Awal Mula Joko Tertipu Beli Tanah Wakaf hingga Tinggal di Kolong Flyover

Awal Mula Joko Tertipu Beli Tanah Wakaf hingga Tinggal di Kolong Flyover

Tim detikJateng - detikJateng
Senin, 05 Agu 2024 12:17 WIB
Rumah Joko Purnomo dan penampakan hunian di bawah Flyover Cakrawala, Semarang, Jumat (2/8/2024).
Rumah Joko Purnomo dan penampakan hunian di bawah Flyover Cakrawala, Semarang, Jumat (2/8/2024). Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng.
Semarang -

Puluhan kepala (KK) menempati kolong Flyover Cakrawala atau Jalan Yos Sudarso, Semarang. Salah satu warga yang juga Ketua Paguyuban Cakrawala, Joko Purnomo (49) menceritakan awal mula warga hingga tinggal di kolong jembatan itu.

Joko menyampaikan, dirinya bersama warga menempati lokasi itu sejak 2006. Warga terpaksa tinggal di kolong jembatan lantaran tertipu saat membeli tanah yang ada di dekat jembatan.

Diketahui, setelah beberapa tahun, ternyata tanah yang dibelinya adalah tanah wakaf. Warga pun mau tidak mau harus meninggalkan tanah-tanah yang sudah dibelinya itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi dulu di sana itu tanahnya sudah dikapling-kapling, siapa ya yang nggak mau punya rumah di Semarang nah di situ ada yang nawari karena murah bilangnya bekas tanah garapan. Kebodohan kami itu memang mau beli tanah nggak ada sertifikatnya kok mau," kata Joko saat ditemui di rumahnya, Jumat (2/8/2024).

Rumah Joko Purnomo dan penampakan hunian di bawah Flyover Cakrawala, Semarang, Jumat (2/8/2024).Rumah Joko Purnomo dan penampakan hunian di bawah Flyover Cakrawala, Semarang, Jumat (2/8/2024). Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng

Tahun 2001 saat dia membeli tanah itu, tutur Joko, dia hanya menghabiskan uang Rp 3 juta. Joko mau membeli tanah di situ karena melihat lingkungan yang sudah padat penduduk.

ADVERTISEMENT

Tetapi, lima tahun kemudian dirinya harus tergusur bersama ratusan orang lain. Kejadian ini pun membuat pemerintah tak tinggal diam. Joko menyampaikan, pemerintah sempat memediasi antara warga dengan pemilik tanah.

Pemerintah berharap warga yang sudah terlanjur membayar tetap bisa membeli tanah dengan cara mencicil. Warga juga sempat ditawarkan untuk membeli di daerah Palir.

Sayangnya, hanya 1 RT yang diberi kesempatan mencicil untuk menjadikan tanah itu menjadi milik penghuni. Selain itu, karena banyaknya warga yang terdampak, tak semuanya kebagian lahan relokasi.

"Sempat nego dengan teman-teman biar nggak digusur, biar dicicil. Nah sebenarnya itu tanah wakaf kan nggak bisa dijual beli, cuma ada 1 RT yang bisa karena bukan ada pemiliknya," beber Joko.

Akhirnya, sebagian warga memilih tinggal di bawah flyover dengan mendirikan bangunan semi permanen. Momen penggusuran itu hingga kini masih membekas bagi dirinya.

"Penggusuran itu membekas banget mohon maaf ini saya ceritain istri saya sampai stres satu bulan, waktu itu anak-anak saya masih kecil. Ya begitulah perjuangan hidup, sampai sekarang aku menyesal nggak bisa membahagiakan keluarga saya," ujarnya.

Terpaksa Tinggal di Kolong Jembatan

Joko berkali-kali menegaskan dirinya tak ingin hidup di kolong jembatan. Keputusan untuk tinggal di lokasi saat ini karena sebuah keterpaksaan. Jokowi menuturkan dirinya bersama 38 KK lainnya sudah menempati kolong jembatan sejak 2006.

"Sebenarnya kami semua tidak mengharapkan tinggal di bawah jembatan. Ini akibatnya karena kita kena gusur tahun 2006," ucapnya.

Tinggal di kolong jembatan itu memang tidak menyenangkan. Setiap kendaraan lewat, suara bising selalu terdengar dari rumah-rumah warga yang didirikan dari kayu itu.

Apalagi kalau truk-truk besar yang lewat, rumah Joko biasanya ikut bergetar. Lokasinya yang dilalui rel kereta dan dekat bandara itu juga membuat suara bising sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warga Paguyuban Cakrawala.

"Ya kalau sudah biasa gimana, awalnya saya nggak bisa tidur juga di sini kompletlah truk, kereta api, pesawat, kalau lewat wah, tapi kalau sudah biasa ini kuping buntet, ya dinikmati saja," ujarnya.




(apl/rih)


Hide Ads