Selembar pamflet usang berisi paket layanan paket wisata ke Kampung Gajah tersimpan di antara tumpukan koran bekas di sudut kamar. Ingatan menerawang, paket wisata berharga Rp 250 ribu itu menawarkan paket wisata Kampung Gajah di daerah Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Faktanya, Kampung Gajah kini tinggal kenangan. Kampung Gajah yang menyisakan bangunan-bangunan megah nan ikonik yang dahulu sempat menghibur banyak orang.
Tim detikJabar menyambangi lokasi tersebut, dan membidik beberapa fakta terkini soal kondisi di lokasi tersebut. Berikut ini ulasannya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Hanya Beroperasi 9 Tahun
Sejak Mei 2018 silam, destinasi wisata modern di kawasan Cihideung, Parongpong, Bandung Barat itu sudah tak lagi beroperasi. Padahal dulu, sejak berdiri tahun 2009, Kampung Gajah jadi lokasi wisata favorit dan sempat mengalami masa jaya selama beberapa tahun.
Kampung Gajah tepatnya berada di Jalan Sersan Bajuri, RT 03/07, Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Bandung Barat. Posisinya amat strategis, karena ada di tepi jalan raya yang menjadi rute alternatif menuju kawasan wisata Lembang.
Tak terlalu jauh dari Jalan Raya Setiabudi, Kota Bandung, Kampung Gajah menyajikan pemandangan indah dan hawa pegunungan. Sepanjang jalan, terhampar lansekap pegunungan mengitari Bandung Utara. Ada juga deretan penjual tanaman hias yang memanjakan mata pencinta tanaman.
"Awalnya Kampung Gajah itu ada di tahun 2009, punya almarhum Pak Ferry Kurniawan," ujar Joaw (41), eks pegawai objek wisata Kampung Gajah saat berbincang dengan detikJabar.
![]() |
2. Ramai di Hari Libur
Ada beberapa versi soal keseluruhan luas lahan tempat Kampung Gajah berdiri. Sepengetahuan Joaw, luas lahan Kampung Gajah mencapai 64 hektare. Namun sumber lain menyebut luas lahan Kampung Gajah 'hanya' 48 hektare. Versi lainnya, luas lahan mencapai 58 hektare.
Terlepas dari angka mana yang benar, faktanya kawasan wisata Kampung Gajah memang benar-benar luas. Pada masa kejayaannya empat tahun sejak pertama kali dibuka, kata Joaw, ribuan wisatawan terutama di akhir pekan, selalu memadati Kampung Gajah.
"Jadi sebetulnya puncak ramainya itu cuma dua kali, waktu Idulfitri sama libur panjang sekolah. Itu wisatawan se-Indonesia ya datang ke sini, bahkan dari luar negeri juga banyak," ucap Joaw.
"Bisa menampung sampai 12 ribu wisatawan di dalam. Terus bus itu bisa sekitar 140, ditambah kendaraan lainnya. Semua kendaraan parkirnya di dalam," tambahnya.
3. Tiket Dikenal Mahal
Kala itu, harga tiket masuk ke objek wisata Kampung Gajah Wonderland dibanderol dengan harga Rp 15.000 pada hari Senin hingga Jumat. Sedangkan untuk hari libur serta Sabtu dan Minggu dipatok Rp 20.000.
Namun pengelola juga menyiapkan paket wisata terusan bagi pengunjung. Wisatawan harus merogoh kocek cukup dalam, sekitar Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu per orang. Setelah membayar tiket terusan, wisatawan bisa menikmati semua wahana yang tersebar di kawasan Kampung Gajah.
"Ya untuk wisata zaman dulu lumayan juga harganya ya, soalnya kan setiap wahana harus bayar lagi. Tapi banyak juga yang belinya itu tiket terusan," ujar Joaw.
4. Sederet Wahana di Kampung Gajah
Berbagai wahana yang bisa dinikmati wisatawan sangat beragam. Sebut saja Kebun Binatang Mini, ATV, Flying Fox, Perahu Air, dan Tunggang Kuda.
Kemudian Bumperboat, Delman, Rumah Hantu, Kolam Pancing, Formula Kart, Futuristic Train, Mini ATV, Segway, Sidecar, Sky View, Sky Rider, dan Tubby.
"Cuma ya gitu, saking banyaknya wisatawan jadi kan antrean itu banyak. Paling seorang bisa coba 5 wahana kalau tiket terusan. Sama antreannya saja sudah lama nunggu. Rata-rata ngeluh di situ sih," kata Joaw eks pegawai Kampung Gajah.
Kampung Gajah punya wahana yang jadi andalan, yaitu Waterboom. Tak seperti tempat lain, Kampung Gajah menawarkan wahana yang bisa dicoba di area Waterboom.
Misalnya Aqua Boat, Big Tornado, Grass Skating, Bungee Trampolin, Wave Pool, Octopus Racer, Kiddy Pool, Moto Golf, serta Sepeda Air.
"Kalau tiket waterboom itu Rp70 ribu kalau nggak salah. Nanti wahana lainnya ya sama bayar lagi. Kecuali tiket terusan," tutur Joaw.
5. Riwayat Berdirinya Kampung Gajah
Kampung Gajah tepatnya ada di Jalan Sersan Bajuri, RT 03/07, Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Bandung Barat. Posisinya amat strategis, ada di tepi jalan raya yang menjadi rute alternatif menuju kawasan wisata Lembang.
Tak terlalu jauh dari Jalan Raya Setiabudi. Punya magnet tersendiri karena lokasinya ada di daerah yang cukup pelosok. Sepanjang jalan terhampar lanskap pegunungan mengitari Bandung Utara. Kemudian deretan penjual tanaman hias yang memanjakan mata emak-emak pencinta tanaman.
Roda kehidupan berputar kencang. Kejayaan Kampung Gajah perlahan memudar, sampai akhirnya runtuh sepenuhnya. Tepat di bulai Mei tahun 2018, Kampung Gajah mengakhiri kiprahnya usai dinyatakan pailit.
Mundur sedikit sebelum Kampung Gajah lahir, ternyata dulunya lahan dengan luas lebih dari 48 hektare itu awalnya akan dijadikan sebuah kompleks perumahan bernama Century Hill. Namun pailit di tahun 2006.
"Jadi lahan Kampung Gajah ini awalnya lokasi agraris bagi penduduk, terutama bagi penduduk yang memiliki tanah yang ditanami bermacam-macam tanaman, ada padi, sayuran, dan sebagainya," kata Asep Sundawa, penanggungjawab pengelola lahan wisata Kampung Gajah, kepada detikJabar.
"Awalnya itu mau dibuat Kompleks Perumahan Century Hill. Tapi kemudian gagal, dan beralih kepemilikan dan dijadikan wisata Kampung Gajah di tahun 2009," tambahnya.
Sejak 2009 hingga beberapa tahun setelahnya, Kampung Gajah benar-benar menjadi primadona. Tak ada yang tak pernah mendengar nama Kampung Gajah. Namun tak dinafikan, kalau saat itu paradigma Kampung Gajah hadir demi memenuhi hasrat wisatawan kelas menengah ke atas.
"Kampung Gajah saat pertama kali beroperasi booming sampai mancanegara dan hal itulah yang menyebabkan pengunjung berbondong-bondong tidak hanya dari Jawa Barat saja tapi seindonesia," tutut Asep.
Namun tahun demi tahun beroperasi, pesona Kampung Gajah ternyata mulai luntur. Sempat terseok-seok, Kampung Gajah tak mampu berdiri kokoh sampai akhirnya terjerembab.
![]() |
6. Masa Keemasan dan Jatuhnya Kampung Gajah
Banyak faktor yang disinyalir menjadi penyebab Kampung Gajah tak mampu bertahan dari gempuran zaman, mulai dari harga tiket yang lumayan mahal sampai pengelolaan yang dinilai tak terlalu baik.
"Bisa jadi dari sisi manajemen. Ada juga faktor munculnya wisata baru yang harga tiketnya lebih murah ketimbang Kampung Gajah. Jadi ketika pemasukan sudah tidak sebanding dengan pengeluaran, akhirnya kan manajemen tidak bisa lagi memenuhi biaya operasional. Nah itu yang akhirnya menyebabkan Kampung Gajah ini berhenti beroperasi," ujar Asep Sundawa, penanggungjawab pengelola lahan wisata Kampung Gajah, kepada detikJabar.
7. Kenangan Manis Warga Kecipratan Rezeki
Warga setempat tentu menjadi pihak yang turut menikmati masa kejayaan dan keemasan Kampung Gajah. Seperti dikatakan Joaw (41), eks pegawai Kampung Gajah. Ia sendiri sempat berperan merekrut tenaga-tenaga lokal yang memang dibutuhkan manajemen.
"Jadi waktu sedang ramai-ramainya itu, warga di sini banyak yang jadi pegawai Kampung Gajah, mungkin 70 persennya ya warga lokal," kata Joaw.
Kemudian pengelola parkir juga banyak berasal dari warga setempat. Sebab tak jarang lahan yang disediakan pengelola tak mampu menampung ramainya kendaraan wisatawan.
"Jadi ada juga yang parkir di lahan warga. Tapi memang kebanyakan di dalam parkirnya, dan itu yang kerja warga di sini juga. Jadi memang dulu warga senang dengan adanya Kampung Gajah ini," tutur Joaw.
Belum lagi dari perputaran roda ekonomi. Warga banyak yang menjajakan berbagai macam jajanan. Terlebih tanaman hias yang berderet di pinggir jalan mampu menarik minat wisatawan.
"Di sini kan kebanyakan jual tanaman hias juga, di sepanjang jalan ini kan ramai. Jadi banyak yang jajan dulu, terus beli tanaman hias. Dulu itu kalau macetnya bisa sampai Jalan Setiabudi, ya sekitar 4 sampai 5 kilometer mungkin ada," kata Joaw.
8. Hilangnya Identitas Kampung Gajah
Kini Kampung Gajah mirip kota mati. Bangunannya sebagian masih berdiri kokoh. Sayang, di bagian depan tak ada lagi patung-patung gajah yang dulu menjadi identitas Kampung Gajah.
Tempat patung-patung gajah itu berdiri kini beralih fungsi menjadi tempat menjual tanaman yang dijalankan oleh warga setempat. Sementara gerbang utama Kampung Gajah masih tetap berdiri.
Melewati gapura yang menjulang tinggi dengan lengkungan di bagian atas serta tulisan 'Kampung Gajah' yang tak lagi lengkap dan samar, ada satu patung gajah yang tersisa. Menyambut orang-orang yang lalu lalang, kebanyakan warga sekitar karena jadi rute alternatif ke perkampungan.
"Banyak yang mengatakan bahwa Kampung Gajah disita oleh bank, namun tidak demikian. Jika ada investor yang ingin mengoperasikan kembali Kampung Gajah bisa saja, tinggal konfirmasi ke pihak-pihak atau orang yang masih memiliki aset," kata Asep Sundawa, penanggungjawab pengelola lahan wisata Kampung Gajah, kepada detikJabar.
9. Mantan Pegawai Banting Setir Kelola Lahan
Joaw, pria 41 tahun mengadu nasib berjualan tanaman setelah tak lagi menjadi pegawai di Kampung Gajah. Tak heran ia jadi saksi masa kejayaan objek wisata yang berlokasi di Jalan Sersan Bajuri, RT 03/07, Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Bandung Barat.
"Ya sebetulnya nggak boleh sama kurator, cuma kan saya sebagai mantan pegawai yang belum dapat pesangon, keukeuh saja mengelola lahan Kampung Gajah ini. Ya akhirnya diizinkan," kata Joaw membuka perbincangan dengan detikJabar.
Ia bahkan menceritakan soal raibnya gajah-gajah yang boleh dibilang sebagai penerima tamu alias pengunjung Kampung Gajah. Ternyata ada beberapa yang dipindahkan ke objek wisata lain di daerah Lembang.
"Ada yang dibawa ke Lembang Park Zoo kan sebagian patung gajahnya. Sebagian lagi ada di dalam (Kampung Gajah), diikat biar nggak kabur," kata Joaw seraya tertawa.
10. Gambaran Kelam Kampung Gajah Kini
Area terdalam Kampung Gajah benar-benar kelam, seram, dan tak terawat. Rerumputan setinggi dada orang dewasa tumbuh subur. Khawatir menjadi tempat persembunyian binatang semacam ular dan yang lainnya.
Di sebuah area yang agak lapang. Lantainya dari batu-batu dengan motif abstrak. Di sisi sebelah kanan, ada bangunan berbentuk perahu seolah-olah terdampar. Entah kini dipakai apa, namun ada dua motor terparkir di depannya.
Di sisi sebelah kiri ada deretan pohon mangga yang ditanam di pot serta polybag. Memang, Asep menyebut kalau lahan di bagian dalam Kampung Gajah saat ini dijadikan sebagai tempat warga bercocok tanam.
![]() |
"Keadaan Kampung Gajah saat ini dapat dibilang tidak produktif sebagai tempat wisata, karena pailit. Tapi masih banyak yang datang terutama untuk bikin konten horor. Kalau kita tidak membatasi," tutur Asep.
Hanya saja ia mengingatkan agar mengingat peribahasa 'dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'. Setiap orang yang datang ke Kampung Gajah, setidaknya mengucapkan salam dan tidak bertingkah macam-macam.
"Sama seperti memasuki rumah orang lain yang memerlukan etika baik untuk konten horor dan sebagainya," tutur Asep.
11. Jadi Pasar Kaget di Hari Minggu
Tak cuma didatangi orang-orang yang hendak membuat konten horor atau konten lainnya, lagan terbengkalai di Kampung Gajah juga disulap menjadi Pasar Kaget Minggu.
"Karena Kampung Gajah jika dibiarkan begitu saja akan semrawut, maka ada seorang yang mengelola untuk peningkatan perekonomian masyarakat yang dikelola Ustaz Ujang Ahmad," kata Asep.
Ia berpikir bagaimana caranya meningkatkan perekonomian warga terutama di saat pandemi COVID-19. Kala kebanyakan orang terpuruk karena aturan pemerintah demi mengentaskan penyebaran virus tersebut.
"Akhirnya dibuka Pasar Kampung Gajah setiap hari Minggu. Dibuka sejak 3 tahun belakangan, terutama saat masa-masa COVID-19, itupun dengan segala keterbatasan dan ketentuan oleh pemerintah," ucap Asep.
"Untuk lokasi yang dipakai pasar minggu hampir setengah Kampung Gajah, terutama bagian depan dan wilayah utara dipakai untuk parkir. Di belakangnya lagi dipakai bercocok tanam, jadi sekarang termanfaatkan semua lahannya," tambahnya.