Tentang ketekunan dan keinginan untuk mencari penghidupan yang lebih baik, para leluhur kita telah menyediakan sebuah cerita keteladanan di cerita pewayangan dari tokoh Sumantri, Mahapatih dari Maespati. Namun tentang perilaku tak terpuji kepada asal muasalnya, sekali lagi kita juga berkaca kepada tokoh Sumantri tersebut.
Sumantri atau Suwanda adalah pemuda dari Desa Arga Sekar. Keinginannya untuk memperbaiki penghidupan yang lebih layak mendorongnya pergi merantau ke pusat pemerintahan di Maespati. Ayahnya, Resi Suwandagni, merestui. Dia melepas Sumantri dengan bekal amat berharga; aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh. Itulah kunci utama kesuksesan seseorang dalam mengarungi kehidupan di dunia lahir dan batin.
Singkat cerita, pemuda gagah nan rupawan itu sampai pula di istana Maespati. Dia mengabdi kepada maharaja Arjuna Sasrabahu. Kelebihan dan kecerdasan serta ketekunan dan kesetiaan Sumantri mampu merebut perhatian sang raja. Dia segera menjadi abdi kesayangan.
Sebagai abdi kepercayaan, dia dinobatkan sebagai mahapatih. Sebuah jabatan puncak yang mungkin bisa diraih oleh seseorang yang bukan berasal dari trah dinasti kerajaan. Dari seorang pemuda desa, kini Sumantri telah dipercaya raja dalam mengelola sebuah kerajaan besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika penceritaan ini kita hentikan di sini maka Sumantri adalah pribadi sempurna yang tanpa cacat. Ketekunannya dalam meniti karir, kegigihannya untuk mengangkat martabat kehidupannya dan kesetiaannya menatap masa depan yang gemilang, pantas dijadikan teladan bagi siapapun yang akan meniti masa depan lebih baik dalam hidupnya.
Namun di masa-masa berikutnya, Sumantri adalah potret seorang bangsawan baru yang gagal paham tentang kesuksesan. Bak kacang lupa kulitnya, dia menjadi pribadi yang melupakan dari mana dia berasal. Dia lupa pada nasihat 'bahkan kapal api besi itu pun masuk ke guri juga'; jangan disangka sesuatu yang kuat dan teguh akan kekal seterusnya. Sumantri mendongak dan meludah ke langit ketika dia mencela keluarganya sendiri di desa.
Sumantri menolak mengakui Sukasrana, adik kandungnya sendiri yang buruk rupa. Sumantri malu jika orang lain melihat adiknya itu, meskipun dia tahu bahwa si adik telah banyak membantunya dalam meraih kedudukan yang ditempatinya sekarang. Sukasrana, adik yang amat menyayanginya itu, dibunuhnya sendiri.
Sumantri telah terpesona pada keinginannya untuk tampil sebagai sosok bersih, tampan, flamboyan, dan kesan bahwa kerja kerasnya sendirilah yang mengantarnya ke puncak karir. Karenanya Sumantri tidak ingin orang lain melihat masa lalunya, dia juga tidak mau mengakui kondisi objektif asal muasalnya. Baginya, masa lalu dan Sukasrana adalah aib untuk masa depan dan citra pribadinya.
Ketika sampai pada bagian ini maka penceritaan akan sampai pada tahapan soal Sumantri adalah cermin dari perilaku manusia yang melenceng dari tujuan dan cita-cita dari masa lalunya setelah gagal melewati godaan kecerdasan, kekuasaan, akses, dan kekayaan. Sumantri gagal memahami sangkan paraning dumadi. Sumantri gagal menjalani hidup; aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh.
Di masa berikutnya, sebagai amanat dari penceritaan tentang teks Sumantri, adalah penyesalannya yang tak berujung atas tindakannya sendiri menghapus jejak masa lalu karena dikuasai kemunafikan. Sumantri menjadi pribadi rapuh karena telah terpedaya menggapai langit, namun lupa menancapkan akarnya kuat-kuat ke bumi. Jejak dapat dihapuskan, namun belang bagaimana hendak dihilangkan.
Akhirnya, selamat bekerja kembali. Selamat kembali ke tempat mencari penghidupan dengan sebaik-baiknya, menggapai cita-cita dengan penuh semangat dan kegembiraan. Namun jangan lupa jati diri masing-masing. Jangan lupa pada orang-orang yang telah menanam berlaksa dan berjuta kebaikan kepada kita. Dari kesadaran kita pada asal muasal kita, kita akan sampai pada kesadaran pada sangkan paraning dumadi.
Mari kembali memayu hayuning bawana. Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh...
Solo, 8 Mei 2022
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
(mbr/ams)