Galeri Bumi Parawira dan Membaca Bogor di Ruang 800 Meter

Galeri Bumi Parawira dan Membaca Bogor di Ruang 800 Meter

Andry Haryanto - detikJabar
Sabtu, 04 Okt 2025 11:00 WIB
Galeri Bumi Parawira
Galeri Bumi Parawira (Foto: Andry Haryanto/detikJabar).
Bogor -

Saya melangkah masuk ke Galeri Bumi Parawira, Gedung Perpustakaan Kota Bogor, ruang yang seketika terasa seperti lorong waktu. Di sini, sejarah Bogor ditata ulang, bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi sebagai pengalaman visual dan emosional.

"Kenapa dimulai dari Pajajaran? Karena hari jadi Kota Bogor ditetapkan pada 1482, saat pusat kerajaan Sunda dipindah ke Pakuan," jelas Kang Agus Ramdani, arsitek sekaligus tim riset galeri, kepada detikjabar, Jumat (3/10/2025).

Dari titik itulah kurun waktu ditarik, lalu dibagi menjadi tujuh zona, yaitu Kerajaan Pajajaran, Masa Kolonial, Breaking Space sebagai ruang jeda, Kemerdekaan dan Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga Bogor Masa Depan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nama Bumi Parawira sendiri berarti rumah para pemimpin. Menurut Agus, di ruang inilah pengunjung diajak menyaksikan bagaimana keputusan-keputusan besar, kadang penuh kontroversi, lahir dari tangan para pemimpin dan mengubah jalannya sejarah.

Galeri Bumi ParawiraGaleri Bumi Parawira (Foto: Andry Haryanto/detikJabar).

Bogor, jelas Agus, tidak sekadar latar, melainkan aktor penting sejak masa kerajaan hingga kini.

ADVERTISEMENT

Yang membuat saya semakin terkesan, galeri ini berdiri tanpa dana APBD Kota Bogor. Semua lahir dari mimpi dan gotong royong. Komunitas pegiat sejarah, pemerintah, hingga pihak swasta terlibat.

Kontribusi datang dari korporasi, individu warga Bogor, bahkan patungan kecil dari jejaring perangkat dinas. "Sejak awal memang tidak menggunakan APBD, melainkan dukungan pihak ketiga. Total biaya sekitar Rp3 miliar," ujar Agus.

Dana itu menutup riset, dekorasi, karya seni, serta honor seniman. Hingga kini, perawatan pun tetap ditopang oleh mitra swasta dan jejaring komunitas. Kerja keras tersebut merangkul setiap elemen tanpa kelas, hingga pelukis jalanan dilibatkan dengan bayaran pantas.

Bagi saya, pola urunan ini lebih dari sekadar pembiayaan. Ia menandai keterlibatan warga dalam menjaga sejarah. Galeri ini hidup karena ada yang merawatnya, bukan hanya karena kebijakan pemerintah.

Menyusuri Ruang, Menyulam Ingatan

Setelah menyerap kisah dari Agus, saya berjalan menyusuri koridor galeri. Setiap zona terasa seperti fragmen sejarah yang tersambung satu sama lain. Namun, pengalaman ini tak hanya berhenti pada ruang pamer.

Seorang pemandu, Ina, menjelaskan setiap sudut galeri yang dimulai dari era Kerajaan Pajajaran hingga Orde Reformasi di mana Bogor bertumbuh dan mengguratkan kuas sejarah dan peradaban.

Dimulai dari 'Lorong Waktu' yang mengantar kita memasuki galeri. Saya disambut fragmen Kerajaan Pajajaran. Lukisan besar menggambarkan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi yang menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh tengah dinobatkan sebagai pemimpin kerajaan.

"Visual ini dilukis empat orang dan setiap detil berdasarkan riset teman-teman pegiat sejarah," kata Ina.

Akhir ruang ini ditandai dengan era akhir kerajaan Pajajaran ketika dipimpin Prabu Surawisesa.

Masuk lebih dalam, saya diperlihatkan era-era selanjutnya; kolonial, kemerdekaan, orde baru, reformasi, dan Bogor masa kini dan nanti.

Tidak terlalu dalam untuk merogoh kocek untuk membaca fragmen Bogor dan masa ke masa

"Untuk tiket ada dua pilihan," terang Ina. "Kalau mandiri Rp15 ribu per orang, kalau tur berpemandu Rp25 ribu. Tur ini hanya ada pukul 11.00-12.00 dan 14.00-15.00. Galeri buka dari 08.00 sampai 15.00."

Tiket bisa dipesan lewat situs bumiparawira.id, dibayar online atau di lokasi. Pengunjung juga bebas membeli langsung di tempat.

Setiap hari kerja, terutama Selasa hingga Jumat, rombongan sekolah biasanya datang sejak pagi hingga Zuhur. Akhir pekan, giliran keluarga dari Bogor, luar kota, bahkan luar provinsi, memenuhi ruang-ruang galeri.

Saya ikut berbaur di antara mereka. Ada anak-anak yang berlarian kecil di koridor, orang tua yang sabar menjelaskan pameran pada putranya, hingga pelajar yang serius mencatat isi dinding. Rasanya seperti menyulam ulang memori bersama.

Di akhir kunjungan, saya menyadari satu hal, bahwa sejarah Bogor bukan hanya benda mati di buku pelajaran. Di ruang seluas 800 meter ini, ia menjadi pengalaman kolektif yang dirawat bukan oleh anggaran negara, melainkan oleh warga yang memilih menjaganya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Unyu! Ada Gracia dan Fiony JKT48 Versi Miniatur"
[Gambas:Video 20detik]
(mso/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads