Pakar lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prabang Setyono menyebut kelangkaan minyak goreng saat ini merupakan dampak dari penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel. Dia menyarankan agar biodiesel menggunakan bahan baku selain kelapa sawit.
Prabang menyebut saat ini produksi kelapa sawit di Indonesia termasuk salah satu yang terbesar di dunia. Namun dengan adanya pengembangan kelapa sawit untuk biodiesel, maka produksi minyak goreng menjadi terganggu.
"Sebenarnya niatannya baik, agar energi fosil dikurangi, dan G20 arahnya juga ke sana, tapi resource-nya pakai kelapa sawit. Ketika ini jalan masif, ternyata dampaknya ke minyak goreng juga," kata Prabang saat dijumpai di UNS, Senin (7/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, sumber energi baru lebih baik menggunakan tanaman yang tidak bisa dimakan. Sebetulnya pemerintah telah memiliki pilihan bagus, yakni pohon jarak, namun masih ada masalah di lapangan.
"Contoh dulu sebenarnya sudah ada, pohon jarak, tapi di lapangan hitungannya nggak ketemu. Karena orang dikondisikan kalau menanam itu jelas periodenya, setahun menanam padi tiga kali, diganti jarak, panen enam bulan. Lha nanti makan apa selama menunggu panen, belum ada solusi. Kalau disubsidi juga terlalu besar," ujar dia.
Sementara itu, Prabang juga tidak menyarankan adanya perluasan lahan kelapa sawit. Sebab sejak beberapa tahun lalu pemerintah sudah mengeluarkan moratorium untuk pembukaan lahan kelapa sawit.
"Pemerintah sudah lama moratorium untuk reboisasi. Reboisasi ini tidak mingguan bulanan, tapi puluhan tahun. Reboisasi belum beres membuka lagi, maka tidak ada titik temu konservasi kestabilan ekosistem. Ini belum bicara soal pencemarannya," kata dia.
Dengan kondisi ini, dia memperkirakan masalah bisa terus berkepanjangan jika tidak menemukan sumber energi baru selain kelapa sawit. Namun untuk sementara, dia menyarankan agar pemerintah menerapkan proporsi yang tepat antara minyak goreng dengan biodiesel.
"Ketika tidak ada proporsi yang tepat, maka akan seperti itu terus. Mungkin bisa digeser sendikit persentasenya, ekspor dikurangi," pungkasnya.
(apl/ahr)