Memahami Kerusuhan Mei 1998 di Solo dari Perspektif Falsafah Jawa

Memahami Kerusuhan Mei 1998 di Solo dari Perspektif Falsafah Jawa

Tim detikJateng - detikJateng
Kamis, 12 Mei 2022 09:17 WIB
Ilustrasi kerusuhan
Ilustrasi kerusuhan. Foto: iStock
Solo -

Peristiwa Amuk Massa di Solo Mei 1998 memang bukan peristiwa tunggal. Pada momentum yang berdekatan, amuk massa juga terjadi di kota Jakarta yang menjadi sentrum kekuasaan; serta kota-kota lain seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi; bahkan di kota kecil Kebumen.

Namun perhatian publik seperti terfokus di dua kota: Jakarta dan Solo. Kenapa?

Jakarta jadi fokus perhatian karena merupakan ibu kota negara. Sedangkan Solo mendapat sorotan istimewa karena merupakan kota Ibu Negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yang pasti, selain dua faktor tersebut, amuk massa atau kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di dua kota itu dua kota memang sangat signifikan. Mencekam. Membuat kota lumpuh setidaknya dalam tiga hari peristiwa.

Kerusuhan Mei di Solo memang mengejutkan karena ada pemahaman 'Wong Solo' yang menjadi pancer kebudayaan Jawa, merupakan komunitas masyarakat yang dikenal ramah, sopan, toleran dan luhur budayanya. Terjadinya kerusuhan Mei 1998 (Di Solo puncak peristiwa 14-15 Mei); membuat banyak orang tercengang. Pendekatan dalam perspektif atau falsafah Jawa mungkin akan membantu memudahkan kita memahaminya.

ADVERTISEMENT

Sejatinya 'Orang Jawa' sebenarnya tidak menyukai konflik apalagi sampai dilakukan secara terbuka. Azas atau prinsip utama dalam kehidupan bersama dijaga dengan paugeran atau pedoman Memayu Hayuning Bawana, Memayu Hayuning Sesami/Sapepadha lan Manunggaling Kawula Gusti. Artinya, semua orang punya tanggung jawab menjaga keindahan (ketertiban, ketenteraman, keselarasan) semesta, menjaga keserasian kehidupan dengan sesama manusia dan makhluk (yang di dalamnya juga disertai memayu hayuning pribadi); serta menyatu atau saling mengerti antara rakyat dengan pemimpin dan sebaliknya.

Karenanya dianggap ada permasalahan jika asas dalam kehidupan bersama itu terganggu. Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa Filsafat Jawa tujuannya mewujudkan harmoni, keselarasan; sehingga jika terjadi ketidaksinkronan, ketidakselarasan; akan timbul gejolak. Filsafat Jawa berbeda dengan Filsafat Barat yang tujuannya adalah kesempurnaan, juga berbeda dengan Filsafat Timur dimana Filsafat Jawa dikategorikan masuk di dalamnya, yang tujuan akhirnya adalah kebijaksanaan.

Untuk menjaga harmoni dalam kehidupan bersama, ada berbagai petuah, ajaran, dan pesan agar orang Jawa seperti Aja Kegetan, Gumunan, Dumeh, Rumangsa (Jangan mudah terkejut, kagum, mengandalkan sesuatu yang dimiliki dan merasa paling). Ada budaya yang diberi penekanan sebagai upaya menjaga harmoni kehidupan bersama.

Karena itu, jika muncul konflik -termasuk di dalamnya ketidakpuasan dan kekecewaan, ada beberapa tahapan reaksinya. Mulai dari tahap membuka ruang dialog mencari solusi (Ana Rembug Dirembug), jika belum diperoleh solusi masing-masing pihak disarankan untuk mengalah (Ngalah), jika belum selesai juga kalau memungkinkan ada pihak yang menjauh, menghindar (Ngalih), setelah semua itu dilewati, tidak ada win-win solution, maka muncul apa yang disebut amuk (Ngamuk).

