Mengenang 28 Tahun Duka Mendalam Warga Solo Saat Bu Tien Soeharto Wafat

Mengenang 28 Tahun Duka Mendalam Warga Solo Saat Bu Tien Soeharto Wafat

Nindasari, Rayza Teguh Prastiyo - detikJateng
Minggu, 28 Apr 2024 10:18 WIB
Monumen LPI di Gedung Juang 45 Kota Solo, Selasa (23/4/2024).
Monumen LPI di Gedung Juang 45 Kota Solo, Selasa (23/4/2024). Foto: Foto: Rayza Teguh Prastiyo
Solo -

Pada tanggal ini, 28 tahun lalu, Ibu Tien Soeharto wafat. Jenazahnya dimakamkan di Astana Giribangun, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah, sehari berikutnya.

Kota Solo ikut berkabung pada saat itu. Mereka memberikan penghormatan terakhir di jalan-jalan yang dilalui iringan jenazah, sejak dari Ndalem Kalitan Solo hingga lokasi makam.

Ketua Solo Societeit, komunitas pecinta sejarah di Kota Solo, Dani Saptono (42) menceritakan momen saat jenazah istri Presiden Soeharto itu hendak dimakamkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat Ibu Tien meninggal dunia, warga Solo melakukan penghormatan dan bentuk duka di sepanjang pinggir jalan protokol, menunggu iring-iringan jenazah. Hal itu dilakukan orang-orang tanpa adanya instruksi," kata Dani kepada tim detikJateng, Selasa (23/04/2024).

Monumen LPI di Gedung Juang 45 Kota Solo, Selasa (23/4/2024).Monumen LPI di Gedung Juang 45 Kota Solo, Selasa (23/4/2024). Foto: Foto: Rayza Teguh Prastiyo

"Dulu saya ingat waktu SMP, setelah pulang mancing banyak orang yang berbaris di pinggir jalan menunggu jenazah Bu Tien yang dibawa dari Jakarta ke Solo menggunakan pesawat Hercules. Dulu sangat ramai, dari semua kalangan mungkin ada" kenang dia.

ADVERTISEMENT

Dikutip dari arsip koran Harian Indonesia edisi Selasa, 30 April 1996 yang tersimpan di Monumen Pers Solo, sebelum dimakamkan di Astana Giribangun, jenazah Ibu Tien Soeharto disemayamkan di Dalem Kalitan, Solo.

Selanjutnya, iring-iringan mobil jenazah Ibu Tien menempuh perjalanan sekitar 25 kilometer menuju Astana Giribangun di Karanganyar. Ribuan masyarakat menyambut di sepanjang jalan yang dilalui iring-iringan tersebut.

Dani mengatakan, penghormatan terakhir ribuan warga Solo itu juga sebagai wujud terima kasih atas segala jasa Ibu Tien. Menurut dia, Ibu Tien juga sebagai salah satu srikandi yang tergabung dalam Laskar Putri Indonesia (LPI) Surakarta.

Nama Bu Tien di Monumen Gedung Juang 45 Solo

Tim detikJateng juga mengunjungi Gedung Juang 45 Solo yang berada di timur Pusat Grosir Solo (PGS). Dulu, gedung itu sempat menjadi markas LPI atau sebagai PMI sementara pada masa perang kemerdekaan RI.

Di Gedung Juang 45 Solo terdapat monumen dengan prasasti yang menuliskan sederet nama srikandi LPI, salah satunya Nona Siti Hartinah alias Ibu Tien Soeharto.

Dalam prasasti tersebut, nama Ibu Tien disebut sebagai divisi perlengkapan. Namun, menurut Dani, Bu Tien pada masa itu bertugas dalam tim kesehatan.

"Sebenarnya Bu Tien dulu membantu di belakang layar, menjadi tim kesehatan, dulu bekerja sama dengan PMI" kata Dani.

Dani menjelaskan, awal mula LPI dibentuk pada tahun 1945 beranggotakan sekitar 200-an orang. Semua anggotanya merupakan remaja perempuan asal Solo yang secara sukarela mendaftarkan dirinya menjadi pejuang.

"Dulu setelah dibentuk, anggotanya mencapai sekitar 200-an orang. Semuanya remaja perempuan yang masih sekolah. Salah satu tokoh (LPI) yang paling dikenal ahli mengoperasikan senjata api yaitu Siti Arfiah" imbuhnya.

Tentang Monumen LPI di Gedung Juang 45 Solo

Monumen LPI di depan Gedung Juang 45 Solo dirancang dan dibangun oleh pemerintah Indonesia sekitar tahun 1987. Menurut Dani, pada masa itu pemerintah secara masif membangun monumen-monumen di berbagai tempat guna mengenang sejarah para tokoh dan peristiwa-peristiwa penting.

Dalam prasasti itu disebutkan bahwa monumen LPI diresmikan pada 1 Maret 1989 oleh Menteri Sosial, Prof Dr Haryati Soebadio.

"Sekitar pertengahan tahun 1980-an pemerintah banyak membangun monumen di berbagai tempat. Tujuannya untuk mengenang peristiwa maupun tokoh yang berjasa untuk bangsa Indonesia" ucapnya.

Dani berpendapat setiap pemimpin negara ingin membangun sebuah monumen atau bangunan lain dengan tujuan agar masyarakatnya tetap mengenang dirinya maupun keluarganya selama ia memerintah. Hal tersebut dianggap wajar karena pada umumnya pemimpin bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya.

"Menurut saya pembangunan monumen atau bangunan lainnya dilakukan oleh pemimpin negara untuk mengenang keberadaanya atau jasa dari keluarganya semasa ia menjabat. Agar masyarakat terus mengingat," pungkas kolektor barang antik di Kota Solo itu.

Artikel ini ditulis oleh Rayza Teguh Prastiyo dan Nindasari, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(dil/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads