Aliansi jurnalis Jawa Tengah dan massa Aksi Kamisan menggelar unjuk rasa menolak RUU Penyiaran. Dalam aksi tersebut, massa menggembok gerbang gedung DPRD Jateng dan melakukan tabur bunga.
Massa yang datang, yaitu dari AJI Semarang, PWI Jateng, IJTI Jateng, PFI Semarang, LBH Semarang, Aksi Kamisan Semarang, Walhi Jateng, LRCKJHAM, SKM Amanat, LPM Missi, LPM Justisia, LPM Suprema, LPM Dinamika, LPM Hayam Wuruk, LPM Vokal, Forum Persma Semarang Raya, Teater Gema, LBH Apik Semarang, Maring Institute, Perempuan Jurnalis Jawa Tengah, dan LPM Edukasi.
Aksi dilakukan dengan orasi-orasi penolakan RUU Penyiaran yang dianggap membungkam kebebasan pers sebagai empat pilar demokrasi di negeri ini. Para wartawan dan juga massa yang berunjuk rasa menyegel pagar kantor DPRD Jateng dengan gembok besar.
Kemudian dilanjutkan aksi teatrikal dengan tabur bunga yang menyimbolkan matinya demokrasi juga dilakukan. Jurnalis perempuan asal Kopeng menabur bunga dan menyalakan dupa, dia juga meletakkan body kamera yang sudah diberi tanda silang di antara bunga yang ditabur.
"Ini (RUU Penyiaran) bentuk pemberangusan kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan demokrasi. Jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi terancam. Demokrasi sedang tidak baik-baik saja," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Aris Mulyawan di lokasi aksi, Jalan Pahlawan Semarang, Kamis (30/5/2024).
Aris juga mempertanyakan larangan investigasi dalam Pasal 50B ayat (2) pada darf RUU Penyiaran. Ia menegaskan investigasi yang dilakukan jurnalis merupakan karya tertinggi dan biasanya untuk mengungkap kejahatan hingga korupsi. Ketika ada larangan, itu jadi tanda tanya.
"Ketika investigasi dilarang padahal investigasi untuk bongkar kejahatan dan korupsi. Ada apa sampai dilarang? Investigasi adalah mahkota jurnalistik. Produk tertinggi yaitu investigasi. Kalau investigasi dilarang berarti ada yang ditutupi," tegasnya.
![]() |
Dalam aksi tersebut, massa membacakan enam tuntutan, yaitu:
1. Tolak pembahasan RUU Penyiaran yang berlangsung saat ini karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik;
2. Mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi, upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia;
3. Mendesak DPR untuk melibatkan partisipasi publik yang bermakna, dalam penyusunan revisi UU Penyiaran untuk memastikan tidak ada pasal-pasal multitafsir yang dapat dipakai untuk mengebiri kemerdekaan pers, memberangus kebebasan berpendapat, serta menjamin keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat;
4. Membuka ruang ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya. Penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran harus melibatkan Dewan Pers dan seluruh konstituennya agar tidak terjadi pembiasan nilai-nilai kemerdekaan pers;
5. Mendorong jurnalis untuk bekerja secara profesional dan menjalankan fungsinya sesuai kode etik, untuk memenuhi hak-hak publik atas informasi;
6. Menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers. Agar tidak ada pengaturan yang tumpang tindih terkait kemerdekaan pers;
(apu/ahr)