Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati atau Bintang Puspayoga mengatakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual hingga mengalami kehamilan tidak boleh putus sekolah.
"Anak tidak boleh mengalami stigma. Jangan sampai anak yang menjadi korban masa depannya hilang. Karena mereka punya cita-cita yang harus kita penuhi," kata Bintang saat kunjungan kerja ke SMP N 3 Kebasen, Kabupaten Banyumas, Sabtu (15/4/2023) sore.
Kunjungan Bintang untuk menghadiri penandatanganan pakta integritas pencegahan perkawinan anak dan dialog 'Disiplin Disiplin Positif' di Satuan Pendidikan Banyumas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sudah ada praktik baik dari sekolah. Di mana anak 12 tahun yang jadi korban hingga hamil di Kabupaten Sidoarjo. Anak ini tetap bisa belajar lewat daring. Nah ini makanya Pak Bupati sudah setuju juga, di sini ada kasus anak yang menjadi korban, tapi harus keluar dari sekolah" ujarnya.
Meski begitu tetap harus memenuhi kemauan korban. Apakah berkenan melanjutkan di sekolah yang lama atau meminta pindah sekolah agar lebih nyaman.
"Apakah mereka akan memilih di sekolah lain atau memilih PKBM, yang penting mereka tidak boleh putus sekolah. Itu yang akan kita dampingi," ucap Bintang.
Bintang juga mengimbau agar anak yang menjadi korban kekerasan seksual maupun perundungan segera melapor.
"Kami sediakan layanan call center di 129 atau bisa juga melalui WhatsApp ke nomor 08111129129. Adik-adik semua harus berani melapor, entah itu kekerasan bullying maupun seksual," jelasnya.
Sementara itu, Bupati Banyumas Achmad Husein menyampaikan keprihatinan soal banyaknya kasus pernikahan dini di Banyumas akibat hamil duluan.
"Masalah kawin dini memang di Banyumas sangat memprihatinkan. Pernah saya tanyakan ke Pengadilan Agama di Kabupaten Banyumas, ada 220 anak di tahun 2022 dikawinkan. Lebih parah lagi di Pengadilan Agama Purwokerto, ada sekitar 400-500 anak kawin karena terpaksa, hamil di luar nikah," ungkapnya.
Dirinya menduga ada beberapa faktor yang membuat perkawinan anak di Kabupaten Banyumas tinggi. Oleh sebabnya ia ingin mencari tahu dulu akar permasalahannya.
"Dahulu itu kita tidak pernah terpikirkan di bawah 15 tahun berhubungan seks. Ini jawabannya jelas sekarang, kenapa anak di bawah umur terpikirkan untuk berhubungan seks, karena faktor komunikasi atau terpengaruh media sosial," pungkasnya.
(dil/dil)