Atap Bumi Parahyangan dalam Jejak Eksplorasi Ciremai pada Abad 19

Lorong Waktu

Atap Bumi Parahyangan dalam Jejak Eksplorasi Ciremai pada Abad 19

Fathnur Rohman - detikJabar
Senin, 25 Sep 2023 08:00 WIB
Gunung Ciremai.
Gunung Ciremai (Foto: Fathnur Rohman/detikJabar)
Kuningan -

'Atap Bumi Parahyangan' adalah julukan yang disematkan untuk Gunung Ciremai. Ancala strato tipe A ini menjadi puncak tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian mencapai 3.078 mdpl.

Bagi masyarakat Sunda di Kuningan dan Majalengka, Gunung Ciremai begitu disakralkan. Keagungan ancala itu telah diriwayatkan dalam sejumlah manuskrip kuno, serta legenda turun-temurun yang masih lestari hingga sekarang.

Keanekaragaman hayati di kawasan tersebut pun sangat beragam. Berdasarkan hasil penelitian Kelompok Pecinta Alam Lawalata pada April 2005 silam, ditemukan sejumlah spesies burung, reptil, dan amfibia unik di Gunung Ciremai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut beberapa peneliti, Gunung Ciremai merupakan pengisi antara celah konservasi di Pulau Jawa, karena letaknya terpencil pada deretan pegunungan yang membentang dari Bandung sampai daerah Jawa Tengah.

Gunung Ciremai tidak hanya menjadi daratan paling tinggi di Tanah Pasundan. Sebab, keberadaan ancala itu dengan beragamnya flora dan fauna yang mendiaminya, telah membuat para peneliti kepincut untuk mengeksplorasi Ciremai.

ADVERTISEMENT

Bahkan jejak eksplorasi Gunung Ciremai sudah dilakukan sejak dua abad silam, tepatnya ketika para ilmuwan dari Eropa dan Hindia Belanda mendaki gunung tersebut. Riwayat pendakian itu tertuang dalam catatan Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn dalam bukunya bertajuk 'Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart'.

detikJabar mengajak pembaca setia untuk kembali mengingat akan keunikan Gunung Ciremai yang mampu memikat peneliti Eropa mengeksplorasi ancala agung di Tanah Pasundan itu.

Risalah Perjalanan Junghuhn di Gunung Ciremai

Dr. Franz Wilhelm Junghuhn adalah seorang ahli botani, geolog, dan dokter berkebangsaan Belanda-Jerman yang hidup pada abad ke-19. Ia terkenal karena penelitiannya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan kontribusinya dalam bidang ilmu alam serta geologi di wilayah tersebut.

Menukil literatur yang dipublikasikan pada laman Natural History Museum, di masa itu Junghuhn dilabeli sebagai 'Humboldt of Java' oleh para ahli botani Jerman karena kegigihannya dalam mendokumentasikan risetnya tentang pulau-pulau Indonesia.

Junghuhn lahir di Mansfeld, di mana ayahnya, Friedrich Junghuhn, merupakan seorang ahli bedah. Friedrich Junghuhn berharap putranya juga belajar kedokteran, tetapi Junghuhn muda lebih tertarik pada botani.

Kecintaan Junghuhn akan ilmu botani diimplementasikannya dengan menerbitkan makalah penting tentang jamur di Jurnal Botani Limnea pada 1830.

Pada 1835 di musim panas, Junghuhn tiba di Batavia. Dalam Eroica: The Quest for Oil In Indonesia 1850-1898, dikisahkan Junghuhn sempat bertemu ahli botani Belanda, Christian Hendrik Persoon, yang merekomendasikannya untuk ikut program tabib militer Tentara Kolonial di tanah jajahan.

Setibanya di tanah koloni, Junghuhn menemukan kehidupan baru. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana.

Selama masa tinggalnya, ia melakukan penelitian ilmiah yang mencakup botani, geologi, meteorologi dan etnografi. Pada 1838, pria itu memantapkan diri untuk berkelana di tanah koloni sembari mengamati tanaman tropis yang berada di kawasan pegunungan.

Sebelum 1840, Junghuhn begitu tekun mengumpulkan spesimen herbarium dan menyelesaikan beberapa makalah tentang flora. Dia melakukan perjalanan secara luas melalui wilayah Preanger (Priangan), mendaki sebagian besar gunung berapi Jawa Barat. Termasuk Gunung Ciremai yang telah disebutkan sebelumnya.

Pada 1845 menerbitkan sebuah buku rinci yang berhubungan dengan sejarah alam pulau itu, Die Topographischen und Naturwissenschaftlichen Reisen durch Java (Topografi dan Ilmu Pengetahuan Alam Perjalanan melalui Jawa).

Berdasarkan catatan yang dikumpulkan detikJabar, jejak pendakian Junghuhn di Gunung Ciremai dapat dilacak di Desa Argalingga, Kabupaten Majalengka tepatnya pada 1837. Ahli botani itu mengeksplorasi Gunung Ciremai dengan melewati lereng di sebelah barat.

Dalam risalah berbahasa Belanda tersebut, Junghuhn menceritakan aktivitas pendakian di kawasan Argalingga dilakukan bersama Dr. Fritze. Ia menyebutkan eksplorasi Gunung Ciremai rupanya sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya, sesuai laporan Courant Java, terbitan 2 Februari 1825.

"Pada tahun 1837, di bulan Agustus, Dr Fritze dan saya mengunjungi gunung tersebut dan mendaki lereng barat dari Argalingga. Berita tertua yang dapat saya temukan tentang pendakian gunung dari Tjeribon tampaknya adalah berita yang dilaporkan dalam Courant Java tanggal 2 Februari 1825," tulis Junghuhn dalam catatannya yang dikutip detikJabar, Minggu (17/9/2023).

Pada berita itu, sebagaimana dituliskan kembali oleh Junghuhn, seseorang bernama Tuan Dr. CL Blume mendaki Gunung Ciremai pada 16 Oktober 1824 melalui sisi timur laut Gunung Ciremai, Linggarjati. Menurut keterangan tersebut, bentuk kawah Gunung Ciremai tidak berubah sejak saat itu. Bagian dasar kawah seperti yang dilihat Junghuhn pada 1837.

Di bagian kawah Gunung Ciremai ditutupi oleh punggungan rendah menengah dari puing-puing vulkanik dan tampak menjadi lebih besar di barat daya. Sedangkan daerah lebih kecil berada di timur laut dengan lingkar bulat.

"Kubah belerang masih terlihat selama kunjungan saya pada tahun 1837," ungkap Junghuhn.

Catatan Junghuhn soal Kondisi Gunung Ciremai di Era Kolonial

Dokumentasi dan kondisi Gunung Ciremai zaman Belanda.Dokumentasi dan kondisi Gunung Ciremai zaman Belanda. Foto: Istimewa/ Dok perpustakaan digital Universitas Leiden

Pengamatan Junghuhn kala itu sangat detail. Misalnya ia menggambarkan karakteristik kaki timur Gunung Ciremai berada di Desa Sangkanhurip dengan mata air hangatnya. Kemudian ia mendeskripsikan titik di gunung itu akan mencapai ketinggian terbesarnya bila dilihat pada bagian selatan dan selatan-barat daya.

Junghun menyebut saat itu puncak Gunung Ciremai terpotong melintang, turun secara teratur di semua sisi ke dataran rendah yang dalam. Kemudian naik lebih tinggi hanya di bagian barat daya dan selatan dengan membentuk lembah-lembah yang subur.

"Kaki bukit utara G Tjerimai ditutupi dengan hutan dengan banyak fosil, yang menjulang membentuk banyak puncak berbatu bergerigi, tetapi sama sekali tidak dalam arah melintang ke gunung kerucut, melainkan membentang dari selatan ke utara, yaitu menjauh dari gunung, sehingga dari kejauhan nyaris terlihat seperti gunung," jelas Junghuhn.

Amatan Junghuhn pun beralih ke bagian utara Gunung Ciremai. Pada daerah yang kini dikenal sebagai Palimanan, Cirebon, ia menjabarkan adanya formasi bukit kapur yang terbentang dalam pecahan-pecahan di kaki gunung, dan semuanya menunjukkan rongga-rongga kecil begitu khas.

Gugusan batuan kapur itu membentuk bagian paling atas dari formasi tersier pulau ini, yang hanya ditemukan di tempat terisolasi atau kurang bertepi.

"Kaki utara gunung ini membentang rata dari Palimanan, dekat dengan jalan pos yang mengarah ke Tjeribon. Tanah aluvial rendah mengelilingi pegunungan di sana. Tempat ini terkenal dengan sumur minyak dan sumber air panas di dekat Tjeribon. Dan sumber air panas dekat Palimanan, yang menyimpan sejumlah besar batu kapur," kata Junghuhn.

Risalah Junghuhn pun memuat keberadaan Goa Walet pada ketinggian 2098 mdpl. Pada saat itu ia melihatnya sebagai celah atau liang yang dipenuhi ribuan burung walet.

Salah satu penggemar Junghuhn, Mr. C.W. Wormser turut menjadi saksi akan fenomena tersebut. Hakim yang bertugas di Jawa itu mendengar suara ribuan burung walet ketika bermalam di Gunung Ciremai dalam perjalanan pendakiannya.

Pada dasarnya ekspedisi penelitian yang dilakukan Junghuhn bertujuan untuk memahami geologi, flora, fauna, dan iklim gunung ini. Selain itu, karya-karya Junghuhn memberikan wawasan penting tentang sumber daya alam dan lingkungan di Hindia Belanda pada abad ke-19.

Gunung Ciremai di Masa Sekarang

Gunung Ciremai saat ini menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang merupakan salah satu kawasan konservasi penting di Indonesia. Ini menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna langka yang terancam punah.

Di sisi lain, Gunung Ciremai pun menawarkan pemandangan alam yang luar biasa indah. Khususnya bagian puncak yang tajam dan berbentuk kerucut, memberikan kesan visual sangat mencolok saat dilihat dari jarak jauh.

Hal tersebut menjadikan Gunung Ciremai menjadi primadona bagi pendaki dari berbagai daerah, khususnya mereka yang memiliki ambisi besar untuk menaklukan puncak tertinggi di Jawa Barat itu.

Saat ditemui detikJabar belum lama ini, Kepala Balai TNGC Maman Surahman menjelaskan setiap jalur pendakian di Gunung Ciremai telah mengalami peningkatan popularitas, menjadikannya salah satu kegiatan rekreasi yang diminati.

Saat ini, kata dia, terdapat lima jalur pendakian yang berbeda di Gunung Ciremai, yaitu tiga jalur di Kabupaten Kuningan (Palutungan, Linggarjati, dan Linggasana) serta dua jalur di Majalengka (Sadarehe dan Akui). Setiap jalur memiliki karakteristiknya sendiri, sehingga membuatnya cocok untuk berbagai tingkat keahlian.

"Bagi pendaki pemula, jalur-jalur seperti Apuy dan Palutungan sering menjadi pilihan, karena treknya relatif datar dan tidak terlalu menantang," kata Maman.

"Namun, saat ini, jalur Sadarehe sedang diminati oleh banyak pendaki. Jalur ini menggabungkan karakteristik dari jalur Linggarjati dan Palutungan, dengan trek yang panjang dan beberapa spot ekstrem yang menarik, seperti Tegal Masawah," ungakpnya menambahkan.

Karakteristik unik dari masing-masing jalur pendakian menjadikan Gunung Ciremai itu, menurutnya telah berfungsi sebagai destinasi yang menarik untuk dijelajahi. Namun, Maman juga mengingatkan para pendaki agar selalu waspada dan mematuhi etika pendakian yang sopan.

Gunung Ciremai dengan puncaknya yang berada pada ketinggian 3.078 mdpl adalah gunung yang tidak boleh diremehkan. Meskipun sekarang menjadi destinasi paling diminati pendaki, tapi Gunung Ciremai tetap menantang, mengingat statusnya sebagai gunung tertinggi di Jawa Barat.

"Dalam kegiatan pendakian, keselamatan adalah yang utama. Pendaki harus selalu mempersiapkan perlengkapan dengan baik dan menjaga keindahan alam ini yang juga menjadi rumah bagi berbagai makhluk hidup. Mari kita nikmati Gunung Ciremai dengan penuh rasa hormat dan kepedulian terhadap lingkungannya," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads