Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) hingga saat ini masih jadi perdebatan. Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) DIY Prof Edy Suandi Hamid menegaskan jika pemindahan IKN sudah menjadi pembahasan sejak puluhan tahun yang lalu, dan dia sepakat jika IKN harus pindah dari Jakarta.
Namun, ia tidak sepakat jika pemindahan ibu kota itu dilakukan saat ini. Selain itu, dia juga meminta pemerintah untuk mengkaji ulang lokasi IKN.
"Pindah atau nggak? Kalau saya jawabnya pindah. Kapannya yang berbeda tidak sekarang. Situasi sangat dipaksakan, keamanannya juga perlu pengkajian lebih dalam, jangan tergesa-gesa," kata Edy saat diskusi publik 'Pindah IKN di Mata Cendekiawan Jogja' secara daring, Selasa (1/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sudah 40 tahun yang lalu, saya berposisi bahwa kita perlu berpindah ibu kota dari Jakarta ke luar Jawa, mengapa? Jakarta sudah terlalu padat, over populated," imbuhnya.
Pertimbangan lain untuk memindah IKN, lanjut Edy, adalah beban berat Jakarta sebagai pusat birokrasi, pusat perekonomian, perdagangan, finansial, pusat lalu lintas global dan lain-lain. Sehingga perlu dipisah antara pusat birokrasi dan ekonomi.
"Saya melihat, belakangan saya mengunjungi beberapa negara pusat birokrasinya berbeda dengan pusat perekonomiannya dan bagus. Belanda misalnya, Amsterdam dengan Den Hag, banyak negara seperti itu. Pemikiran saya waktu itu dan sekarang mengurai konsentrasi ekonomi di DKI," ujarnya.
Pemisahan itu, kata Edy, disebut bisa mengurangi beban ekonomi Jakarta. Sebab, peredaran investasi keuangan saat ini terpusat di Jakarta dan sekitarnya. Sementara, birokrasi juga masih dilakukan di Jakarta.
"Dalam konteks investasi peredaran uang itu utamanya di DKI dan sekitarnya. Jadi perlu ada penyebaran ke daerah lain, kita harus menciptakan growth center baru," jelasnya.
"Kita memang perlu memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Jawa. Kalau Jawa kita hanya memindah masalah saja, karena di Jawa kepadatannya sangat tinggi, termasuk di DIY," sambungnya.
Akan tetapi, Edy menegaskan pemindahan IKN harus melewati kajian-kajian mendalam, multi aspek, untuk memilih lokasi baru. Walaupun kebijakan ini merupakan kebijakan politik tapi harus dilihat dari berbagai aspek.
"Keputusan politik yang ceroboh, hanya berpikir soal legacy dan sebagainya maka ini bisa mengorbankan bangsa ini," tegasnya.
Dia menuturkan perlu ada diskusi publik tentang lokasi IKN. Menurutnya, lokasi IKN itu bukan hanya ruang hampa walaupun pemerintah setempat setuju tapi belum tentu nyatanya seperti itu.
Sebab, dari pengalamannya di Kalimantan banyak transmigran yang kemudian lambat laun memunculkan masalah terkait klaim lahan. Terlebih ketika lahan tersebut menghasilkan.
"Kita mungkin tidak mendengar dari silent majority yang ada di sana," ujarnya.
"Kita tidak tahu, kalau ini kita lakukan tergesa-gesa 100 tahun ke depan akan muncul klaim (lahan). Artinya apa, jangan tergesa-gesa," imbuhnya.
Baca juga: Hiu Tutul Muncul di Perairan Jepara! |
Edy menambahkan biaya untuk pemindahan IKN terbilang cukup besar. Mencapai Rp 466 triliun.
"Angka ini beban yang berat untuk APBN dan kita sedang dalam kondisi tidak begitu sehat," ucapnya.
"Tetapi keputusan politik sudah diambil tapi saya kira tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita ubah," pungkasnya.
(ams/ahr)