Gedung Perundingan Linggarjati adalah salah satu monumen bersejarah di Kabupaten Kuningan. Bangunan bergaya art deco yang berusia hampir seabad itu, menjadi saksi bisu terjadinya pertemuan antara Belanda dan Indonesia.
Pertemuan yang dikenal sebagai Perundingan Linggarjati ini berlangsung pada 10-15 November 1946. Kala itu, Sutan Syahrir mendapatkan mandat dari Presiden Soekarno untuk memimpin delegasi Indonesia memperjuangkan status kemerdekaan bangsa ini. Sedangkan di pihak Belanda mengutus Hubertus van Mook dan Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn sebagai perwakilannya.
Hasil pertemuan tersebut memang tidak sesuai harapan. Pada akhirnya Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Indonesia terdiri dari Sumatera, Jawa serta Madura, dan dibentuknya Republik Indonesia Serikat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski hasilnya lebih condong merugikan Indonesia, namun peristiwa Perundingan Linggarjati tak dapat dipisahkan begitu saja dari rentetan sejarah kemerdekaan bangsa ini. Terlebih, pasca pertemuan tersebut kedaulatan Indonesia mulai diakui oleh dunia internasional.
Menariknya, karena nilai historis itu pula Gedung Linggarjati menjadi salah satu ikon wisata bersejarah di Kuningan. Tak hanya wisatawan lokal, kehadirannya pun mampu mendatangkan turis asing. Khususnya mereka yang merupakan keturunan dari para delegator Belanda.
Ya, orang-orang Belanda itu rela datang jauh-jauh dari tempat asalnya hanya untuk melakukan napak tilas di Gedung Linggarjati. Sebab, leluhur mereka sempat singgah selama beberapa hari di bekas gubug reyot milik seorang janda bernama Jatisem.
"Zaman itu delegasi dari Belanda. Mereka ingin tahu lokasinya, ternyata di Linggarjati. Kunjungan pertama ada empat orang, kunjungan berikutnya dua orang. Bahkan dari televisi Belanda pun sempat menginap beberapa hari ke sini," ungkap Pengelola Gedung Linggarjati, Sutiyana kepada detikJabar belum lama ini.
Turis asing yang pernah bertandang ke Gedung Linggarjati, kata Sutiyana, umumnya merupakan keturunan langsung dari delegator Belanda, Hubertus van Mook. Di negeri asalnya, tokoh tersebut dikenal sebagai Ketua Departemen Urusan Ekonomi yang menjabat pada 1930-an.
Kemudian, cucu dari pemilik Gedung Linggarjati sebelumnya yaitu Jacobus Koos Johannes van Os pernah mampir untuk melihat bangunan yang pernah dipugar kakeknya itu.
Tokoh tersebut, lanjut Sutiyana, sempat menikah dengan Jatisem. Lalu pada 1921, gubuk reyot yang semula ditinggali Jatisem direnovasi menjadi bangunan semi permanen. Selain itu, Jacobus juga adalah direktur dan pemilik Technisch Burreau NV Elenbass Cirebon.
"Datangnya ke sini tuh karena keingintahuan bahwa orang tuanya sempat ke Linggarjati. Di antaranya ada yang membangun gedungnya, bahkan sempat dikasih tahu denah petanya. Kakek saya yang bangun ini," ujar Sutiyana.
Rata-rata para keturunan tokoh Belanda ini datang ke Linggarjati sebelum Pandemi COVID-19. Saat berkunjung, mereka sangat antusias dan merasa takjub karena gedung yang pernah disinggahi leluhurnya itu masih terawat sampai sekarang.
"Cerita menariknya itu, dia bangga. Dengan orang tua terdahulu menghasilkan dan memerdekakan negara ini. Walaupun di sisi lain ada campur tangan negara lain. Dia betah. Kemarin sempat datang ke sini juga. Dia sangat senang sekali adanya gedung ini," kataSutiyana.
Berdamai dengan Masa Lalu
Kunjungan anak-cucu para kompeni itu ke Linggarjati, sambung Sutiyana, sengaja dilakukan untuk kembali mengenang berbagai kejadian di masa lalu yang sangat mempengaruhi kehidupan masa kini. Utamanya terkait peristiwa Perundingan Linggarjati 1946.
Dalam beberapa kesempatan, Sutiyana mengaku momen unik dan menggelitik pernah terjadi saat mereka berwisata di Gedung Linggarjati. Misalnya saja, salah satu keturunan Hubertus van Mook pernah mengeluarkan celetukan soal peristiwa kelam yang pernah dialami masyarakat pribumi.
"Dia sempat bilang begini, kamu benci sama saya yah? Saya jawab kenapa harus benci? Dia bilang lagi, karena dulu nenek moyang kamu dijajah sama kami," ujar Sutiyana.
Mendengar hal tersebut, Sutiyana langsung memberikan tanggapan spontan. "Kalau dulu ya benci, kalau sekarang enggak. Dia bilang my friend, my friend. Kita saudara, kalau perlu hayu kita saling membantu," tuturnya.
Interaksi semacam ini diakui Sutiyana memang cukup langka. Apalagi para keturunan Belanda itu seakan mengetahui sepak terjang buruk yang dilakukan leluhurnya terhadap kaum pribumi.
Terlepas dari sejarah penjajahan dahulu, Sutiyana menilai kalau saat ini merupakan momen yang pas untuk generasi penerus dari kedua bangsa tersebut berdamai. Apalagi, status negara Indonesia saat ini sudah diakui kemerdekaannya oleh Kerajaan Belanda.
"Mereka bilang kami merinding, kami berbangga dengan bangsa Indonesia. Pejuang-pejuang kami terdahulu. Dari kedutaan Belanda sempat ke sini juga. Karena ada rencana revitalisasi, cuman terjeda karena ada COVID-19," imbuhnya.
Melihat potensi dan nilai historis yang dimiliki Gedung Linggarjati, Sutiyana berharap masyarakat luas dan turis asing dapat mengetahui setiap kisah sejarah di tempat ini. Oleh karena itu, dia meminta kepada Pemkab Kuningan agar lebih gencar lagi mempromosikan Gedung Linggarjati.
Selain sebagai aset kebudayaan, Gedung Linggarjati bisa dimanfaatkan sebagai destinasi untuk edukasi dan wisata sejarah.