Beberapa elite partai politik menggulirkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan Presiden. Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) Yuniar Riza Hakiki mengkritik usulan itu.
Yuniar mengatakan, ide perpanjangan masa jabatan presiden merupakan hal yang ahistoris. Menilik fakta sejarah, bahwa hasil kesepakatan reformasi pada 1998 menghendaki adanya penyempurnaan ketatanegaraan yang diikuti dengan demokratisasi.
"Tidak boleh ada lagi pasal multitafsir, dan presiden harus dibatasi kekuasaannya. Salah satunya adalah dengan membatasi masa jabatan presiden," kata Yuniar dalam keterangannya, Minggu (27/2/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menilai, ide perpanjangan masa jabatan presiden merupakan hal yang inkonstitusional. Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengatur mengenai periodisasi masa jabatan Presiden/Wakil Presiden. Yaitu 'Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan'.
"Dengan aturan ini, tidak akan ada lagi presiden yang memegang kekuasaan sangat lama karena maksimal hanya 2 periode atau 10 tahun," jelasnya.
Selain itu, ide perpanjangan masa jabatan presiden mengingkari semangat pembatasan kekuasaan atau prinsip konstitusionalisme. Tanpa ada pembatasan masa jabatan presiden, hal ini berpotensi akan memunculkan penyalahgunaan kekuasaan.
"Konstitusionalisme menghendaki bahwa kekuasaan itu harus diatur dan dibatasi. Diaturnya periodisasi masa jabatan ini untuk menjamin sirkulasi pergantian pemimpin dan melanjutkan agenda demokratisasi yang sudah lama dirintis," jelasnya.
"Apabila wacana penambahan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode akan direalisasikan, maka ke depan, UUD NRI 1945 tidak akan digunakan lagi untuk mengatur-membatasi kekuasaan tetapi justru untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan demikian praktik-praktik abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) akan terjadi tanpa tahu kapan akan berakhir," sambungnya.
Yuniar melanjutkan, berdasarkan catatan tersebut PSHK UII merekomendasikan, pertama, siapapun penyelenggara negara harus patuh dan taat pada amanat konstitusi.
"Yakni Pasal 7 UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa masa jabatan Presiden maksimal hanya 2 periode atau selama sepuluh tahun," ujarnya.
Kedua, ia meminta Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat menolak ide penundaan pemilihan umum 2024. "Sehingga agenda pemilihan umum tahun 2024 tetap diselenggarakan sesuai perintah Undang-Undang tentang Pemilihan Umum," paparnya.
Ketiga, lanjut Yuniar, Ketua Umum Partai Politik lebih baik melakukan kaderisasi daripada memberikan usulan-usulan yang ahistoris, inkonstitusional, mengingkari semangat pembatasan kekuasaan serta berpotensi melakukan praktik abuse of power.
"Seharusnya Ketua Umum Partai Politik lebih fokus melakukan kaderisasi sehingga dapat menghasilkan calon-calon yang berkualitas untuk diusung menjadi Presiden pada tahun 2024," pungkasnya.
(ahr/dil)