Kisah Sanjoto Veteran Perang Gerilya di Solo, Pernah Kawal Jenderal Sudirman

Kisah Sanjoto Veteran Perang Gerilya di Solo, Pernah Kawal Jenderal Sudirman

Afzal Nur Iman - detikJateng
Minggu, 08 Okt 2023 16:17 WIB
Veteran TNI, Sanjoto bercerita terkait kisah hidupnya, di rumahnya, Peterongan, Semarang, Sabtu (7/10/2023).
Veteran TNI, Sanjoto bercerita terkait kisah hidupnya, di rumahnya, Peterongan, Semarang, Sabtu (7/10/2023). Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng
Semarang -

Meski sudah berusia 93 tahun, seorang veteran bernama Sanjoto masih fasih menceritakan pengalamannya dalam setiap babak yang dia alami saat menjadi Tentara Nasional Indonesia. Lahir di Solo, dia memutuskan menjadi pejuang di usia muda karena resah dengan penjajahan Jepang.

"Awalnya tahun 1942 saya masih umur 12 kalau tidak salah, saya masuk organisasi kepemudaan Solo," kata Sanjoto saat mengawali cerita di rumahnya, Peterongan, Semarang, Sabtu (7/10/2023).

Dia menyebut saat itu memang banyak pemuda seusianya yang berniat menjadi pejuang. Biasanya, para pemuda berdiskusi membicarakan situasi terkini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sanjoto, ikut mulai berorganisasi saat Jepang mulai menjajah Indonesia. Di benaknya, Jepang justru lebih kejam daripada Belanda.

"Setelah Jepang mendapatkan kuasa dari Belanda untuk melanjutkan penjajahannya, kita sudah tahu Jepang itu lebih kejam maka saya masuk organisasi kepemudaan," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Lalu, dia merasakan suasana mulai berubah di tahun 1945. Tiba-tiba, sebagian besar pasukan Jepang seperti menghilang dari tanah kelahirannya.

Belakangan diketahui terjadi peristiwa pengeboman di dua kota Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Meski tak ingat kapan waktu pastinya, Sanjoto ingat dia dan rekan-rekannya nekat melucuti persenjataan pasukan Jepang setelah Indonesia merdeka.

"Setelah kota Jepang, Nagasaki sama Hiroshima dibom atom, Jepang seperti ditelan bumi. Nah kita memberanikan diri untuk menyerbu markas Jepang bersama-sama PETA sama Heiho," ujarnya.

Karena itu, di umur yang belum genap 17 tahun, Sanjoto sudah menenteng senjata dan dianggap sebagai pejuang. Dia akhirnya juga masuk ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI.

"Karena saya melucuti senjata Jepang saya dianggap ikut berjuang, tapi tidak semua teman sebaya saya diangkat jadi TNI, setelah diseleksi dilalah saya itu katut jadi TNI," katanya.

Foto-foto di rumah veteran TNI Sanjoto di Peterongan, Semarang, Sabtu (7/10/2023).Foto-foto di rumah veteran TNI Sanjoto di Peterongan, Semarang, Sabtu (7/10/2023). Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng

Ikut Perang Gerilya di Solo

Sanjoto masuk ke Polisi Tentara yang nantinya akan menjadi Corps Polisi Militer (CPM). Hingga 1950, Sanjoto masih berdinas di Solo.

Karena itu, dia juga terlibat dalam perang gerilya saat Agresi Militer Belanda di tahun 1948. Sanjoto juga mendapat tugas penting untuk mengawal perjalanan Panglima Besar Jenderal Soedirman dari Solo menuju Jogja.

"Panglima Besar Jenderal Soedirman pemimpin gerilya, dia itu waktu itu di sekitar kita, di Solo. Dulu akan ke Jogja memenuhi panggilan Presiden yang waktu itu di Jogjakarta saya yang mengawal Panglima Soedirman," imbuhnya.

Selengkapnya di halaman sellanjutnya

Saat itu, dia bertugas mencari rute aman bagi Jenderal Soedirman. Ternyata, beberapa tempat di Solo dan Sukoharjo juga sudah diduduki Belanda.

"Saya waktu itu kan di Solo diperintahkan separuh kekuatan rakyat, pelajar, TNI, dan polisi negara separuh kekuatan menujulah Meteseh, separuh ke Wonogiri hancurkan jembatan yang melintang, tapi nyatanya jembatan kokoh sudah diduduki Belanda, akhirnya diberondong sama Belanda, banyak korban di situ," jelasnya.

Meski begitu, Jenderal Soedirman akhirnya bisa melintas. Dia merasa memiliki kebanggaan tersendiri bisa menunaikan tugas untuk mengawal Jenderal Soedirman.

"Saya yang menyeberangkan, aman itu, pakai ditandu itu sudah sakit," kata Sanjoto.

Penguji SIM Jenderal Ahmad Yani

Tahun 1950, Sanjoto kemudian dipindahtugaskan ke Komando Gerakan Banteng Nasional (GBN) di Tegal. GBN dibentuk untuk menumpas DI/TII, Tegal termasuk menjadi daerah gerilya DI/TII.

"Detasemen GBN 4 itu wilayahnya di Tegal, Bumiayu, Purwokerto, Brebes itu daerahnya DI/TII," tambahnya.

Foto-foto di rumah veteran TNI Sanjoto di Peterongan, Semarang, Sabtu (7/10/2023).Foto-foto di rumah veteran TNI Sanjoto di Peterongan, Semarang, Sabtu (7/10/2023). Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng

Di sana, Sanjoto berada di bawah pimpinan Letkol Ahmad Yani yang ditugaskan menumpas DI/TII. Ternyata, dia juga sempat menjadi penguji rebuwes/Surat Izin Mengemudi (SIM) Ahmad Yani.

"Pak Yani waktu itu jadi komandannya GBN, diperintah sama Bung Karno segera menumpas DI/TII. Ahmad Yani meresmikan satu batalion Banteng Raider untuk menumpas DI/TII. Saya CPM, CPM itu yang mengeluarkan rebuwes militer saya pengujinya, nah Pak Yani itu minta rebuwes saya yang menguji," kenangnya.

Hal itu juga ternyata masih diingat Ahmad Yani ketika dirinya sudah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Letjen. Ahmad Yani bahkan mengumumkan itu saat bertemu dengan Sanjoto yang berdinas di Kalimantan Barat.

Saat itu Sanjoto diperintah untuk menjemput KASAD yang ternyata adalah Ahmad Yani. Usai menjemput, dia dipanggil di ruang pertemuan yang di sana hadir Pangdam dan Gubernur Kalimantan Barat.

Di momen itulah Jenderal Ahmad Yani memberi tahu bahwa Sanjoto merupakan penguji rebuwes militernya. Sanjoto juga mendapat kenaikan satu pangkat setelah itu.

"Saya dipanggil masuk, Pak Yani berdiri salaman sama saya, diumumkan ini CPM ini yang rebuwes saya waktu tugas di GBN/4 pada tepuk-tepuk dari panglima sama gubernurnya," kenangnya.

Pensiun di Semarang

Sanjoto mengakhiri kariernya di Semarang pada tahun 1982 dengan pangkat terakhir kapten. Dari Kalimantan, dia kembali ke Semarang tahun 1964, setahun sebelum pecahnya Gerakan 30 September atau G30S.

Sanjoto juga bercerita bahwa di momen itu, dirinya pernah ditugasi memburu Ketua PKI DN Aidit yang akan melarikan diri ke Solo. Mendapat informasi DN Aidit transit di Semarang, dia pun melakukan pengejaran.

"Satu minggu baru dapat penjelasan dari pusat bahwa G30S itu yang menyutradarai PKI, 7 jenderal dibunuh," katanya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya

Informasi yang diperolehnya, DN Aidit akan transit di sebuah rumah di daerah Peterongan, Semarang yang kini dia tempati. Sayangnya, saat dirinya tiba, DN Aidit sudah melarikan diri dan rumah tersebut justru porak-poranda dirusak warga.

"Ketemu rumahnya, dulu di sini banyak warga yang merusak rumah ini, bendera PKI itu sudah dibakar, disobek-sobek tapi saya terlambat. Kata warga 2 jam yang lalu sudah berangkat yang kendaraannya pakai nomor pelat B," jelasnya.

Baru pada tahun 1969 rumah tersebut diberikan kepada Sanjoto. Rumah itu disebutnya memang disita oleh negara.

Dia mengakhiri karier militernya di Semarang dengan jabatan komandan pleton dinas umum dan pangkat terakhir kapten. Saat ini, Sanjoto tinggal berdua dengan istrinya di rumah tersebut.

Di rumah itu, terpampang banyak foto yang menunjukkan kegiatannya sebagai veteran. Rumah yang direnovasi dengan bantuan Pemprov Jateng itu juga pernah disambangi beberapa pejabat baik sipil maupun militer di wilayah Jateng.

Halaman 2 dari 3
(rih/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads