Selain pernah menjadi ibu kota Provinsi Jawa Barat, Tasikmalaya juga sempat menjadi sasaran agresi militer Belanda pada 1947. Serangan ini membuat Sewaka, Gubernur Jawa Barat pada saat itu harus mengungsi ke pelosok Tasikmalaya.
Namun upaya Belanda menduduki Tasikmalaya diwarnai perlawanan sengit. Salah satunya adalah pertempuran epik yang terjadi di jembatan Karangresik, perbatasan Tasikmalaya dan Ciamis.
Saat itu tentara Divisi Siliwangi dan masyarakat berhasil memukul mundur konvoi tentara Belanda. Belanda tak bisa masuk ke Tasikmalaya karena bangunan jembatan telah dihancurkan. Hal tersebut pasukan Belanda kebingungan karena tentara Indonesia menembaki mereka hingga kocar-kacir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi keesokan harinya Belanda mengamuk dengan mengerahkan dua pesawat Mustang untuk membombardir pejuang Indonesia. Sehingga akhirnya tentara kita mundur hingga ke Singaparna, dan Tasikmalaya pun jatuh ke tangan Belanda.
Momen pertempuran ini diulas dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh Kodam III Siliwangi.
"Sekitar tanggal 7 Agustus 1947 tentara Belanda dari arah Ciamis mulai mengadakan gerakan menuju Kota Tasikmalaya dengan tujuan sekaligus menghancurkan kekuatan TNI Siliwangi dan Komando Divisi Siliwangi yang saat itu diwakili oleh Kolonel Hidayat dan Kolonel Subroto," tulis buku tersebut.
Konvoi besar pasukan Belanda itu terdiri dari satu batalyon tempur dengan senjata bantuan terdiri dari eskadron kavaleri brencarrier, mobil lapis baja dengan persenjataan berat.
Mereka tiba di mulut jembatan sekitar pukul 9 pagi, namun mereka tak dapat melintas karena jembatan sudah dihancurkan oleh tentara dibantu masyarakat.
Sementara di mulut jembatan dari arah Tasikmalaya tentara Siliwangi sudah siaga melakukan pengadangan. Pasukan yang memimpin pertempuran itu Detasemen II Garuda Kodongan, yang dipimpin oleh Kapten Kodongan.
"Mereka menempati posisi pertahanan yang sangat strategis di seberang jembatan bagian selatan dengan menggunakan bukit-bukit, batu-batu yang terlindung oleh hutan-hutan kecil dan rumpun-rumpun," demikian tertulis di buku tersebut.
Di seberang jembatan tentara Belanda yang tidak menyadari, stand by dengan keadaan santai hingga berjam-jam. Mereka berada di jalan sebelah utara jembatan sepanjang 350 meter, belokan letter S. Posisi mereka terlihat jelas oleh pasukan Indonesia.
![]() |
Kontak senjata mulai terjadi sekitar pukul 3 sore, pasukan Detasemen II Garuda langsung menembaki pihak Belanda. Mereka langsung kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka akhirnya mundur, menjauh dari jembatan hingga ke daerah Sindangkasih Ciamis.
Mendapati musuh mundur, tentara Indonesia memilih bertahan di posisi ideal itu. Hanya saja pada malam harinya, beberapa tentara menyeberangi sungai untuk mengambil senjata, pakaian dan perbekalan yang ditinggalkan. Setelah itu mereka bertahan sampai keesokan harinya.
Di hari kedua tentara kita mendapatkan serangan hebat atau aksi balasan dari Belanda. Dua pesawat tempur Belanda jenis Mustang membombardir kawasan itu.
Tentara Indonesia yang tak memiliki persenjataan untuk mengantisipasi serangan udara akhirnya memilih menyelamatkan diri. Mereka mundur hingga ke daerah Singaparna. Serangan udara yang dilancarkan dengan membabi buta itu membuat banyak masyarakat jadi korban.
Akhirnya pada 10 Agustus 1947, Belanda mengklaim telah berhasil menduduki Tasikmalaya. Gubernur Jawa Barat Sewaka akhirnya mengungsi ke daerah selatan Tasikmalaya, sebelum akhirnya tertangkap pada Maret 1948.
Sementara itu pantauan detikJabar, lokasi pertempuran itu kini telah menjadi objek wisata Taman Karangresik. Oleh pengelola wisata itu, peninggalan pertempuran berupa puing jembatan dan monumen perjuangan tetap dipertahankan.
"Kami rawat bahkan kami tonjolkan, karena ini menjadi daya tarik wisata. Di puing pondasi jembatan kami lengkapi dengan relief yang menggambarkan pertempuran. Kemudian kami juga merenovasi monumen yang ada di atas bukit," kata Firman, pengelola wisata Taman Karangresik, Senin (14/8/2023).
Dia mengatakan tak sedikit pengunjung yang tertarik untuk menyaksikan langsung peninggalan zaman perang kemerdekaan itu. "Lumayan banyak yang tertarik, terutama kalangan tertentu. Misalnya keluarga pejuang atau anak-anak sekolah, makanya ini menjadi salah satu daya tarik yang kami miliki selain sebagai objek wisata keluarga," kata Firman.
(iqk/iqk)