Untuk melengkapi tahapan dalam penyelesaian konflik, ada ajaran, pesan, dan nasihat dalam menjalaninya. Dalam konteks rembukan ada ungkapan Jembar pikire, sabar atine, Menang tanpa ngasorake dan Nglurug tanpa bala. Pada tahapan ngalah ada ungkapan Wani ngalah luhur wekasane, Sing waras ngalah dan Sing ngalah entuk berkah serta Sing sabar lan ngalah dadi kekasihing Allah (Perlu dicatat, dalam persepsi Jawa, ngalah bukan kalah. Mengalah adalah sikap rela berkorban agar harmoni kehidupan bersama terjaga).

Tahapan ngalih (menghindar) bentuknya bukan hanya berujud dalam tindakan fisik semata, tapi dengan olah rasa. Secara fisik, ngalih dikuatkan dengan tindakan dan olah rasa. Ungkapan yang menguatkan saat orang ngalih secara fisik misalnya Aja nyedak kebo gupak, Aja golek perkara, goleka rejeki, dan Dadiya banyu emoh nyawuk, dadiya godhong emoh nyuwek, dadiya suket emoh nyenggut (Tidak mau lagi bersinggungan). Penguatan ngalih secara batin diajarkan dengan "Sabar iku lire momot kuat nandhang sakehing coba lan pandhadharaning urip" (Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam perjalanan hidup); "Gusti Allah mboten sare" (Tuhan tidak pernah tidur); dan "Bener ketenger, becik ketitik, ala ketara" (Akhirnya kebenaranlah yang akan menang dan dicatat).

Ungkapan akhir yang disebut ngamuk (amuk) didampingi ungkapan seperti Sak dumuk bathuk sak nyari bumi dibelani pati (Demi kehormatan secuil tanah selebar jari akan dibayar dengan kematian). Dalam konteks ini juga muncul nasihat penyeimbang seperti Tega larane ora tega patine (Tega melihat sakit tapi tidak tega kalau sampai berujung kematian).

Sinyal Ada Masalah

Orang Jawa memiliki metode deteksi adanya masalah, dengan pendekatan yang disebut 4-Wi (Baca: Pat Wi), yaitu Wicara, Wirama, Wiraga, Wirasa. Tools deteksi wicara adalah indikator kondisi sosial berdasarkan ucapan, perbincangan dan wacana yang ada. Wirama adalah melihat kondisi masyarakat dari irama kehidupan, misalnya orang biasanya berkumpul dalam satu lingkungan secara terjadwal, kalau ada pertemuan yang begitu sering pasti ada agenda yang patut diwaspadai.

Wiraga adalah gerak tubuh, gestur. Orang sering mengungkapkan sikap dan rasa hati, bahkan pikirannya melalui gerak tubuh. Kalau ada gerak tubuh yang sama pada beberapa orang, itu bisa merupakan tanda-tanda adanya masalah. Wirasa atau rasa hati, adalah parameter yang tidak mudah menangkapnya. Tapi dalam era sekarang melalui survei "rasa hati publik" bisa diketahui. Bahkan, data raya (big data) juga bisa dipakai untuk mengetahui "rasa hati masyarakat".

Adanya masalah dalam komunikasi publik bisa menjadi salah satu penyebab amuk massa karena kekecewaan, ketidak-puasan dan aspirasi masyarakat terlambat ditangkap dan diantisipasi oleh para pemimpin. Kesatuan kawula-gusti mengalami sumbatan, sehingga pemimpin tidak memahami apa yang ada di masyarakat, sementara masyarakat pun tidak bisa menangkap program dan arahan para pemimpin yang penting dilakukan dalam mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis.

Itu mungkin salah satu cara yang bisa dipakai untuk memahami terjadinya Kerusuhan Solo pada Mei 1998 agar hal serupa tak terulang lagi.



(Oleh Agus Widyanto, wartawan dan praktisi komunikasi. Isi merupakan opini dan pendapat pribadi)





(ahr/mbr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads