5+ Contoh Kultum Ramadhan Singkat 7 Menit Berbagai Tema Menarik

5+ Contoh Kultum Ramadhan Singkat 7 Menit Berbagai Tema Menarik

Anindya Milagsita - detikJateng
Senin, 18 Mar 2024 11:47 WIB
Umat Islam melakukan salat sunnah, mendengarkan ceramah di Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta, Rabu (13/4/2024).
Ilustrasi kultum Ramadhan Foto: Ari Saputra
Solo -

Contoh kultum Ramadhan yang singkat diperlukan bagi umat Islam, tak terkecuali bagi imam maupun penceramah yang mendapatkan amanat untuk menyampaikannya setelah menunaikan sholat. Sebagai referensi, berikut contoh-contoh kultum Ramadhan singkat dan dirangkum dalam berbagai tema.

Menurut KBBI, kultum adalah kuliah tujuh menit; ceramah agama, durasinya tujuh menit, biasanya diberikan setelah salat berjemaah atau menjelang berbuka puasa bulan Ramadhan. Pada saat berlangsungnya bulan Ramadhan, kultum biasanya akan disampaikan pada saat sholat subuh dan sholat tarawih.

Sebagai cara memaknai kehadiran bulan suci Ramadhan yang mulia dan penuh keberkahan, tidak ada salahnya bagi detikers untuk membaca berbagai contoh kultum Ramadhan. Bukan hanya itu, diharapkan beberapa contoh kultum Ramadhan ini juga dapat dijadikan sebagai referensi bagi siapapun yang membutuhkannya. Mari simak baik-baik uraian contohnya melalui artikel ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kumpulan Contoh Kultum Ramadhan Singkat

Mengutip dari Syiar Ramadan Perekat Persaudaraan: Materi Kuliah dan Khutbah di Masjid dan Musala Selama Ramadan yang diterbitkan oleh Tim Layanan Syariah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI dan laman resmi Nahdlatul Ulama, berikut rangkuman contoh kultum Ramadhan singkat dari berbagai tema:

Contoh Kultum Ramadhan Singkat #1: Keutamaan Menyiapkan Makan Sahur

Asalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh

ADVERTISEMENT

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَنْزَلَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ الْقُرْآنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِي خُلُقُهُ الْقُرْآنُ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ ذَوِي الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

أَمَّا بَعْدُ

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Ibadah puasa harus dijalankan dengan penuh ketulusan. Sebagai bentuk ketulusan tersebut, kita harus mempersiapkan ibadah dengan sebaik-baiknya. Persiapan ini dapat berarti persiapan sebelum memasuki bulan puasa. Atau ketika sudah berada di bulan puasa.

Islam mengajarkan agar kita menyiapkan diri sebelum menjalankan ibadah puasa dengan melakukan makan sahur. Makan sahur tidak hanya merupakan persiapan yang bersifat lahiriah, untuk menyimpan energi selama menjalankan puasa. Tetapi, ada nilai keutamaan tersendiri di luar manfaat jasadiyah. Nilai-nilai itu telah dijelaskan dalam sejumlah hadits Nabi SAW dan penjelasan para ulama terhadap hadits tersebut. Jemaah yang dimuliakan Allah Dalam konteks menjelaskan nilai keutamaan sahur ini, Rasulullah SAW bersabda:

تَسَخَّرُوا؛ فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

Artinya: "Makan sahurlah. Karena, dalam makan sahur terdapat keberkahan." (HR. al-Bukhari).

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari. Karenanya, kesahihan hadits tersebut tidak perlu dipertanyakan. Berdasarkan perintah dalam hadits tersebut, para ulama bersepakat disunnahkannya makan sahur. Imam al-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim, jilid 7 halaman 206, mengatakan:

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ

Artinya: "Para ulama bersepakat akan kesunnahan makan sahur, dan bahwa makan sahur bukan perkara yang diwajibkan."

Bapak Ibu yang Dirahmati Allah,

Arti keberkahan dalam hadits adalah ia mengandung banyak sekali kebaikan. Di antara bentuk kebaikan makan sahur adalah ia dapat membuat orang kuat menjalankan ibadah puasa dan membuat lebih bersemangat. Dengan seperti itu, berpuasa menjadi terasa lebih ringan dijalankan. Ketika puasa terasa ringan, ada keinginan untuk berpuasa lagi. Berbeda dengan orang yang tidak makan sahur, ia akan merasa berat menjalankan puasa. Mungkin ia akan
menganggapnya sebagai ibadah yang berat. Demikian penjelasan Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.

Jemaah Hafidzakumullah,

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menulis beragam bentuk keberkahan makan sahur:

البركة فِي السُّحُورِ تَحْصُلُ بِجَهَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ ، وَهِيَ : اتَّبَاعُ السُّنَّةِ ، وَمُخَالَفَةُ أَهْلِ الْكِتَابِ ، وَالتَّعْوِي بِهِ عَلَى الْعِبَادَةِ ، وَالرِّيَادَةُ فِي النَّشَاطِ ، وَمُدَافَعَةُ سوء الخُلُقِ الَّذِي يُثِيرُهُ الْجُوعُ ، وَالتَّسَببُ بِالصَّدَقَةِ عَلَى مَنْ يَسْأَلُ إِذْ ذَاكَ ، أَوْ يَجْتَمِعُ مَعَهُ عَلَى الْأَكْلِ ، وَالتَّسَبُّبُ لِلذِكْرِ وَالدُّعَاءِ وَقْتَ مَظِنَّةِ الْإِجَابَةِ ، وَتَدَارُكُ نِيَّةِ الصَّوْمِ لِمَنْ أَغْفَلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنَامَ

Artinya: "Berkah dalam sahur dapat diperoleh dengan beberapa bentuk; mengikuti sunnah Nabi, menyelisihi ahli kitab, mengambil kekuatan untuk ibadah, menambah semangat, menolak perilaku buruk yang timbul akibat rasa lapar, mendorong sedekah kepada orang yang meminta sahur pada waktu sahur, berkumpul untuk makan sahur bersama, mendorong dilaksanakannya zikir dan doa pada waktu yang mustajab, membaca niat bagi orang yang lupa membaca niat sebelum tidur" (Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, jilid 4, halaman 140).

