Kabupaten Sumedang merupakan daerah di Provinsi Jawa Barat yang kaya akan budayanya. Selain budaya, Sumedang juga dikenal memiliki sejarah panjang dalam berdirinya suatu wilayah dalam peradaban Kerajaan Sunda.
Secara administratif kewilayahan, Kabupaten Sumedang hingga saat ini memiliki 26 kecamatan yang tersebar di Sumedang. Untuk di bagian barat, Sumedang memiliki daerah tetangga yakni, Kabupaten Bandung. Bagian timur, Sumedang bertetangga dengan Kabupaten Majalengka. Untuk utara, Sumedang memiliki dua tetangga yakni Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu. Sedangkan bagian selatan, Sumedang bertetangga dengan Kabupaten Garut.
Berbicara tentang Sumedang, sudah pasti budaya yang kental dan seakan menjadi suatu identitas dari Kabupaten Sumedang itu sendiri. Namun, hingga sekarang masih banyak yang tidak mengetahui akan sejarah panjang dari Sumedang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas bagaimana sejarah atau peradaban dahulu sehingga melahirkan daerah yang kini bernama Kabupaten Sumedang?
Maka dari itu, detikJabar pada kesempatan kali ini akan mengulas perihal sejarah berdirinya Kabupaten Sumedang dengan narasumber Radya Anom Luky Djohari Soemawilaga, selaku pewaris dari Kerajaan Sumedang Larang.
Radya Anom Luky mengatakan, sebelum menjadi daerah Sumedang, pada tahun 721 Masehi berdiri sebuah kerajaan bernama Sumedang Larang. Kerjaan Sumedang Larang tersebut didirikan oleh Batara Tungtang Buana atau yang dikenal Prabu Tajimalela.
"Sumedang itu sendiri berasal dari sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Sumedang Larang, dan Kerajaan Sumedang Larang ini didirikan oleh Batara Tungtang Buana atau yang dikenal Prabu Tajimalela yang mendirikan Sumedang Larang tahun 721 Masehi. Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Tajimalela dengan kerajaan fasal, atau kerajaan bagian dari kerajaan induk," ujar Luky kepada detikJabar belum lama ini.
Di tahun itu, kata Luky, Kerajaan Sumedang Larang masih memiliki kerajaan induk yakni dari Kerajaan Galuh. "Kerajaan induk dari masa itu berada di Kerajaan Galuh, jadi Kerajaan Sumedang Larang itu merupakan kerajaan fasal dari Kerajaan Galuh dan kerajaan kresian yang artinya pusat ilmu pengetahuan dan diberikan nama Sumedang Larang," katanya.
Luky menjelaskan, Sumedang sendiri dikenal dengan istilah dari Insun Medal dan Insun Madangan. Istilah tersebut, disampaikan Luky, tentu memiliki arti yang kuat dan penuh makna.
"Sumedang Larang itu dari Insun Medal dan Insun Madangan yang saya lahir dan saya berikan penerangan, sedangkan Larang artinya sesuatu yang tidak ada bandingannya atau sesuatu yang mahal, tapi mahal ini bukan diartikan menjadi sebuah materi tapi lebih kepada value, nilai yang luar biasa yang tidak bisa diukur oleh sebuah materi," kata dia.
"Jadi Sumedang Larang disematkan kepada nama daerah atau sebuah wilayah kerajaan bisa dikatakan Sumedang Larang itu adalah daerah yang memiliki karomah yang dengan ilmu ke Sumedang-an dan ke Sunda-annya, ilmu yang didasari dari nilai kasih sayang," ujarnya.
Penyematan dalam istilah Insun Medal dan Insun Madangan, kata Luky, hingga saat ini masih terasa di Kabupaten Sumedang. Sebab, dalam nama tersebut merupakan salah satu warisan dari leluhur Sumedang yang menginginkan daerahnya selalu aman dan masyarakat yang tentram.
"Sekarang sangat terasa kenapa Kabupaten Sumedang daerahnya relatif kondusif, aman, tentram, itu karena doa leluhur. Kan dari dulu memberikan nama itu tidak asal tapi leluhur itu sudah memberikan nama dan sampai sekarang mempengaruhi, ini memang daerah yang diberkati," ujar Luky.
Secara rinci, Luky pula menjelaskan rentetan estafet dari yang menduduki kursi Kerajaan Sumedang Larang. Raja pertama diduduki oleh Prabu Tajimalela hingga diteruskan kepada penerus-penerusnya.
"Dari Prabu Tajimalela diteruskan ke putranya yaitu Prabu Gajah Agung dan menjadi Raja Sumedang Larang kedua. Dari Prabu Gajah Agung diteruskan lagi ke Prabu Pagulingan, diteruskan lagi ke Sunan Guling, terus ke Sunan Tuakan, dari Sunan Tuakan diteruskan lagi ke Ratu Raja Mantri, tapi Ratu Raja Mantri merupakan putri dari Sunan Tuakan, tapi Ratu Raja Mantri tidak lama hanya sebentar karena Ratu Raja Mantri ditikah oleh Prabu Siliwangi atau Sri Baguda Maharaja. Nah Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada adiknya yaitu Nyimas Patuakan dan menjadi Ratu Nyi Mas Patuakan, perempuan. Soalnya Sunan Tuakan tidak memiliki anak laki-laki," jelasnya.
"Makannya Sumedang itu dari dulu sudah dikenal dengan emansipasi wanita, karena status kerajaannya monarki absolut, seperti Belanda dan Inggris. Jadi kalau sang raja tidak memiliki anak laki-laki jadi anak perempuan yang meneruskan," sambungnya.
Setelah Nyi Mas Patuakan berkuasa di Kerajaan Sumedang Larang, kursi Raja pun kembali berganti. Penggantinya sendiri adalah Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun yang merupakan anak dari Nyi Mas Patuakan. Di bawah kepemimpinan dari Ratu Pucuk Umun ini terdapat satu fakta sejarah yakni momen penyebaran agama Islam di Sumedang Larang.
"Setelah dari Nyimas Patuakan diteruskan ke anaknya Ratu Pucuk Umun, dan Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri. Jaman Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umum menjadi momen penyebaran agama Islam di Sumedang Larang," kata Luky.
Tak sampai di situ, estafet kepemimpinan terus berlanjut di Kerajaan Sumedang Larang saat itu. Pangeran Angkawijaya atau yang biasa dikenal dengan Prabu Geusan Ulun menjadi Raja selanjutnya. Pangeran Angkawijaya merupakan putra mahkota dari Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri.
![]() |
Menerima Mahkota Kerajaan Sunda Binokasih dari Kerajaan Pajajaran
Momen sejarah penting dalam perjalanan Sumedang pun banyak lahir saat Pangeran Angkawijaya berkuasa di Kerajaan Sumedang Larang. Salah satu fakta sejarah tersebut yaitu Kerajaan Sumedang Larang yang menerima sebuah Mahkota Kerajaan Sunda Binokasih Sanghyang Pakai dari Kerajaan Pajajaran pada bulan Ramadan 22 April 1578.
Luky mengungkap, Kerajaan Pajajaran saat itu memberikan Mahkota Kerajaan Sunda Binokasih Sanghyang Pakai tentu bukan tanpa alasan. Sebab, Kerajaan Sumedang Larang saat itu masih menjadi kerajaan bagian dari Kerajaan Galuh yang masih berkaitan erat dengan Kerajaan Sunda. Mahkota Kerajaan Sunda Binokasih memiliki simbol yang mengartikan bahwa Kerajaan Sumedang Larang menjadi penerus dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang saat itu tengah mengalami desakan atau serangan dari dari kerajaan lain.
"Ketika mahkota ini diserahkan ke Sumedang, Sumedang itu harus menerima konsekuensi. Pertama statusnya berubah dari kerajaan fasal yang artinya kerajaan bagian, menjadi kerajaan induk. Soalnya kan mahkota ini simbol legitimasi. Nah dulu Sumedang menjadi kerajaan fasal jadi Kerajaan induk, waktu pertama Sumedang Larang itu hadir kerajaan induknya di Galuh, dan seiring berjalannya proses waktu kerajaan induk ini pindah ke kerajaan Sunda, dan ibukota kerajaan Sunda dipindahkan oleh Sri Baguda Maharaja dari Kawali Ciamis ke Pakuan Pajajaran Bogor, masyarakat lebih mengenal istilahnya Kerajaan Pajajaran, jadi Kerajaan Pajajaran itu secara formal adalah Kerajaan Sunda, Sumedang menjadi kerajaan fasal dari kerjaan Sunda Pajajaran," jelasnya.
Usai menerima Mahkota Binokasih dari Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang pun langsung berubah status menjadi kerajaan induk dan tentunya menambah luasan wilayah dari Priangan hingga Pajajaran.
"Tapi setelah mahkota diserahkan ke Sumedang jadi berubah menjadi kerajaan induk itu luas wilayahnya bertambah sebagian Pajajaran dan se Priangan tapi kecuali Kesultanan Cirebon dan Banten. Sebelah barat itu batasnya Sungai Cisadane, administratif sekarang menjadi Provinsi Banten dan Tanggerang Raya, batas di wilayah timurnya itu Sungai Cipamali untuk administratif sekarang masuknya Brebes, Jawa Tengah, utaranya itu batas wilayahnya Laut Jawa dan selatan itu Laut Samudera Hindia," tutur Luky.
"Kalau bicara Sumedang Larang itu bukan hanya Kabupaten Sumedang saja akan tetapi luas di tatar Priangan kecuali Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Jadi itu sejarah singkat dari Sumedang Larang," ucapnya.
Sejarah-sejarah maupun momen yang disampaikan Luky tentu bukan tanpa alasan atau hanya omongan semata. Sebab, disampaikan Luky, momen bersejarah tersebut telah tercantum dalam naskah Waruga Jagat, naskah kuno yang menceritakan adanya rentetan peristiwa sejarah dari penyerahan Mahkota Binokasih dari Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulun.
"Fakta sejarahnya dari sumber primer nya kalau di Sumedang ada naskah Waruga Jagat, kalau di Cirebon kan naskah Wangsa Kerta, dimana dalam naskah-naskah ini mencerminkan dan menceritakan sebuah peristiwa pamasrahan atribut Kerajaan Sunda dari Pajajaran ke Sumedang Larang," ungkap Luky.
"Ini semua lengkap dari naskah Waruga Jagat dari tanggal, bulan, dan tahunnya disebutkan. Nah di momen itu pada 22 April dijadikan hari keramat yaitu Hari Jadi Sumedang, kemarin kan memperingati yang ke 447. Hari Jadi Sumedang diambil dari peristiwa bersejarah pemasrahan mahkota dari Pajajaran ke Sumedang Larang," katanya.
![]() |
Keistimewaan Sumedang
Selain rentetan sejarah yang panjang dan memiliki arti yang penuh makna, rupanya Sumedang pula memiliki keistimewaan lainnya jika dibandingkan dengan daerah lain.
Luky mengungkap, tak hanya memiliki Mahkota Binokasih yang merupakan simbol legitimasi, Sumedang pun juga dianugerahi oleh sang pencipta dengan keindahan alamnya yang indah.
Bahkan, kata Luky, salah satu orang Belanda telah menuangkan keindahan alam dari Sumedang melalui tulisan buku. Buku tersebut berjudul 'Sumedang Het Paradijs van Java' yang memiliki arti bahwa Sumedang adalah surganya dari Jawa.
"Maka pernah orang Belanda membuat sebuah buku khusus yang diberi judul 'Sumedang Het Paradijs van Java' yang artinya Sumedang itu surganya Jawa, dan ini kan fakta sejarah. Buku itu ditulis oleh Wijnand Kerkhoff dan pertama dicetak itu tahun 1939," kata Luky.
"Di buku itu diakui bahwa Sumedang itu luar biasa keindahan alamnya bahkan orang Belanda pun membuat tulisan Sumedang Het Paradijs van Java ya tadi itu artinya Sumedang itu surganya Jawa, itu menjadi keistimewaan dari Sumedang," katanya.
Luky menilai, buku yang ditulis oleh Wijnand Kerkhoff yang menggambarkan Sumedang di masa lampau begitu nyata karena hingga saat ini kondisi dari Sumedang yang memiliki keindahan alamnya.
"Kenyataannya kan demikian Sumedang itu indah terdiri dari bukit-bukit dan dari saluran airnya juga baik, suhu udaranya adem dingin," ucapnya.
Keistimewaan lain dari Sumedang, Luky mengatakan adanya nama dari Sumedang Larang yang mempunyai makna dan mengandung nilai-nilai spiritual seperti halnya sejarah hingga budaya yang begitu melekat pada Sumedang.
"Keistimewaan lain dari sisi spiritual yang tadi saya sampaikan nama Sumedang Larang itu memiliki makna dan mengandung nilai-nilai spiritual, seperti Mahkota Binokasih yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang kental," ungkapnya.
"Jadi untuk itu budaya mutlak harus memiliki sentrum, dan sentrum budaya adalah ya keraton. Jadi hadirnya Keraton Sumedang Larang ini untuk sebuah rekonstruksi dan bukan buat kepentingan pribadi tapi dalam rangka untuk memperkuat eksistensi dari budaya Sunda," sambungnya.
![]() |
Sumedang Ditetapkan Menjadi Puser Budaya Sunda
Luky mengungkap, dengan memiliki budaya yang kental dan sejarah yang kuat, Kabupaten Sumedang telah dinobatkan menjadi Sumedang Puser Budaya Sunda (SPBS).
"Sumedang ini pas ditetapkan menjadi pusat budaya Sunda atau Sumedang Puser Budaya Sunda yang disingkat SPBS itu dasarnya dilihat dari dasar-dasar pendekatan nilai sejarah kita memiliki mahkota kemaharajaan," kata Luky.
"Banyak yang tidak paham juga soalnya kenapa Sumedang disebut sebagai Puser Budaya Sunda. Adanya SPBS di Sumedang itu berdasarkan nilai sejarah karena kita memiliki mahkota," sambungnya.
SPBS, kata Luky, telah diangkat langsung pada tahun 2009 oleh Provinsi Jawa Barat atau lebih tepatnya oleh Wakil Gubernur Jawa Barat saat itu Dede Yusuf.
"Sebetulnya SPBS itu dari Provinsi yang mengangkat oleh Wakil Gubernurnya Dede Yusuf, orang Sunda, orang Ciamis, orang Sumedang, jadi hingga akhirnya ini menjadi kekuatan kebijakan dan inovatif daerah Sumedang ditetapkan menjadi Puser Budaya Sunda dan dideklarasikan oleh Provinsi Jawa Barat tahun 2009. Jadi itulah sejarah SPBS yang lahir dari nilai sejarah," pungkasnya.
(sud/sud)