Saya melangkah masuk ke Galeri Bumi Parawira, Gedung Perpustakaan Kota Bogor, ruang yang seketika terasa seperti lorong waktu. Di sini, sejarah Bogor ditata ulang, bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi sebagai pengalaman visual dan emosional.
"Kenapa dimulai dari Pajajaran? Karena hari jadi Kota Bogor ditetapkan pada 1482, saat pusat kerajaan Sunda dipindah ke Pakuan," jelas Kang Agus Ramdani, arsitek sekaligus tim riset galeri, kepada detikjabar, Jumat (3/10/2025).
Dari titik itulah kurun waktu ditarik, lalu dibagi menjadi tujuh zona, yaitu Kerajaan Pajajaran, Masa Kolonial, Breaking Space sebagai ruang jeda, Kemerdekaan dan Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga Bogor Masa Depan.
Nama Bumi Parawira sendiri berarti rumah para pemimpin. Menurut Agus, di ruang inilah pengunjung diajak menyaksikan bagaimana keputusan-keputusan besar, kadang penuh kontroversi, lahir dari tangan para pemimpin dan mengubah jalannya sejarah.
Bogor, jelas Agus, tidak sekadar latar, melainkan aktor penting sejak masa kerajaan hingga kini.
Yang membuat saya semakin terkesan, galeri ini berdiri tanpa dana APBD Kota Bogor. Semua lahir dari mimpi dan gotong royong. Komunitas pegiat sejarah, pemerintah, hingga pihak swasta terlibat.
Kontribusi datang dari korporasi, individu warga Bogor, bahkan patungan kecil dari jejaring perangkat dinas. "Sejak awal memang tidak menggunakan APBD, melainkan dukungan pihak ketiga. Total biaya sekitar Rp3 miliar," ujar Agus.
Dana itu menutup riset, dekorasi, karya seni, serta honor seniman. Hingga kini, perawatan pun tetap ditopang oleh mitra swasta dan jejaring komunitas. Kerja keras tersebut merangkul setiap elemen tanpa kelas, hingga pelukis jalanan dilibatkan dengan bayaran pantas.
Bagi saya, pola urunan ini lebih dari sekadar pembiayaan. Ia menandai keterlibatan warga dalam menjaga sejarah. Galeri ini hidup karena ada yang merawatnya, bukan hanya karena kebijakan pemerintah.
Simak Video "Video: Unyu! Ada Gracia dan Fiony JKT48 Versi Miniatur"
(mso/mso)