Wilayah utara Kabupaten Bandung Barat (KBB), sejak dulu terkenal akan destinasi wisata yang memanjakan pelancong. Salah satu yang paling sohor ialah Kampung Gajah.
Objek wisata melegenda itu berdiri di Jalan Sersan Bajuri, Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Bandung Barat. Namun sayang, nama besarnya tinggal kenangan yang terekam di benak para penikmatnya.
Sejak 2009 silam, Kampung Gajah jadi fenomena di kalangan wisatawan. Mereka yang liburan ke Bandung, tujuan utamanya tentu mendatangi destinasi yang ada di jalan alternatif menuju Cisarua dan Lembang, Bandung Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kejayaan yang dirasakan cuma seumur jagung. Hanya dalam kurun waktu 9 tahun berselang, tepatnya di Mei 2018, Kampung Gajah mengakhiri kiprahnya usai dinyatakan pailit.
"Awalnya itu dibangun 2009, dari lahan yang sebelumnya itu mau dibangun kompleks perumahan Century Hill. Pembangunannya gagal, kemudian kepemilikannya pindah," kata Asep Sundawa, penanggungjawab pengelola lahan wisata Kampung Gajah, kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
Saat pertama berdiri dan dioperasikan, wisatawan tak pernah sepi. Selalu membludak terutama di libur akhir pekan dan momen libur panjang, baik hari keagamaan maupun libur sekolah.
"Jadi dulu itu pengunjungnya bukan cuma dari Jawa Barat saja, bahkan se-Indonesia sampai luar negeri juga pada liburannya ke sini (Kampung Gajah)," ujarnya.
Tahun demi tahun kokoh di puncak rantai wisata, bau-bau kemerosotan Kampung Gajah terasa menyengat. Sempat terseok-seok, objek wisata Kampung Gajah tak mampu bertahan lagi sampai akhirnya runtuh diterpa keadaan.
"Keadaan Kampung Gajah saat ini dapat dibilang tidak produktif lagi sebagai tempat wisata, karena sudah dinyatakan pailit," katanya.
Sejumlah faktor diduga kuat menjadi penyebab Kampung Gajah tak bisa terus membawa kebahagiaan bagi para wisatawan. Terutamanya karena pemiliknya sudah tutup usia.
"Nah mungkin karena pengelolaan manajemen kurang baik atau gimana, di Mei 2018 itu bangkrut. Karena pemasukannya sudah nggak sebanding dengan pengeluaran," tuturnya.
"Apalagi pas Pak Ferry meninggal 2016, setelah itu diteruskan tapi tidak membaik. Akhirnya ya diputuskan pailit dan tutup Mei 2018," imbuhnya.
Kini Tak Terurus Lagi
Transformasi Kampung Gajah bukan ke arah positif. Kini objek wisata itu berubah jadi tempat yang tak terurus, lebih mirip kota mati seperti di film-film. Trademark bangunan yang masih berdiri kokoh, yakni bangunan food and convention hall.
Tembok bangunan empat lantai juga sudah banyak yang terkelupas dipenuhi coretan grafitty di mana-mana. Tak bermakna dan bikin pusing kalau dibaca. Warnanya merah, hitam, ada yang putih pula.
Di area Kampung Gajah, tak ada sisa wahana yang teronggok. Bekas wahana waterboom sudah dibongkar dan kabarnya dibawa ke Lembang. Bekas track ATV sudah ditumbuhi rumput tinggi.
"Keadaan Kampung Gajah saat ini dapat dibilang tidak produktif sebagai tempat wisata, karena pailit. Tapi masih banyak yang datang terutama untuk bikin konten horor. Kalau kita tidak membatasi," tutur Asep.
Dulu, siapapun yang lewat di jalan depan objek wisata itu, pasti bakal melihat patung-patung gajah sebagai identitas. Patungnya kini hilang, sedang tempat patung-patung gajah itu berdiri kini beralih fungsi menjadi tempat menjual tanaman yang dijalankan oleh warga setempat.
Namun ketika melewati gapura yang menjulang tinggi dengan lengkungan di bagian atas serta tulisan 'Kampung Gajah' yang tak lagi lengkap dan samar, ada satu patung gajah yang tersisa. Menyambut orang-orang yang lalu lalang, kebanyakan warga sekitar karena jadi rute alternatif ke perkampungan.
"Banyak yang datang, biasanya sekadar ingin foto-foto, bikin konten. Terus kalau hari Minggu sekarang jadi pasar tumpah," tuturnya.
(mso/mso)