Nama setiap dusun atau desa biasanya memiliki asal-usulnya sendiri. Seperti Dusun Tenjolaut, Desa Padaasih, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang.
Nama Tenjolaut secara bahasa berasal dari penggabungan dua kata dari bahasa Sunda yakni tenjo dan laut. Tenjo sendiri artinya melihat. Tenjolaut berarti melihat laut.
Kepala Dusun Tenjolaut Deni Hidayat memaparkan, ada dua versi terkait kenapa dusunnya dinamakan Tenjolaut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama karena warga dusunnya dapat melihat ke arah lautan sebelah timur atau ke laut di Cirebon, kemudian kedua ada juga yang menyebutkan bahwa kawasan dusun Tenjolaut dulunya merupakan lautan," ungkap Deni kepada detikJabar, Kamis (16/11/2023).
Dusun Tenjolaut sendiri berada di dataran tinggi. Di sana terdapat beberapa spot yang dapat melihat langsung secara lanskap panorama alam Cirebon dan Indramayu dari atas ketinggian.
Salah satunya, sambung Deni, spot yang lokasinya berada di Blok Jukut atau area yang mana di sana terdapat gunungan pasir cukup unik atau dinamai sebagai Pasir Putih.
"Di Blok Jukut ini sudah dari dulu jadi tempat bermainnya anak-anak dari Dusun Tenjolaut," ujarnya.
Dusun Tenjolaut terdiri dari satu RW dengan empat RT. Jumlah kepala keluarganya (KK) ada sekitar 200-300 KK. Adapun mata pencahariannya rata-rata sebagai petani.
Dusun Tenjolaut juga konon menyimpan catatan sejarah dari Kerajaan Sumedang Larang. Di sana ada peninggalan yang konon merupakan petilasan Rangga Gempol II atau Raden Bagus Weruh.
"Dusun Tenjolaut ini dulunya pernah menjadi salah satu tempat aktivitas pemerintahan pada masa Rangga Gempol Dua," terang Deni.
Deni pun menunjukan ke suatu titik yang mana di sana terdapat sebuah bongkahan batu yang dipercaya sebagai titik dari petilasan Rangga Gempol II. Bongkahan batu itu berada di sebuah area pemakaman umum. Batu tersebut dikelililing oleh pagar besi.
"Ini adalah petilasan Rangga Gempol Dua, kekurangan petilasan ini adalah tidak adanya kuncen (juru kunci), tidak seperti makam yang memiliki juru kunci (sehingga terawar)," terangnya.
Menurut penuturan dari orang-orang di Karatonan Sumedang Larang, kata Deni, sebuah petilasan biasanya ditandai oleh sebuah pohon bungur yang tumbuh di dekatnya.
"Menurut orang-orang yang ada di karaton, setiap (pemimpin) Sumedang Larang yang singgah di suatu tempat biasanya dicirikan dengan ditanamnya pohon bungur," terangnya.
Di dekat yang konon petilasan itu memang terdapat sebuah pohon bungur atau pohon yang memiliki nama latin lagerstroemia speciosa yang diperkirakan telah berusia ratusan tahun. Pohon bungur adalah spesies pohon yang berasal dari Asia selatan tropis.
Namun sayang, kondisi petilasan itu sangat memprihatinkan atau tidak terurus dan terkesan diabaikan begitu saja. Di sana tak ada keterangan atau papan informasi terkait catatan sejarah dari petilasan tersebut. Pagar besi yang mengelilinginya pun sudah berkarat dan bengkok.
Ia pun meminta perhatian lebih baik dari pihak pemerintah maupun pihak Karaton Sumedang Larang terkait keberadaan dari petilasan tersebut.
"Saya jujur, Sumedang sebagai puseur budaya itu yang bagaimana, kalau memang mendeklarasikan sebagai puseur budaya, seharusnya yang begini ini diperhatikan dan digali, memang bukan makam tapi petilasan tapi di sini pernah jad pemerintahan," terangnya.
(mso/mso)