Kampung Sempurmayung, Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang didesain menjadi konsep wisata perkampungan adat. Kampung tersebut diketahui banyak ditinggali oleh warga Sumedang eks transmigran dari daerah-daerah di Indonesia.
Mereka pindah ke Kampung Sempurmayung melalui program pemerintah berupa transmigrasi lokal (translok) pada sekitaran 2002-2003. Mereka terpaksa kembali ke kampung halamannya lantaran salah satu alasannya, yakni telah terjadi konflik di daerah yang ditempatinya kala itu.
Seperti yang diutarakan oleh salah satunya Maryadi atau yang akrab disapa Ade (50). Ia merupakan warga Sumedang eks transmigran dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia yang saat itu masih kecil ikut orang tuanya bertransmigrasi ke Aceh pada sekitar 1983. Masa remaja Ade terhitung banyak dihabiskan di sana. Bahkan istrinya sendiri merupakan warga sesama transmigran Aceh asal Sumedang.
"Saya nikah di Aceh, orang tua istri saya juga aslinya Sumedang yang sama-sama bertransmigra ke Aceh, jadi saya menikah dengan orang Sumedang juga," ungkap dia sambil tersenyum.
Ia bersama anak istri, orang tua dan mertuanya kembali ke Sumedang pada sekitar tahun 1999. Hal itu lantaran kondisi Aceh saat itu terjadi konflik.
"Kami pindah ke Sumedang tahun 1999 pas konflik Aceh sedang genting-gentingnya," terangnya.
Setibanya di Sumedang, ia bersama mertuanya kembali ikut program transmigrasi lokal. Saat itu, lokasi yang disediakan di wilayah Cianjur dan Sumedang.
"Kalau mertua saya kan pulangnya agak duluan jadi mertua saya terpilih di tempatkan di Cianjur, sementara saya terpilih untuk di tempatkan di Desa Cimarga," paparnya.
Saat itu, kata dia, program translok di Sumedang sendiri ditempatkan di dua titik di desa Cimarga, yaitu Kampung Margawati dan Kampung Gunung Lingga. Ia pun akhirnya memilih untuk tinggal di Gunung Lingga atau bernama Kampung Sempurmayung.
Saat itu, ia awalnya merasa aneh dengan bentuk bangunan yang disediakan bagi warga traslok di Kampung Sempurmayung. Pasalnya, bentuk bangunannya cukup unik dan seragam menyerupai perkampungan adat.
"Awalnya aneh saja, karena di tempat-tempat lain di daerah trasmigrasi, bangunannya tidak seperti itu," ungkapnya.
Ia baru tahu kenapa bentuk bangunannya seragam setelah mendengar perkataan dari Kepala Desa (Kades) yang saat itu dijabat oleh Darmo dengan Bupatinya saat itu yang masih dijabat oleh Misbach.
"Jadi perkampungan Sempurmayung ini tujuan awalnya akan dijadikan sebagai kampung wisata," terangnya.
Abah Karta (73), warga tetangga dari kampung Sempurmayung atau warga Dusun Cipeundeuy menuturkan, Kampung Adat Sempurmayung berdiri diawali oleh kegiatan saresehan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten pada sekitar 2003.
"Jadi sepengetahuan abah mah, waktu itu Gubernur dan Bupati sepakat untuk membuat sebuah perkampungan di sini lalu pada 2014 ramai pada pindah ke sini," ungkapnya.
Karta menambahkan, warga yang mendiami kampung adat Sempurmayung banyak di antaranya merupakan warga Sumedang eks transmigran dari Aceh, Kalimantan, Papua dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
"Awalnya ada sekitar 150-an kepala keluarga yang pindah ke sini namun akhirnya disebar juga ke dusun tetangga lainnya," ujarnya.
Kampung Adat Sempurmayung saat ini ditinggali oleh lebih dari 60 Kepala Keluarga (KK) dengan sekitar 56 unit rumah yang ada. Dari jumlah itu, beberapa di antaranya masih mempertahankan bentuk awal dari bangunan rumah tersebut.
(mso/mso)