Hakim 'Kopi Sianida' Dikukuhkan Jadi Profesor Kehormatan Unissula Semarang

Hakim 'Kopi Sianida' Dikukuhkan Jadi Profesor Kehormatan Unissula Semarang

Angling Adhitya Purbaya - detikJateng
Sabtu, 15 Jul 2023 14:43 WIB
Hakim Binsar M Gultom atau yang lebih dikenal dengan  hakim kopi sianida dikukuhkan sebagai guru besar Profesor Kehormatan di Univeristas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
Hakim Binsar M Gultom atau yang lebih dikenal dengan hakim kopi sianida dikukuhkan sebagai guru besar Profesor Kehormatan di Univeristas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Foto: Dok Unissula Semarang.
Semarang -

Hakim Binsar M Gultom atau yang lebih dikenal dengan hakim 'kopi sianida' dikukuhkan sebagai guru besar Profesor Kehormatan di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Dalam orasinya ia mengungkit soal penyelesaian pelanggaran HAM berat.

Binsar cukup dikenal sebagai hakim yang menangani berbagai perkara, salah satunya yaitu kasus tewasnya I Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso yang kasusnya menyeruak karena modusnya menggunakan kopi yang dicampur racun sianida pada tahun 2016 silam.

Pria yang menjabat hakim tinggi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu meraih gelar kehormatan profesor di bidang hukum di Unissula. Pengukuhan digelar di ruang seminar Fakultas Hukum Unissula hari Jumat (14/7/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Semoga ilmu yang dimilikinya bisa bermanfaat untuk bangsa dan negara, di mana pemikiran akademik yang bermanfaat untuk tumbuhnya peradilan Hak Azasi Manusia (HAM) Ad hoc di Indonesia," kata Rektor Unissula, Gunarto dikutip detikJateng dari laman resmi Unissula, Sabtu (15/7/2023).

Hakim Binsar membawakan orasi ilmiah berjudul Efektivitas Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan HAM di Indonesia ketika dikukuhkan. Ia menjelaskan saat ini pengadilan HAM Ad hoc dan pengadilan HAM masih kurang efektif di Indonesia. Hal itu ditandai sulitnya menetapkan pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu dan masa sekarang.

ADVERTISEMENT

"Jika alternatif penyelesaian HAM berat masa lalu secara hukum sulit dilaksanakan, disarankan agar kasus tersebut dapat diselesaikan secara rekonsiliasi nasional berdasarkan UU Komisi, Kebenaran, dan Rekonsiliasi seperti yang diamanatkan oleh Pasal 47 ayat (1) UU Pengadilan HAM," jelas Binsar.

Binsar juga mengatakan jika Pemerintah Indonesia mempersulit dan tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, terutama untuk perkara yang sudah ada di Komnas HAM dan Jaksa Agung, maka berpotensi kasus diambil alih pemerintahan internasional.

"Lewat International Criminal Court (ICC) dapat mengambilalih kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut untuk disidangkan di Pengadilan Internasional," katanya.

Soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa sekarang, Dia menegaskan harus melalui proses hukum di Pengadilan HAM. Tidak boleh rekonsiliasi untuk menyelesaikannya atau menutupi kasus-kasus.

"Terlebih terhadap kasus-kasus yang sudah selesai diselidiki untuk segera dilimpahkan ke Kejaksaan Agung lalu ke Pengadilan HAM sesuai locus dan tempus delictinya," tegasnya.




(apl/aku)


Hide Ads