Warga Desa Gemulak Demak Keluhkan Polusi dari Pabrik Arang

Warga Desa Gemulak Demak Keluhkan Polusi dari Pabrik Arang

Mochamad Saifudin - detikJateng
Selasa, 21 Feb 2023 21:11 WIB
Warga Desa Gemulak, Kecamatan Sayung, Demak, menunjukkan debu yang mengendap di lantai rumahnya, Selasa (21/2/2023). Debu itu disebut dari asap pabrik arang di desa tersebut.
Warga Desa Gemulak, Kecamatan Sayung, Demak, menunjukkan debu yang mengendap di lantai rumahnya, Selasa (21/2/2023). Debu itu disebut dari asap pabrik arang di desa tersebut. Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng
Demak -

Sejumlah warga mengeluhkan polusi dari pabrik arang di Desa Gemulak, Kecamatan Sayung, Demak. Polusi itu disebut membuat warga sesak nafas, pusing, mata perih, dan sebagainya.

Salah satu warga Dukuh Karangmalang, Desa Gemulak, Kusni (40) yang tinggal di belakang pabrik itu memilih menutup rumahnya rapat-rapat agar tak kemasukan asap dari pabrik.

Pantauan detikJateng di lokasi, debu dari asap pabrik yang berwarna cokelat seperti ampas kopi itu mengendap di lantai rumah warga, menempel di jemuran, dan lain-lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya tinggal di sini lima tahunan. Suami yang asli sini. Iya, sengak (bau menyengat). buat nafas susah, buat kesehatan nggak baik ini, perih di mata," kata Kusni saat ditemui di rumahnya, Selasa (21/2/2023).

"Sebenarnya anak-anak ini sudah dilarang keluar, tapi ngeyel minta keluar terus, pada senang main di luar," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Kusni mengatakan polusi udara itu paling parah tiap pukul 11.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Selain polusi, dia juga mengeluhkan soal ikan di tambaknya banyak yang mati.

"Dulunya sawah terus jadinya tambak. Karena limbah pabrik ikannya pada mati, sejak Agustus 2022. Ikan kutuk, mujaer. Cukup luas, suami yang ngurus tambak," terangnya.

Kusni menambahkan, di area itu terdapat 4 rumah. Dia mengaku tidak mendapatkan sosialisasi yang terang mengenai pembangunan pabrik arang tersebut.

"Dulu katanya mau bikin pabrik, waktu saya di sini baru, pembangunan masih kecil. Tapi nggak tahu ternyata pabrik arang," ujarnya.

Tetangga Kusni, Farida (52), juga mengaku tak betah lantaran terdampak polusi setiap hari. Ia dan Kusni mengaku siap jika harus pindah rumah, asalkan pihak pabrik mengganti rumah mereka dengan harga yang cocok.

"Sudah dua tahun (terdampak). Ada lima anggota keluarga. Minta ganti rugi nominal rumah dan kesehatan," kata Farida.

Warga lain di Dukuh Belah, Farokhah, mengatakan mata bayinya sempat susah terbuka saat bangun tidur karena terdampak asap pabrik. Ia menyebut dampak itu dialami bayinya saat masih berusia 5 bulan.

"Saat ini usianya sudah 17 bulan. Dulu mata anak saya 1 bulanan lengket saat bangun tidur, saya kasih air hangat. Saya periksakan ke dokter," kata Farokhah.

"Ditanya di rumah ada kotoran atau ada debu-debu yang mengganggu gitu, aku ingat-ingat oh iya memang ada. Di sini kan pas siang ada asap gitu. Baunya aja menyengat banget. Saat itu terus saya periksakan setiap bulan," imbuh dia.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Rumah Farokhah berjarak sekitar 100 meter dari pabrik itu. Menurut dia, polusi itu terasa tiap pukul 11.00 WIB dan terkadang juga pada saat malam. "Kadang pabrik) masuk shift malam, juga nyala terus," ujarnya.

Perangkat Desa Gemulak, Luthfi Faizah, juga mengaku terdampak polusi dari pabrik tersebut. Satu ruangan di lantai dua rumahnya terus kemasukan debu yang jika dikumpulkan seperti ampas kopi.

Luthfi menuturkan ada ratusan jiwa yang terdampak polusi dari pabrik tersebut. ""Kalau semua itu Dukuh Belah 200 KK, 636 jiwa. Sebelah sini Karangmalang 7 KK sekitar 35 jiwa. Sangat terdampak itu. Sesak nafas, penglihatan perih, bau menyengat," ujarnya.

Ia melanjutkan, lembaga pembelajaran ngaji sore juga terdampak polusi. "Madin di dukuh Belah sekitar 200-an murid. Lahan tambak sekitar 3 hektare terdampak adanya limbah itu," terangnya.

Luthfi mengaku telah mengadu ke sejumlah pihak. Namun pabrik tersebut hingga kini masih beroperasi.

"Kami sebagai warga menolak dengan adanya PT Sinar Pasific Internasional. Setelah kami berusaha mau dua tahunan lewat surat pengaduan, 14 Februari 2023 saya dapat jawaban dari Laporgub dan KemenLHK, bahwa harus ada sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah. Namun kenyataannya PT tetap beroperasi dan kami sangat khawatir dengan kesehatan anak cucu kami," ujar Luthfi.

"Kami tidak mau dikasih kompensasi berupa uang Rp 300 ribu per bulan, karena itu tidak imbang dengan kesehatan anak cucu kami yang memiliki cita-cita yang tinggi, mana mungkin kalau paru-parunya diserang dengan serbuk grajen seperti ini," sambungnya.

Sebagai perangkat desa, Luthfi merasa tak pernah diberitahu adanya pendirian pabrik tersebut. "Saya sebagai perangkat desa tidak pernah dikasih tahu bahwa ada sosialisasi PT. Kami menolak dengan adanya PT ini," ucapnya.

Sementara itu bidang Advokasi dan Kampanye Walhi Jateng, Adetya Pramandira mengatakan bahwa kepemilikan PT tersebut berubah setelah adanya keluhan warga. Ia menuturkan bahwa pabrik sempat berhenti beroperasi selama sebulan namun beroperasi lagi.

"Pasca audiensi (warga dengan DPRD Demak) sudah ada keputusan untuk berhenti sementara. Boleh beroperasi lagi setelah alat-alat itu dipenuhi, itu sanksi dari pemerintah. Tapi ternyata itu tidak dipenuhi, tapi masih berjalan kembali dan kemudian bergantilah kepemilikan PT," terang Dera.

Plt Dinas Lingkungan Hidup Demak, Eko Pringgo Laksito, mengatakan akan mengecek ke lokasi pabrik tersebut. "Iya, kita cek," ujar Koko saat dimintai konfirmasi via telepon.

detikJateng belum berhasil mendapatkan konfirmasi dari pihak pabrik. Saat mengunjungi pabrik tersebut, Selasa (21/2), detikJateng ditemui oleh satpam. Satpam itu hanya meminta detikJateng mengisi buku tamu dan meninggalkan nomor telepon tanpa pempertemukan dengan pimpinan perusahaan.

Halaman 2 dari 2
(dil/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads