Pemberitaan mengenai Jepang sering kali berkaitan dengan terjadinya bencana gempa bumi. Pertanyaannya, mengapa di Jepang sering terjadi gempa bumi dan tsunami? Simak jawabannya berikut ini!
Dikutip dari laman US Geological Survey (USGS), Jepang adalah negara yang paling sering terjadi gempa bumi. Khusus 2024, data dari Earthquake List memasukkannya dalam urutan ketiga negara dengan jumlah gempa bumi terbanyak. Total, telah terjadi 1144 gempa bumi di Negeri Sakura tersebut pada 2024.
Dari segi tsunami, berdasar data dari laman World Data, sebanyak 143 gelombang pasang yang terklasifikasi sebagai tsunami telah menewaskan sampai 130.974 penduduk Jepang. Adapun tsunami terkuat Jepang terjadi pada 29 Agustus 1741 dengan ketinggian 90 meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tingginya angka kejadian gempa bumi dan tsunami di Jepang menimbulkan tanda tanya. Untuk menghilangkan rasa penasaran detikers, baca penjelasan lengkapnya yang telah detikJateng siapkan di bawah ini.
Penyebab di Jepang Sering Terjadi Gempa Bumi
Diambil dari Kids Web Japan, tepat di bawah permukaan bumi, terletak lempeng-lempeng batu besar bernama lempeng tektonik. Lempeng-lempeng dengan tebal sekitar 70 kilometer ini bergerak beberapa sentimeter setiap tahun.
Gerakan lempeng tektonik ini menghasilkan distorsi di permukaan. Ketika distorsinya cukup besar, para gaya mencoba memperbaikinya dan menyebabkan lempeng-lempeng ini bergerak tiba-tiba. Nah, dalam kondisi demikian, terjadilah gempa bumi.
Dilansir The Washington Post, Jepang terletak di atas empat lempeng tektonik utama. Kondisi ini menjadikan Negeri Matahari Terbit sebagai salah satu tempat di muka bumi yang paling mungkin mengalami aktivitas tektonik.
Lebih lanjut, dikutip dari Live Science, Jepang terletak di wilayah yang disebut sebagai Pacific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik). Tempat yang sebenarnya berbentuk tapal kuda mengikuti tepi Samudra Pasifik ini (alih-alih cincin) banyak mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Nah, di dalam Cincin Api inilah, beberapa lempeng tektonik, termasuk Lempeng Pasifik dan Lempeng Laut Filipina, bertabrakan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tabrakan-tabrakan antarlempeng tektonik menyebabkan gempa bumi.
Robert Butler, seorang profesor di Universitas Portland dan Arizona menjelaskan bahwa semakin banyak lempeng yang dimiliki suatu negara, interaksi antarlempeng juga semakin banyak dan pada gilirannya, menyebabkan gempa bumi terjadi.
"Jadi, semakin banyak batas lempeng berarti semakin banyak gempa bumi," jelas Butler lebih lanjut.
Penyebab kedua banyaknya gempa bumi di Jepang adalah adanya Palung Jepang. Disarikan dari Voyapon, Palung Jepang merupakan palung samudra sedalam 800 meter di bagian barat laut Pasifik dengan total kedalaman 8.410 meter.
Pada 2006, sebuah gunung aktif setinggi 50 meter ditemukan di kedalaman 5.000 meter di dalam Palung Jepang. Gunung ini diyakini bertanggung jawab atas bencana Gempa Tohoku pada Maret 2011 silam yang tersohor akan kerusakannya.
Bagaimana Tsunami Terbentuk?
Menurut definisi dari situs National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), tsunami adalah rangkaian gelombang yang sangat panjang akibat pergeseran samudra secara tiba-tiba. Biasanya, tsunami disebabkan oleh gempa bumi pada lempeng tektonik yang bertabrakan.
Sejak 1900, lebih dari 80% tsunami yang terjadi mungkin disebabkan oleh gempa bumi. Namun, tidak menutup juga kemungkinan tsunami terjadi akibat tanah longsor, aktivitas gunung berapi, jenis cuaca, dan asteroid yang meledak di laut.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Jepang dilanda banyak tsunami. Pasalnya, negara tersebut berdiri tepat di atas sambungan lempeng-lempeng tektonik Cincin Api Pasifik yang mengakibatkan banyak gempa.
Diringkas dari laman Rain Viewer, terdapat empat tahapan utama pembentukan tsunami, yakni inisiasi, perpecahan, amplifikasi, dan run-up. Berikut penjelasan singkatnya:
1. Inisiasi (Initiation)
Pada fase pertama ini, dua bagian lempeng bumi yang bergerak saling mendekat dapat menyebabkan gempa bumi di bawah laut. Ketika gempa terjadi, dasar laut bergeser secara tiba-tiba. Pergeseran ini mengakibatkan perpindahan massa air secara besar-besaran yang memicu gelombang tsunami.
2. Perpecahan (Splitting)
Setelah inisiasi, air mulai bergerak menjauh dan melebar sehingga menghasilkan gelombang panjang. Pada tahap ini, gelombang tsunami terbagi menjadi dua komponen karena bertemu dengan karakteristik laut yang berbeda.
Komponen pertama yang dikenal sebagai gelombang depan bergerak lebih cepat dengan kecepatan ratusan kilometer per jam menjauhi pantai. Gelombang ini terus bergerak melintasi lautan dan secara bertahap menjadi lebih rendah karena energinya tersebar ke area yang lebih luas.
Komponen kedua adalah gelombang susulan atau pesisir. Gelombang yang menuju pesisir ini akan membesar dan melambat ketika mendekati garis pantai sehingga menyebabkan 'penumpukan'. Akibatnya, gelombang menjadi jauh lebih besar dan merusak di dekat pantai.
3. Amplifikasi (Amplification)
Karena bergerak dari area laut yang lebih dalam ke dangkal, gelombang menjadi semakin lambat. Namun, energi gelombang yang terhambat jadi semakin tinggi. Gelombang ini semakin menguat di tempat-tempat yang dasar lautnya tidak datar.
Bentuk-bentuk alam di pesisir seperti teluk, muara, ceruk, atau saluran sempit turut berperan sebagai penguat gelombang alami. Kondisi ini menyebabkan energi gelombang terpusat dan membesar secara dramatis.
4. Run-Up
Tahap terakhir pembentukan tsunami disebut run-up. Pada tahap ini, gelombang tsunami telah mencapai garis pantai dan menyentuh daratan. Akibatnya, air mengalir deras ke daratan dan menyebabkan banjir.
Ketika gelombang tsunami mendekati garis pantai, peningkatan tinggi gelombang dan konsentrasi energi meningkatkan kekuatan pergerakan air. Gelombang kuat ini pecah saat mencapai pantai, menyebabkan puncak gelombang terguling ke depan dan membentuk massa air yang bergolak. Gelombang pecah ini biasa disebut tsunami bore atau tsunami wall.
Demikian penjelasan lengkap mengapa di Jepang sering terjadi gempa bumi dan tsunami. Semoga menambah cakrawala pengetahuan detikers.
(sto/apl)