bersama masyarakat," sambung Lukman.
"Ini membuat kami harus menyuarakan agar mereka tahu sejarah dari Borobudur itu ada masyarakatnya. Ada sejarahnya bahwa mereka (masyarakat) yang memelihara candi sebelum pemerintah hadir," ujarnya.
Simbol batara kala, kata Lukman, sengkala itu musibah yang diharapkan tidak masuk ke Borobudur.
"Wujudnya bisa berbagai macam kepentingan, wujudnya juga bisa manusia atau alam yang tidak sinkron dengan nilai di Borobudur. Borobudur nilai kebajikan sehingga kalau tidak bajik diharapkan tidak masuk ke sini. Batara kala kita buang ke samudra melalui Sungai Progo (dibakar) agar terurai," katanya.
(aku/rih)