Sepulang dari garis depan usai memimpin suatu kelompok sukarelawan yang mengadakan penyusupan di Malaysia pada masa Dwikora (Dwi Komando Rakyat), Pierre Tendean menjadi 'rebutan' tiga jenderal. Akhirnya, Letda Pierre menjadi ajudan yang berani mati demi melindungi Jenderal AH Nasution. Berikut kisahnya.
Sekilas Tentang Dwikora
Menurut Masykuri dalam bukunya, Pierre Tendean (Departemen P & K, 1983), sejarah tentang Dwikora berawal ketika Negara Persekutuan Tanah Melayu atau Negara Malaya Merdeka resmi berdiri pada 31 Agustus 1957. Negara persekutuan itu wilayahnya juga mencakup Singapura, yang kemudian disusul dengan daerah-daerah lainnya.
Semula Indonesia tidak menaruh keberatan terhadap pemerintahan sendiri atau kemerdekaan oleh Inggris kepada daerah-daerah jajahannya itu. "Namun, bagi Indonesia, pertentangan dengan kolonialisme dan imperialisme dalam segala macam bentuk dan manifestasinya merupakan hal yang prinsipil..." (hlm. 17).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah bersitegang dengan Malaysia dan mencapai puncaknya pada 1963-1964, Presiden Sukarno akhirnya mencetuskan Dwikora. Sejak itu pemerintah Indonesia mengirimkan sejumlah sukarelawan dari kalangan ABRI maupun masyarakat sipil ke Malaysia. Mereka bertugas menggagalkan pembentukan federasi Malaysia.
Memimpin Relawan, Menyusup ke Malaysia
Saat Dwikora dicetuskan, Pierre Tendean menjabat sebagai Komandan Peleton pada Batalion Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan di Medan. Kala itu pangkatnya masih Letda.
Setelah lulus dari pendidikan di Sekolah Intelijen di Bogor, Letda Pierre kemudian ditugaskan memimpin suatu kelompok sukarelawan yang mengadakan penyusupan ke Malaysia.
"Satu tahun lamanya Letda Pierre Tendean bertugas di garis depan, menyusup ke daerah Malaysia. Selama satu tahun itu ia bersama-sama dengan pasukannya tiga kali berhasil memasuki daerah musuh dengan sukses," tulis Masykuri dalam bukunya (hlm.22).
Namun, di balik keberhasilannya yang gemilang di garis depan, perwira kelahiran 21 Februari 1939 itu adalah satu-satunya anak lelaki yang begitu disayangi keluarganya.
Untuk diketahui, Letda bernama lengkap Pierre Andries Tendean itu adalah anak kedua dari Dr A L Tendean, dokter berdarah Minahasa, dan Maria Elizabeth Cornet, wanita Belanda berdarah Prancis.
Ditarik dari Garis Depan Demi Ibunya
Prihatin akan nasib anaknya mengemban tugas yang berbahaya, ibunya pun mengupayakan agar Letda Pierre Tendean segera dapat ditarik kembali. Dalam bukunya, Masykuri menyebutkan bahwa ibu Pierre Tendean merupakan kawan baik dari mertua Jenderal AH Nasution.
Saat itu Jenderal AH Nasution menjabat Menko Hankam KASAB. Singkat cerita, permohonan ibunya dikabulkan. Letda Pierre kemudian ditarik dari tugas khususnya.
Tentang Letda Pierre jadi rebutan tiga jenderal ada di halaman selanjutnya...
Sepulang dari Malaysia, Letda Pierre kemudian menjadi 'rebutan' tiga jenderal yang telah mengenal bakat dan kepribadiannya. Tiga jenderal itu ialah Jenderal AH Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Dendi Kadarsan. Singkat cerita, Jenderal AH Nasution yang 'menang'.
Diangkat sebagai ajudan Menko Hankam KASAB Jenderan AH Nasution sejak 15 April 1 965, Letda Pierre Tendean pun dinaikkan pangkatnya menjadi Lettu (Letnan Satu). Lettu Pierre menggantikan ajudan sebelumnya, Kapten Manulang, yang gugur di Kongo.
Ajudan Termuda Jenderal AH Nasution
Lettu Piere Tendean, 26 tahun, menjadi ajudan termuda dari total 4 ajudan Jenderal AH Nasution. Meski demikian, Lettu Tendean sebenarnya tidak begitu tertarik dengan tugasnya yang baru itu.
"Kalau diperkenankan, setelah bertugas setahun sebagai ajudan, ia akan meminta tugas lain kepada atasannya," tulis Masykuri (hlm. 26). Namun, tugas menjadi ajudan itu menggembirakan orang tuanya karena dianggap lebih aman.
Dalam peristiwa G 30 S, Lettu Pierre diculik dan dibunuh di Lubang Buaya karena dikira sebagai Jenderal AH Nasution, salah satu target penculikan dalam gerakan tersebut.
Saat gerombolan penculik menyerbu rumah Jenderal AH Nasution, dalam buku Masykuri dikisahkan, Lettu Pierre Tendean kepergok keberadaannya. Saat dibentak oleh anggota gerombolan itu, Pierre menjawab, "Saya Ajudan Jenderal Nasution."
Rupanya, perkataan 'ajudan' yang disebut Pierre tidak mereka dengar, sehingga mereka menganggap itulah Nasution. Pada 5 Oktober 1965, Lettu Pierre Tendean ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia. Sebagai penghormatan atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten.