Banyaknya para pria yang merantau ke berbagai wilayah membuat penduduk Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah didominasi oleh para perempuan. Sebutan 'Kampung Janda Musiman' akhirnya melekat di desa setempat.
Warga setempat mengaku tak keberatan dengan julukan tersebut. Jumiarti (54), salah satu ibu rumah tangga, warga RT 2 RW 1 mengaku maklum sebab memang banyak warga yang ditinggal suaminya merantau.
"Saya pernah dengar istilah itu (kampung janda musiman). Tapi ya memang kaya gitu. Dibawa santai sajalah. Memang sudah dari dahulu kaya gini," kata dia kepada detikJateng, Sabtu (27/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumiarti mengatakan suaminya yang bernama Harun (45) berasal dari Jambi. Dia menikah 14 tahun lalu saat Jumiarti diajak merantau oleh kakaknya ke tempat tersebut. Namun berselang beberapa tahun kemudian, dia memutuskan untuk balik ke kampung halaman.
"Suami saya baru saja berangkat 10 harian lalu. Saya dahulu ikut kakak ke Jambi, suami asli sana. Nikah sekitar 14 tahun yang lalu. Bapak kerja serabutan sekarang lagi (bekerja) di bangunan," terangnya.
Ia mengungkapkan dalam setahun suaminya bisa pulang kampung sebanyak tiga kali. Namun waktunya tidak pasti. Bahkan pada saat Idul Fitri kemarin mereka tak berlebaran bareng.
"Dalam setahun pulang sekitar tiga kali, tidak pasti waktunya. Kemarin juga Lebaran suami saya tidak bisa pulang. Ya tidak apa-apa risikonya seperti ini," ungkapnya.
Ibu dari tiga anak ini menambahkan banyak risiko yang timbul dari kondisi tersebut. Kebetulan suaminya dipercaya untuk menjadi ketua RT pada beberapa tahun lalu. Karena suaminya berada di perantauan jika ada kegiatan masyarakat dirinyalah yang mewakili.
"Bapak kebetulan ketua RT sekitar empat tahun lalu. Kalau ada (rapat) RT-an ya saya yang mewakili. Tapi kan di sana banyaknya ibu-ibu juga. Mereka ditinggal merantau sama suami," ungkapnya.
Warga lainnya Sumarni (47) juga merasakan hal serupa. Ia mengungkapkan sudah 26 tahun berpisah sementara waktu dengan suaminya yang merantau ke Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan.
"Suami saya merantau ke Lahat dekat Palembang sana. Sudah 26 tahun lalu merantau jualan siomay. Di sana ngontrak hidup sendiri," kata dia.
Dalam setahun suaminya biasa pulang sebanyak dua kali. Yang pasti di rumah saat bulan puasa hingga setelah Lebaran. Hal itu lah yang membuatnya bekerja di rumah industri tekstil di desanya.
"Setahun pulang dua kali. Kalau pulang di rumah bisa sampai satu bulan. Jadi saya ya kerja di konveksi pembuatan kelambu dan seprei 7 tahunan ini," ucapnya.
Dirinya juga menyadari banyak orang yang menyebut desanya menjadi 'Kampung Janda Musiman'. Namun ia tidak ambil pusing dengan istilah tersebut.
"Pernah dengar ada istilah janda musiman tapi ya tidak tahu maksudnya apa. Ya bodoh amat ada istilah kaya gitu. Orang saya bukan janda ini," ungkapnya.
Jumiarti dan Sumarni sepakat, kondisi tersebut bukanlah sebagai penghalang dalam kehidupan berumah tangga. Sebab teknologi saat ini sudah sangat dimudahkan.
"Kalau kangen ya tinggal video call saja. Orang setiap hari juga pasti video call kok," kata mereka.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Sementara itu, Kaur Perencanaan desa setempat, Ivana menjelaskan banyak kendala dalam kehidupan bermasyarakat yang muncul karena banyaknya perantau. Salah satunya saat ada undangan acara yang harusnya tertuju kepada lelaki.
"Kaya kegiatan masyarakat begitu. Termasuk di desa juga sekarang kalau dikumpulin RW, yang berangkat istri-istri ketua RT-nya. Karena rata-rata lelaki merantau. Malah ada yang sengaja dipilih penggeraknya (ketua RT) ibu-ibunya," terangnya.
Seperti yang terjadi di wilayah RW 2. Dari 13 RT yang ada, setengahnya dipimpin oleh kaum perempuan. Namun itu tidak menjadi kendala.
"Ada yang biasanya menggantikan tugas Pak RT ada juga yang dipilih dari awal memang perempuan. Ada juga di RW 2 dari 13 RT yang ada, 6 atau 7 Ketua RT-nya perempuan," ungkapnya.
Kendala justru terjadi saat tahun pemilu. Sebab banyak para perantau yang enggan untuk pulang sekadar untuk menggunakan hak suaranya.
"Padahal kalau dilihat statistik data penduduk terakhir jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan. Tapi kalau dari tingkat partisipasi pemilu itu perempuannya lebih banyak. Karena mereka kalau ada momentum seperti itu banyak yang tidak pulang," katanya.
Hal menonjol lainnya yaitu saat pelaksanaan salat Jumat. Sebab kalau sedang waktunya perantau berangkat, banyak masjid atau musala yang terlihat sepi. Namun akan berbanding terbalik pada bulan Ramadan atau setelah Lebaran.
"Contoh mudahnya saja seperti Jumatan ya. Kalau di luar bulan Ramadan atau Syawal masjid tidak penuh, infaknya juga tidak banyak," ujarnya.
"Apalagi kalau jumatan di musala, kan ada juga yang dipakai karena memang kalau lagi pada pulang masjidnya mbludak. Itu jemaahnya sangat sedikit. Tetap jalan, tapi kelihatan banget tidak ada warganya. Paling cuma 4 saf saja tapi kalau lagi pada pulang ya bisa sampai 10 saf," pungkasnya.