'Atap Bumi Parahyangan' adalah julukan yang disematkan untuk Gunung Ciremai. Ancala strato tipe A ini menjadi puncak tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian mencapai 3.078 mdpl.
Bagi masyarakat Sunda di Kuningan dan Majalengka, Gunung Ciremai begitu disakralkan. Keagungan ancala itu telah diriwayatkan dalam sejumlah manuskrip kuno, serta legenda turun-temurun yang masih lestari hingga sekarang.
Keanekaragaman hayati di kawasan tersebut pun sangat beragam. Berdasarkan hasil penelitian Kelompok Pecinta Alam Lawalata pada April 2005 silam, ditemukan sejumlah spesies burung, reptil, dan amfibia unik di Gunung Ciremai.
Menurut beberapa peneliti, Gunung Ciremai merupakan pengisi antara celah konservasi di Pulau Jawa, karena letaknya terpencil pada deretan pegunungan yang membentang dari Bandung sampai daerah Jawa Tengah.
Gunung Ciremai tidak hanya menjadi daratan paling tinggi di Tanah Pasundan. Sebab, keberadaan ancala itu dengan beragamnya flora dan fauna yang mendiaminya, telah membuat para peneliti kepincut untuk mengeksplorasi Ciremai.
Bahkan jejak eksplorasi Gunung Ciremai sudah dilakukan sejak dua abad silam, tepatnya ketika para ilmuwan dari Eropa dan Hindia Belanda mendaki gunung tersebut. Riwayat pendakian itu tertuang dalam catatan Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn dalam bukunya bertajuk 'Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart'.
detikJabar mengajak pembaca setia untuk kembali mengingat akan keunikan Gunung Ciremai yang mampu memikat peneliti Eropa mengeksplorasi ancala agung di Tanah Pasundan itu.
Risalah Perjalanan Junghuhn di Gunung Ciremai
Dr. Franz Wilhelm Junghuhn adalah seorang ahli botani, geolog, dan dokter berkebangsaan Belanda-Jerman yang hidup pada abad ke-19. Ia terkenal karena penelitiannya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan kontribusinya dalam bidang ilmu alam serta geologi di wilayah tersebut.
Menukil literatur yang dipublikasikan pada laman Natural History Museum, di masa itu Junghuhn dilabeli sebagai 'Humboldt of Java' oleh para ahli botani Jerman karena kegigihannya dalam mendokumentasikan risetnya tentang pulau-pulau Indonesia.
Junghuhn lahir di Mansfeld, di mana ayahnya, Friedrich Junghuhn, merupakan seorang ahli bedah. Friedrich Junghuhn berharap putranya juga belajar kedokteran, tetapi Junghuhn muda lebih tertarik pada botani.
Kecintaan Junghuhn akan ilmu botani diimplementasikannya dengan menerbitkan makalah penting tentang jamur di Jurnal Botani Limnea pada 1830.
Pada 1835 di musim panas, Junghuhn tiba di Batavia. Dalam Eroica: The Quest for Oil In Indonesia 1850-1898, dikisahkan Junghuhn sempat bertemu ahli botani Belanda, Christian Hendrik Persoon, yang merekomendasikannya untuk ikut program tabib militer Tentara Kolonial di tanah jajahan.
Setibanya di tanah koloni, Junghuhn menemukan kehidupan baru. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana.
Selama masa tinggalnya, ia melakukan penelitian ilmiah yang mencakup botani, geologi, meteorologi dan etnografi. Pada 1838, pria itu memantapkan diri untuk berkelana di tanah koloni sembari mengamati tanaman tropis yang berada di kawasan pegunungan.
Sebelum 1840, Junghuhn begitu tekun mengumpulkan spesimen herbarium dan menyelesaikan beberapa makalah tentang flora. Dia melakukan perjalanan secara luas melalui wilayah Preanger (Priangan), mendaki sebagian besar gunung berapi Jawa Barat. Termasuk Gunung Ciremai yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada 1845 menerbitkan sebuah buku rinci yang berhubungan dengan sejarah alam pulau itu, Die Topographischen und Naturwissenschaftlichen Reisen durch Java (Topografi dan Ilmu Pengetahuan Alam Perjalanan melalui Jawa).
Berdasarkan catatan yang dikumpulkan detikJabar, jejak pendakian Junghuhn di Gunung Ciremai dapat dilacak di Desa Argalingga, Kabupaten Majalengka tepatnya pada 1837. Ahli botani itu mengeksplorasi Gunung Ciremai dengan melewati lereng di sebelah barat.
Dalam risalah berbahasa Belanda tersebut, Junghuhn menceritakan aktivitas pendakian di kawasan Argalingga dilakukan bersama Dr. Fritze. Ia menyebutkan eksplorasi Gunung Ciremai rupanya sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya, sesuai laporan Courant Java, terbitan 2 Februari 1825.
"Pada tahun 1837, di bulan Agustus, Dr Fritze dan saya mengunjungi gunung tersebut dan mendaki lereng barat dari Argalingga. Berita tertua yang dapat saya temukan tentang pendakian gunung dari Tjeribon tampaknya adalah berita yang dilaporkan dalam Courant Java tanggal 2 Februari 1825," tulis Junghuhn dalam catatannya yang dikutip detikJabar, Minggu (17/9/2023).
Pada berita itu, sebagaimana dituliskan kembali oleh Junghuhn, seseorang bernama Tuan Dr. CL Blume mendaki Gunung Ciremai pada 16 Oktober 1824 melalui sisi timur laut Gunung Ciremai, Linggarjati. Menurut keterangan tersebut, bentuk kawah Gunung Ciremai tidak berubah sejak saat itu. Bagian dasar kawah seperti yang dilihat Junghuhn pada 1837.
Di bagian kawah Gunung Ciremai ditutupi oleh punggungan rendah menengah dari puing-puing vulkanik dan tampak menjadi lebih besar di barat daya. Sedangkan daerah lebih kecil berada di timur laut dengan lingkar bulat.
"Kubah belerang masih terlihat selama kunjungan saya pada tahun 1837," ungkap Junghuhn.
(iqk/iqk)