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Ada poin yang menarik dalam penjelasan Imam Ibnu Hajar di atas. Yaitu, sahur menjadi sebab kita berbagi sedekah kepada orang lain yang membutuhkan makan sahur pada waktu sahur. Poin ini penting, tidak hanya bagi orang yang bersahur, tetapi bagi orang yang mau menyediakan makan sahur bagi orang lain. Poin ini sering dilupakan masyarakat kita. Memberi atau menyiapkan makan sahur untuk orang lain adalah suatu amalan yang utama.

Amalan menyiapkan makan sahur untuk orang lain sering dianggap remeh. Padahal, ia merupakan amalan sosial yang utama. Karena, amalan tersebut merupakan ibadah sosial yang dilakukan di bulan Ramadhan untuk membantu orang yang akan menjalankan kewajiban agama. Dalam sebuah kaidah fikih dikatakan, al-muta'addi afdhalu min al-qashir. Artinya, ibadah yang dapat bermanfaat untuk orang lain lebih utama dibanding ibadah yang hanya kembali kepada pelakunya. Menyiapkan makan sahur adalah bentuk saling tolong-menolong dalam kebaikan. Al-Quran mengatakan, wa ta'awanu 'ala al-birri wa at-taqwa (saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan). Tidak diragukan lagi bahwa menolong orang lain yang akan menjalankan ibadah puasa Ramadhan adalah bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan. Dalam riwayat Imam al-Tirmidzi disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengatakan, afdhalu as-shadaqah shadaqah fi Ramadhan. Artinya, sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadan. Berbagi makan sahur atau menyiapkan makan sahur merupakan bentuk sedekah di bulan Ramadhan.

Sampai di sini, dapat kita pahami bahwa makan sahur memiliki banyak kebaikan. Salah satu kebaikan itu adalah memberi kesempatan orang berbuat baik kepada orang lain dengan cara berbagi atau menyiapkan makan sahur.

Contoh Kultum Ramadhan Singkat #2: Agar Bagi-bagi Takjil Tidak Mubazir

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَنْزَلَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ الْقُرْآنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِي خُلُقُهُ الْقُرْآنُ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ ذَوِي الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

أَمَّا بَعْدُ

Ma'asyiral muslimin yang dimuliakan oleh Allah Subhānahu wa Ta'āla.

Saat Ramadan, bagi-bagi takjil sudah seperti tradisi. Di pinggir-pinggir jalan, di masjid-masjid, hingga di sekitar perkantoran. Allah menjanjikan kepada pembagi takjil kemuliaan Ramadan, pahala pemberi buka setara dengan pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikit pahalanya orang yang berpuasa tersebut. Dalam sebuah hadits riwayat at-Tirmidzi disebutkan,

مَنْ فَطَرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Orang yang memberi buka puasa kepada muslim yang sedang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala setara dengan pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang sedang berpuasa itu" (HR at-Tirmidzi).

Namun terkadang, saking banyaknya orang yang ingin memberi takjil, hingga makanan berbuka tersebut terlalu banyak, bahkan beberapa kali makanan tersebut terbuang, basi, dan tidak termakan. Kita tentu takut dengan ancaman Allah SWT dan Rasulullah SAW terkait orang-orang yang berlebihan, mereka adalah termasuk 'saudara' setan.

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya" (Q.S al-Isra ayat 27).

Yang dimaksud 'saudara' setan dalam ayat tersebut adalah bentuk larangan Allah. Perumpamaan orang yang berlebih-lebihan dengan 'saudara' setan, menurut ulama tafsir adalah karena setan selalu menggampangkan, membuang-buang sesuatu dengan mudah, dan menghambur-hamburkan uang mereka demi sum'ah, menunjukkan bahwa mereka punya banyak uang.

Para ulama memaknai al-Mubazir dalam Al-Quran dengan "menginfakkan harta di luar kebutuhan yang diperlukan." Makna ini dinukil dari Imam as-Syafi'I dan menjadi rujukan jumhur ulama (al-Qurthubi).

Dalam konteks mengeluarkan takjil, jika takjil tersebut diinfakkan sesuai kebutuhan, dengan uang yang tidak digunakan untuk kebutuhan lain, maka tidak termasuk mubazir

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُواْ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"...makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan" (QS Al-araf: 31).

Jemaah yang dimuliakan Allah Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk berbuka dengan air putih dan tiga kurma,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْتِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ فَعَلَى ثَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاةٍ مِنْ مَاءٍ


Artinya, "Rasulullah SAW berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat maghrib, jika tidak ada maka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air (HR Abu Dawud).

Meskipun Rasul mengajarkan kita berbuka dengan makanan tertentu, bukan berarti kita harus meniru dengan makanan yang sama. Inti dari ajaran Rasul tersebut adalah bahwa berbukalah dengan makanan secukupnya, sederhana, dan tidak berlebihan. Meskipun, bukan untuk diri kita, misalnya, tetapi untuk diberikan kepada orang lain, maka larangan untuk berlebihan tetap ada.

Rasul SAW bersabda,

كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ

"Makanlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah tanpa berlebih-lebihan dan sombong."

Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah SWT,

Jika kita berpegang teguh pada penjelasan Al-Quran dan hadits, maka hal yang paling kita ingat saat ingin berbagi takjil adalah tidak berlebihan dan secukupnya. Jangan sampai kita asal beli banyak takjil dengan harapan bisa dibagi-bagikan, tetapi ujung-ujungnya malah terbuang sia sia.

Niat hati kita mungkin ingin memperoleh kemuliaan Ramadhan, tapi kita juga dapat teguran keras dari Allah SWT karena menyia-nyiakan makanan. Lalu bagaimana caranya agar takjil yang kita bagikan itu tidak sia-sia dan terbuang.

Pertama, ganti takjil kita dengan uang, berikan uang tersebut kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Dengan demikian, mereka bisa mengatur sendiri kebutuhan mereka, dan tidak ada makanan yang terbuang.

Jangan kita terjebak dengan bahasa 'takjil'-nya. Dalam hadits dijelaskan anjuran untuk "memberi buka", maka apapun yang bisa digunakan untuk berbuka, sudah dihitung pahala oleh Allah SWT.

Kedua, serahkan takjil kepada masjid. Berkoordinasi dengan pengurus masjid yang membagikan takjil. Biasanya mereka paham seberapa banyak makanan yang dibutuhkan untuk takjil. Dengan demikian, kita jadi mengerti makanan apa yang perlu kita beli dan seberapa banyak.

Ketiga, jika kita atau komunitas kita memiliki rezeki berlebih dan ingin berbagi takjil agak banyak, kita bisa berbagi di tempat-tempat yang ramai. Seperti jalan raya, lapangan, atau semacamnya. Namun juga perlu diperhatikan agar sampah yang dihasilkan bisa dikumpulkan dan tidak mengotori, serta merusak lingkungan.

Keempat, jika sudah dihitung-hitung, ternyata makanan yang disiapkan berlebih, segera bagikan kepada tetangga atau teman. Jangan biarkan makanan tersisa dan basi. Bisa jadi ada beberapa orang yang tidak sempat atau tidak mampu membeli makanan, sedangkan kita malah buang-buang makanan. Naudzubillah min dzalik.

Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah SWT,

Sekian kultum singkat yang bisa kami sampaikan, mohon maaf bila terdapat kesalahan. Hadanallahu wa iyyakum ajmain. Wallahul muwaffiq ila aqwamiththariq.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Contoh Kultum Ramadhan Singkat #3: Pentingnya Memberikan Zakat Kepada Orang Terlilit Hutang dan Kriterianya

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَنْزَلَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ الْقُرْآنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِي خُلُقُهُ الْقُرْآنُ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ ذَوِي الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ أَمَّا بَعْدُ

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Pada lingkup keseharian kita, seringkali disentuh oleh realitas sosial di sekitar, di mana banyak masyarakat sekitar kita terlilit hutang dan hidup dalam keterbatasan ekonomi. Dengan begitu, perlu melakukan refleksi bersama mengenai pentingnya memberikan zakat kepada mereka yang terlilit utang, serta merinci kriteria yang seharusnya menjadi landasan dalam menentukan penerima zakat. Sehingga topik ini dapat membuka pintu hati untuk lebih peduli dan berbagi, serta sejalan dengan nilai-nilai keadilan dan kasih sayang yang Islam ajarkan. Berikut adalah firman Allah SWT pada Surat at-Taubah ayat 60 tentang siapa saja yang berhak menerima zakat.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah" (Q.S. at-Taubah: 60).
Jemaah yang dimuliakan Allah,

Pada ayat ini dijelaskan tentang golongan yang berhak menerima zakat atau biasa disebut dengan mustahik zakat. Di antaranya adalah fakir, miskin, riqab, gharim, muallaf, fi sabilillah, Ibnu Sabil, dan amil zakat. Dari delapan mustahik tersebut, saya akan menjelaskan salah satunya saja yakni gharim.

Gharim adalah orang yang sedang terlilit hutang. Menurut Ibnu Atsir dalam karyanya yang berjudul Jami' al- Usul fii ahadis al-Rasul, bahwa gharim adalah orang yang sedang menjamin pelunasan hutang orang lain, atau yang sedang dilanda kebangkrutan guna mencukupi kebutuhan hidup dalam arti tidak untuk maksiat.

Adalagi pendapat dari Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir yang menyebutkan ciri ciri gharim. Ia adalah orang yang sedang menanggung biaya disebabkan ada tanggungan sengketa. Hal ini seperti halnya orang yang sedang menanggung diyat atau denda pembunuhan demi mendamaikan dua suku. Kriteria tadi juga diafirmasi oleh Imam Nawawi bahwa kategori seperti ini berhak menerima zakat.

Kemudian Ibnu Asyur berpendapat dalam kitabnya yang berjudul Tafsir Tahrir wa Tanwir, bahwa barangsiapa yang berzakat kepada orang yang sedang menanggung hutang, sedangkan pengutang belum sanggup membayar hutangnya, maka ia akan menjadi rahmat bagi penghutang dan yang memberi hutang.

Hadirin Jemaah rahimakumullah,

Lalu, bagaimana dengan orang yang sedang terlilit utang, namun masih sering melakukan maksiat? Apakah masih berhak menerima zakat?

Adapun syarat gharim di sini juga dijelaskan oleh Ibnu Asyur dalam kitab Tafsir Tahrir wa Tanwir masih pada penjelasan Surah at-Taubah ayat 60, bahwa orang yang berhutang syaratnya adalah beriman, tidak maksiat, dan siap bertaubat atas dosa dosanya. Imam Nawawi dalam Al Majmu' juga menegaskan bahwa ulama sepakat untuk tidak memberi zakat pada gharim atau si penghutang yang maksiat, sebelum orang tersebut bertaubat. Selain faktor maksiat, utang karena hidup boros, hedonisme, juga tidak akan mendapatkan zakat. Sebab, Allah tidak menyukai hambanya yang suka menghambur hamburkan hartanya. Sebagaimana firman Allah pada surah al-Isra' ayat 26:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَنَ الشَّيْطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَنُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

"Sesungguhnya orang yang suka memboroskan hartanya itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya" (QS. Al-Isra': 26).

Hadirin yang dirahmati Allah,

Salah satu hadits Riwayat Imam Muslim juga menyebutkan bahwa kriteria orang yang berhutang yang berhak dibantu adalah orang mukmin. Artinya, bukan sembarang orang. Hadits itu berbunyi,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ نَفَسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةٌ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat'." (HR. Muslim).

Dalam hadits ini memang disebutkan hanya orang mukmin. Namun, dalam penjelasan lebih lanjut, bisa dipahami bahwa yang dimaksud orang mukmin adalah orang yang tidak munafik. Artinya, orang yang jika berbicara tidak berdusta, orang yang berjanji tidak mengingkari dan orang yang jika diamanahi tidak berkhianat.

Jemaah yang dirahmati Allah,

Penjelasan tadi dapat disimpulkan bahwa kategori gharim/ orang yang terlilit hutang berhak menerima zakat ketika melingkupi empat hal:

  1. Utang untuk kepentingan umum, misalnya hutang untuk membangun rumah akibat terkena bencana alam.
  2. Utang disebabkan melakukan perdamaian konflik baik itu secara individu maupun kelompok.
  3. Utang untuk memenuhi kebutuhan publik baik itu individu atau kelompok, misalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sedangkan hartanya belum mampu mencukupi.
  4. Utang sebab menanggung hutang orang lain. Misalnya orangtuanya sudah tak mampu bekerja, sedangkan mereka masih memiliki tanggungan hutang. Akhirnya anaknya yang harus menanggungnya.

Empat kategori ini tadi merupakan orang yang berhak menerima zakat. Semoga kita dapat menjelajahi makna dan urgensi zakat dalam membawa perubahan positif bagi mereka yang membutuhkan.

Contoh Kultum Ramadhan Singkat #4: Menjaga Kesehatan di Bulan Suci

Saat ini kita sudah masuk di bulan suci Ramadhan. Semua umat Islam tentu menginginkan agar di bulan yang penuh dengan rahmat dan keberkahan ini diisi dengan berbagai amal ibadah dan kegiatan positif. Namun demikian, terkadang ada hal yang dilupakan, yaitu kesehatan. Nikmat sehat ini merupakan anugerah yang sering dilalaikan oleh Bani Adam.

Padahal, justru dengan sehatlah seseorang dapat terus produktif dalam beribadah. Ketika seseorang sakit, terbaring di atas kasur, di rumah sakit. Puasanya, shalat tarawih, qiyamullail, dan tadarus Al-Qurannya juga akan terhambat. Oleh karenanya, kesehatan memiliki urgensi besar dalam ibadah. Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan.

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ الْوَاجِبُ

Artinya: "Suatu perkara yang tidak akan sempurna kewajiban kecuali dengannya maka dihukumi wajib."

Jika ibadah tidak bisa terlaksana karena seseorang sakit, maka memproteksi diri dari hal-hal yang dapat menjerumuskannya ke dalam kondisi sakit juga menjadi wajib. Artinya, kewajiban menjaga kesehatan setara levelnya dengan menjalankan ibadah.

Nah, di awal bulan suci Ramadhan ini, sudah seharusnya kita berusaha menjaga kestabilan tubuh dan kesehatan jasmani . Kesehatan yang prima akan menjadi kunci keberhasilan dalam menyongsong bulan suci Ramadhan. Berikut ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan agar jasmani kita tetap sehat.

1. Menjaga Pola Makan

Mengatur dan menjaga pola makan sangat penting, khusus bagi orang yang berpuasa. Betapa tidak, seharian full dari Subuh hingga Maghrib perut dalam keadaan kosong dari makanan dan minuman. Makanya, pada waktu sahur hendaknya memilih makanan dan minuman yang dapat menjaga kestabilan tubuh dari dehidrasi, seperti memperbanyak minum air putih, manis, dan sebagainya.

Pun demikian halnya di waktu berbuka, hendaknya makan dan minum yang kaya akan nutrisi. Menurut ilmu kedokteran, nutrisi menjadi penting untuk mengembalikan energi tubuh. Buah-buahan, sayur dan biji-bijian yang penuh dengan nutrisi akan membantu kita tetap stabil dan semangat dalam beraktivitas.

Fokus pada makanan yang mengandung protein tinggi, karbohidrat dan lemak sehat, baik di saat sahur dan berbuka. Jauhi dari makanan dan minuman yang dapat merusak tubuh. Semuanya ini sejalan dengan perintah Al-Quran dalam surah Al-Baqarah ayat 168

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: "Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata."

Bisa diperhatikan dari ayat di atas, perintah memakan makanan yang halal tidak berdiri sendiri tapi digandeng dengan kata tayyib (baik). Artinya, di samping memastikan apa yang dimakan itu halal bersih dari keharaman, baik dari sisi zat ataupun cara mendapatkannya, kita juga harus memastikan bahwa makanan juga baik.

Ibnu Asyur dalam tafsirnya, At-Tahrir wa At-Tanwir menyebutkan definisi baik atau tayyib dari ayat di atas.

وهي النُّفُوسُ الَّتِي تَشْتَهِي المُلائِمَ الكامِلَ أوِ الرّاجِحَ بِحَيْثُ لا يَعُودُ تَناوُلُهُ بِضُرٍّ جُثْمانِيٍّ أوْ رُوحانِيٍّ

Artinya: "Baik dalam ayat itu ialah kondisi jiwa yang menginginkan sesuatu yang dinilai layak dan pantas sekiranya tidak akan menimbulkan kemudaratan ketika mampu memperolehnya baik secara fisik maupun rohani."

Baik di sini jelas berarti makanan atau minuman yang dapat mendatangkan kemanfaatan bagi jasmani dan rohani bagi diri kita. Tidak mengandung kemudharatan yang membahayakan tubuh.

2. Berolahraga

Olahraga tetap penting meskipun kita sedang berpuasa. Faktanya, olahraga dapat membantu meningkatkan mood, mengurangi stres, menjaga kebugaran tubuh dan meningkatkan energi. Tentu, olahraga dalam konteks ini adalah yang sifatnya ringan, seperti senam, yoga, atau melakukan pekerjaan rumah.

Waktunya bisa dilakukan pada waktu sore menjelang berbuka, sehingga kita tidak merasa haus dan kelelahan akibat olahraga saat puasa.

3. Istirahat yang Cukup

Umat Islam tentu tidak ingin waktu di bulan Ramadhan terbuang sia-sia. Semuanya ingin terisi dengan berbagai rangkaian ibadah. Tapi, bukan berarti tidak boleh mengambil waktu istirahat dan rehat sejenak. Ambillah waktu beristirahat. Jangan menekan diri kita di luar kemampuan yang bisa lakukan.

Sudah maklum, ketika Ramadan ketika berusaha menghidupkan malamnya dengan bacaan Al-Quran, tahajud, dan dzikir. Bahkan kita rela untuk mengurangi porsi tidur bahkan tidak tidur sama sekali di malamnya hanya untuk meraih ganjaran besar dan pahala berlipat yang Allah sediakan. Hal tersebut tentu saja bernilai positif. Tapi jangan sampai lupa, tubuh kita perlu istirahat. Ketika kita sudah beribadah semalaman, ambillah waktu di paginya untuk beristirahat dan tidur. Lalu, niatkanlah tidur kita sebagai sarana agar tubuh dapat kembali prima sehingga dapat terus beribadah. Dengan demikian, tidur pun dicatat sebagai pahala.

Di situlah urgensi innama al-a'mal bi an-niyyat, segala perbuatan tergantung niatnya. Ketika niatnya baik, yaitu menjaga kontinuitas ibadah, maka perbuatan yang mubah bisa bernilai pahala. Tidak hanya istirahat atau tidur, sama juga dengan berolahraga dan menjaga pola makan yang sehat. Niatilah semuanya karena Allah dan sebagai sarana bertaqarrub kepada-Nya.

Tiga kiat di atas penting untuk kita lakukan guna terus menjaga kesehatan kita masing-masing. Menjaga pola makan, berolahraga, dan mengambil porsi istirahat yang cukup menjadi kunci agar Ramadhan kita di tahun ini berjalan optimal. Tidak hanya di awal, tapi juga di tengah hingga akhir Ramadan. Wallahu a'lam.

Contoh Kultum Ramadhan Singkat #5: Meneladani Akhlak Rasulullah di Bulan Suci

Bulan Ramadhan adalah waktu yang sangat tepat untuk berburu pahala dengan segala macam ibadah dan ketaatan yang disyariatkan, sebab bulan ini adalah bulan istimewa, bulan penuh kebaikan, keberkahan dengan segudang keutamaan yang tidak ditemukan pada bulan lain.

Saat bulan Ramadhan datang, Rasulullah semakin memperbanyak ibadah, mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, dzikir, i'tikaf, dan sedekah. Diantara ibadah yang beliau khususkan dan tidak dikhususkan di bulan lain adalah kedermawanan. Dalam hadits yang disebutkan dalam shahihain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dijelaskan tentang hal tersebut,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ، وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَلْقَاهُ، فِي كُلِّ سَنَةٍ، فِي رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ، فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Artinya: "Rasulullah SAW adalah seorang yang paling dermawan dalam kebaikan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan. Jibril as menemui beliau setiap malam dalam bulan Ramadhan sampai berakhirnya bulan, ia menyampaikan Al-Quran kepada Nabi SAW, jika Jibril as menemui beliau maka beliau adalah seorang seorang yang paling dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus" (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas secara jelas menjelaskan bahwa Rasulullah pada bulan Ramadhan semakin meningkatkan kedermawanannya dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Menurut Az-Zain bin al-Munir, sebagaimana dikutip Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani tentang sisi kesamaan antara kedermawanan Rasulullah SAW dengan kedermawanan angin yang berhembus adalah bahwa yang dimaksud dengan angin yang berhembus adalah angin rahmat yang dikirim Allah untuk menurunkan hujan yang merata dan menjadi sebab basahnya bumi yang mati atau lainnya. Dengan demikian berarti kebaikan dan kebajikan Rasulullah SAW merata umum untuk orang fakir yang membutuhkan dan orang kaya yang berkecukupan, kebaikan dan kedermawanan Rasulullah lebih banyak dibandingkan apa yang ditimbulkan oleh hujan dari angin yang berhembus." (Ahmad bin Ali bin Hajar Abu Fadhal Al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, [Beirut, Darul Ma'rifat: 1378 H], juz IV, halaman 139).

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Nawawi ala Muslim berkata bahwa yang di maksud dengan "Nabi lebih dermawan daripada angin yang berhembus" adalah kedermawanan Nabi seperti angin dalam hal kecepatan, merata dan menyeluruh.

Kemudian Imam Nawawi menjelaskan beberapa faidah hadits di atas sebagai berikut:

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ مِنْهَا بَيَانُ عِظَمِ جُودِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْهَا اسْتِحْبَابُ إِكْثَارِ الْجُودِ فِي رَمَضَانَ وَمِنْهَا زِيَادَةُ الْجُودِ وَالْخَيْرِ عِنْدَ مُلَاقَاةِ الصَّالِحِينَ وَعَقِبَ فِرَاقِهِمْ لِلتَّأَثُّرِ بِلِقَائِهِمْ وَمِنْهَا استحباب مدارسة القرآن

Artinya: "Dalam hadits ini terdapat beberapa faidah diantaranya adalah (1) besarnya sifat kedermawanan Nabi Muhammad SAW (2) disunahkan memperbanyak kedermawanan pada bulan Ramadhan. (3) Bertambahnya kedermawanan dan kebaikan tatkala berjumpa dengan orang saleh dan beberapa saat setelah berpisah dengan mereka, hal itu karena pengaruh kebaikan berjumpa dengan mereka. (4) Disunahkan untuk membaca dan mempelajari Al-Quran di bulan Ramadhan." (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Syarah Nawawi ala Muslim, [Beirut: Darul Ihya' at-Turots], Juz 15, halaman 69).

Sayyid Abdullah Al-Ghumari mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling dermawan secara mutlak seperti disebutkan dalam hadits shahihain dari sahabat Anas r.a.:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ، وَأَشْجَعَ النَّاسِ، وَأَجْوَدَ النَّاسِ

Artinya: "Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sosok manusia yang terbaik, orang yang paling paling pemberani, dan dermawan". (HR. Bukhari dan Muslim). Kedermawanan Nabi semakin meningkat dan berlipat-lipat pada bulan Ramadhan. Menurut beliau al-Ghumari hal ini karena empat sebab:

Pertama, bulan Ramadhan adalah musimnya kebaikan karena nikmat-nikmat Allah atas hamba-hambanya semakin bertambah dibanding pada bulan-bulan lainnya. Nabi Muhammad lebih mengutamakan untuk mengikuti sunnah (kebiasaan) Allah kepada para hamba-Nya.

Kedua, sedekah di bulan Ramadhan lebih utama dibanding sedekah di bulan selainnya.

Ketiga, membantu orang-orang yang berpuasa, melakukan dan mengingat ketaatan kepada Allah berhak mendapatkan pahala seperti pahalanya mereka yang mengerjakan. Keempat, bulan Ramadhan adalah bulan untuk menyenangkan, saling membantu dan memberi pertolongan. (Abdullah bin Muhammad bin ash-Shiddiq al-Ghumari, Ghayatul Ihsan Fi Fadhli Zakatil Fitri Wa Fadli Ramadhan, [Beirut, Alimul Kutub: tt], halaman 23-24).

Demikian penjelasan tentang akhlak mulia Rasulullah Muhammad saw saat bulan Ramadhan tiba, yakni meningkatkan kedermawanannya. Semoga kita bisa meniru dan mengikuti apa yang beliau tauladankan kepada kita semua. Wallahu a'lam.

Contoh Kultum Ramadhan Singkat #6: Cara Melatih Anak Berpuasa

Anak adalah amanah dari Allah SWT kepada kedua orang tua. Ada hak-hak yang harus diberikan orang tua kepada anaknya, termasuk pendidikan agama. Pendidikan agama harus sudah diberikan sejak anak belum baligh. Harapannya agar ketika memasuki masa baligh, anak sudah siap untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (QS At-Tahrim 6).

Dalam menafsirkan ayat Qatadah menyatakan, orang harus memerintahkan keluarganya untuk menaati Allah, dan melarang mereka dari kemaksiatan kepada-Nya. Dia memerintahkan mereka untuk melakukan perintah Allah dan membantu mereka dalam hal itu. jika terjadi kemaksiatan kepada Allah, maka dia harus mencegah dan menghentikan mereka.

Dari tafsir tersebut, Ad-Dhahhak dan Muqatil mengatakan bahwa wajib bagi seorang muslim untuk mendidik keluarganya, termasuk sanak saudaranya, budak perempuan, dan hamba-hambanya, apa-apa yang diwajibkan Allah kepada mereka, dan apa-apa yang dilarang Allah kepada mereka.

Ibnu Katsir menjelaskan, termasuk dalam kandungan ayat ini adalah hadits dari Abdul Malik bin Ar-Rabi' bin Sabrah, Rasulullah SAW bersabda:

مُرُوْا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ فَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا

Artinya, "Perintahkanlah anak untuk shalat ketika ia mencapai usia tujuh tahun, dan ketika ia mencapai 10 tahun, maka pukullah dia karena (meninggalkan)nya." (HR Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).

Para ulama fiqih berkata, hal yang sama, juga berlaku untuk puasa. Artinya ketika anak sudah berusia tujuh tahun dan mampu, ia harus diperintah dan dilatih untuk melakukan puasa, agar dia terbiasa menjalankannya, sehingga ketika mencapai usia baligh, dia dapat tetap melanjutkan beribadah dan menjadi muslim yang taat, menjauhi dosa dan meninggalkan keburukan. (Abul Fida' Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, [Kairo, Muassasah Qurthubah: 2000], juz IV, halaman 59).

Pentingnya Keteladanan

Dalam mendidik anak, sebaiknya orang tua tidak hanya memerintah, namun juga harus dapat memberi contoh kepada anaknya. Karena umumnya seseorang akan mudah mengikuti perilaku orang lain daripada mengikuti perintahnya. Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan dalam kitab Bidayatul Hidayah:

لِسَانُ الْحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ الْمَقَالِ وَطِبَاعُ النَّاسِ إِلَى الْمُسَاعَدَةِ فِي الْأَعْمَالِ أَمْيَلُ مِنْهَا إِلَى الْمُتَابَعَةِ فِي الْأَقْوَالِ

Artinya: "Lisan keadaan (keteladanan) itu lebih fasih dari pada lisan ucapan, dan watak orang lebih condong membantu dalam perbuatan dibandingkan menindaklanjuti dalam kata-kata." (Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, [Mesir, Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra: 1991], halaman 3).

Di antara cara yang dapat diterapkan untuk melatih anak berpuasa adalah menghibur mereka dengan mainan. Cara ini juga pernah dilakukan oleh sahabat Nabi dalam melatih anak mereka berpuasa. Dalam satu hadits riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan:

الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ: أَرْسَلَ النَّبِىُّ عليه السلام غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأنْصَارِ: مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَليَصُمْ. قَالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإفْطَارِ

Artinya, "Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz berkata: "Nabi SAW mengirim utusan di pagi hari Asyura ke desa-desa kaum Ansar: "Barangsiapa yang tidak puasa di pagi hari, hendaklah dia menyempurnakan sisa harinya. Barangsiapa yang berpuasa, maka hendaklah dia (lanjut) berpuasa.

Kemudian Ar-Rubayyi' berkata: "Setelah itu, kami biasa berpuasa pada Asyura, dan kami membiasakan berpuasa kepada anak-anak kami. Kami buatkan mainan dari bulu untuk mereka. Jika salah satu dari mereka menangis ingin makan, maka Kami memberinya mainan itu sampai datang waktu berbuka." (HR Al-Bukhari).

Menyikapi hadits ini, ulama sepakat bahwa tidak ada kewajiban melakukan ibadah dan kefardhuan kecuali setelah baligh. Meski demikian, mayoritas ulama menganjurkan agar segera melatih anak-anak untuk berpuasa dan menjalankan ibadah lainnya, agar mereka terbiasa dan mudah melakukannya saat sudah baligh.

Perintah untuk melatih anak berpuasa tidak hanya ditentukan dengan usia tujuh hingga 10 tahun. Ulama memberikan tambahan syarat yaitu mampu dan kuat untuk berpuasa. Artinya orang tua juga harus mempertimbangkan kemampuan dan kekuatan anaknya. Jika dirasa memang belum mampu, maka sebaiknya ditunda sampai mampu dan siap.

Dalam aturan amar makruf nahi mungkar juga dijelaskan, mengajak melakukan kebaikan harus dilakukan secara bertahap dan memprioritaskan hal yang lebih penting.Karena itu, dalam melatih anak untuk berpuasa, orang tua harus melakukannya secara bertahap, diawali dengan tidak memberi makan selama beberapa jam, kemudian ditingkatkan sampai pada akhirnya mampu melakukannya selama sehari penuh.

Demikian penjelasan tentang melatih puasa dan memberikan contoh kepada anak. Anak terlahir dalam keadaan fitrah, pertumbuhan dan perkembangan anak itu tergantung pada didikan orang tua dan lingkungannya, melatih anak untuk berpuasa dan ibadah lainnya sejak dini, akan menjadikan anak tumbuh menjadi manusia yang terbiasa beribadah. Semoga kita diberi kemampuan dan kesempatan untuk bisa mendidik anak-anak kita menjadi manusia yang bertakwa dan bermanfaat. Amin. Wallahu a'lam.

Contoh Kultum Ramadhan Singkat #7: Keutamaan Mudik dalam Islam

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَنْزَلَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ الْقُرْآنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِي خُلُقُهُ الْقُرْآنُ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ ذَوِي الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ أَمَّا بَعْدُ

Hadirin Rahimakumullah,

Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya. Berbudaya artinya memiliki berbagai macam tradisi. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, juga memiliki tradisi tahunan yang sangat indah. Tradisi yang dimaksud adalah mudik atau pulang kampung. Tradisi ini tentunya dilakukan oleh orang yang bekerja atau kuliah di luar kota kelahirannya. Adapun masyarakat yang tidak pulang kampung, mereka mempersiapkan diri untuk menyambut hari raya dengan membuat kue lebaran, baju baru atau ketupat. Terhitung hari raya dan beberapa hari setelahnya, mereka saling bersilaturahmi mengunjungi kerabat atau handai taulan.

Mudik merupakan salah satu bentuk silaturahmi. Secara mudah, silaturahmi artinya menyambung tali cinta atau kasih kepada sesama muslim, terutama kepada keluarga inti, kerabat atau handai taulan. Walaupun terkadang mudik harus dilakukan dengan susah payah, misalnya berebut tiket pesawat, bus atau kereta, bermacet-macetan di jalan, membawa cinderamata yang tidak sedikit, membawa peralatan pribadi seperti koper dan lain-lain, tetap saja dilakukan. Belum lagi jika membawa anak-anak yang masih kecil, tentunya lebih merepotkan . Tapi repot bukanlah halangan bagi mereka. Apa alasannya? Kekuatan cinta dan rindu keluarga, itulah jawabannya. Cinta mengalahkan segalanya, pepatah tersebut ada benarnya juga, bukan?

Dalam Islam, silaturahmi memiliki keistimewaan dan keutamaan yang besar. Selain memperoleh pahala yang tidak sedikit, fadhilah silaturahmi diantaranya adalah memperbanyak rezeki dan memperpanjang usia. Hal ini sebagaimana disabsabdakan Rasulullah SAW:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رحمه

(متفق عليه)

Dari Anas bin Malik RA berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Siapa yang ingin diluaskan rezekinya atau dipanjangkan usianya, hendaklah dia menyambung silaturrahim." (Muttafaq Alaih).

Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya, Al-Minhaj, mengomentari hadits ini bahwa salah satu makna diluaskan rezeki adalah diperbanyak dari segi kuantitas dan juga keberkahan. Artinya, orang yang bersilaturahmi diberikan rezeki yang banyak dan berkah. Adapun makna lain dari dipanjangkan umurnya adalah bertambahnya berkah usia untuk melakukan ketaatan dan diberikan kekuatan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya untuk bekal kehidupan akhirat. Dengan kata lain, orang yang bersilaturahmi dimudahkan oleh Allah untuk melakukan ibadah dan dimudahkan dalam mempersipkan kehidupan akhirat.

Rindu kampung halaman atau tanah kelahiran merupakan hal yang manusiawi dan terpuji. Rasulullah SAW sebagai manusia terbaik juga pernah merindukan Mekah, kota dimana beliau dilahirkan, sebagaimana hal ini terekam dalam satu hadits. Rasulullah SAW bersabda:

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
(رواه الترمذى و ابن ماجه و الدارمي و أحمد)

Artinya: "Demi Allah, sesungguhnya kamu (kota Makkah) adalah sebaik-baik tanah Allah, dan tanah yang paling dicintai oleh Allah, seandainya aku tidak diusir dari tempatmu, niscaya saya tidak akan keluar (darimu)" (HR. At-Tirmidzi, Ibn Majah, Ad- Darimi dan Ahmad).

Mudik tentu dilakukan karena rindu dengan kampung halaman dan orang tua. Lihatlah bagaimana indahnya ketika mata kita menyaksikan seorang anak yang memeluk erat ayah atau ibunya setelah sekian lama tidak bersua. Air mata haru tak kuasa berlinang dari kedua mata mereka. Lihatlah ekspresi bahagia tak terkira dari wajah sang kakek dan nenek ketika memeluk cucu-cucu mereka yang baru saja tiba setelah sekian lama tak berjumpa, masya Allah! Rasa lelah karena perjalanan mudik seketika hilang karena kerinduan terbalaskan dengan penuh kebahagiaan.

Bagi pemudik yang orang tuanya sudah berpulang ke Rahmatullah, tentu berziarah ke makam orang tua tercinta. Dari atas makam, sang anak berdoa dengan linangan air mata agar Allah SWT memberikan ampunan, meluaskan dan menerangkan kubur ayah bunda. Di saat itulah sang anak terkenang betapa gigihnya perjuangan orang tua dalam membesarkannya. Terbayanglah betapa besarnya cinta orang tua kepada sang anak. Rabbighfir lii wa liwalidayya warhamhuma kama rabbayanii shghiiraa.

Hadirin Rahimakumullah,

Perlu kita ingat bahwa mudik atau pulang kampung merupakan salah satu ladang ibadah. Hindarilah perkara-perkara yang tidak perlu dan mengakibatkan dosa. Apa itu? Tabzir dan riya'. Tabzir atau pemborosan merupakan perilaku tercela. Membawa uang banyak tentu boleh, namun pergunakanlah sebaik mungkin di kampung halaman agar ketika kembali bekerja pasca mudik, keuangan kita masih aman terkendali. Tidaklah sedikit para pemudik yang akhirnya banyak hutang setelah kembali dikarenakan kurang bijak dalam menggunakan harta di kampung halaman.

Adapun riya dalam konteks mudik adalah perilaku pamer harta di kampung halaman. Tidak ada larangan membawa kendaraan mewah, HP kelas sultan dan juga perhiasan indah selama diniatkan sebagai rasa syukur kepada Allah. Jika diniatkan untuk pamer atau riya, tentu sangat disayangkan. Mudik yang seharusnya memperoleh pahala dan keberkahan tak terhingga, dinodai dengan perilaku tak terpuji dan sangat dilarang dalam islam.

Ada satu hal lagi yang harus dihindari ketika mudik. Apa itu? Hindari sifat gengsi. Jangan sampai ingin dikatakan orang kaya, pemudik akhirnya berlebih-lebihan dalam hal penampilan namun dilakukan dengan cara berbohong. Di kampung halaman ia mengaku sebagai orang kaya dengan cara menyewa mobil mewah dan mengaku memiliki jabatan bergengsi di suatu perusahaan. Padahal sejatinya ia adalah seorang pekerja rendahan saja, naudzubillah!

Hadirin Rahimakumullah,

Demikian mau'izah singkat yang dapat saya sampaiakan. Kita berdoa semoga saudara-saudara kita yang tahun ini pulang ke kampung halaman diberikan kesehatan oleh Allah, dimudahkan dalam perjalanan dan semua urusan dan dapat kembali pulang dengan selamat dan tetap istiqomah tepat waktu menjalankan kewajiban sebagaimana biasa. Amiin.

Tak lupa saya menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya jika dalam penyampaian mauizah ini ada beberapa kesalahan dan perkataan yang kurang berkenan dihati. Hadanallah wa iyyakum ajma'in. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Demikian tadi rangkuman contoh kultum Ramadhan singkat dari berbagai tema yang diharapkan dapat menjadi referensi bagi setiap muslim. Semoga bermanfaat!




(par/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads