Mungkin nama Gunung Jayanti belum begitu dikenal luas di Indonesia, namun bagi masyarakat Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi gunung dengan tinggi sekitar 400 MDPL itu menyimpan sejarah pertarungan terakhir Pajajaran di wilayah Selatan.
Banyak versi mengenai asal nama Gunung Jayanti, namun yang paling populer nama Jayanti diambil dari nama seorang senopati kerajaan Pajajaran bernama Jaya Antea yang kemudian berkhianat dan bersekutu dengan Kerajaan Demak, Cirebon dan Banten untuk menghancurkan Pajajaran.
"Konon dalam kisah rakyat, Gunung Jayanti adalah tempat pertempuran terakhir masyarakat pajajaran di wilayah selatan. Raga Mulya sang Raja Pajajaran terakhir Ketika posisinya sudah terjepit oleh tekanan Banten, membebaskan pengikutnya untuk memisahkan diri ke segala penjuru," kata Irman Firmansyah, Ketua Yayasan Dapuran Kipahare kepada detikJabar, Rabu (21/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian yang setia pada raja akhirnya benar benar pergi ke selatan yang dalam pantun Bogor disebutkan rutenya adalah Pakuan, Bantar Gadung dan akhirnya Palabuhanratu. Namun pelarian ke selatan ini penuh dengan peperangan karena Pasukan Banten masih tetap mengejar sisa sisa pasukan yang setia kepada Raga Mulya.
"Kisah ini juga bercampur dengan drama pedih percintaan serta epic peperangan yang penuh darah dan airmata. tokoh sentralnya adalah Nyi Mas Purnamasari yang sedang mengandung, yang mendampingi suaminya yang bernama Raden Kumbang Bagus Setra serta wakil dari kerajaan bernama Rakean Kalang Sunda menghadapi musuh yang dipimpin Jaya Antea," cerita Irman.
"Konon Jaya Antea bergabung dengan musuh (Kerajaan Banten) karena dendam cintanya ditolak oleh Nyi Mas Purnamasari. Pasukan Nyi Purnamasari terus berkurang karena tewas, kabur atau terkena penyakit sehingga yang tersisa hanya mereka bertiga," sambung Irman.
Dalam sebuah pertarungan di Bantargadung antara Jaya Antea dan Raden Kumbang Bagus Setra, diceritakan tiba-tiba bumi terbelah dua. Raden Kumbang terperosok ke dalamnya, sementara itu Nyi Mas Purnamasari dan Rakean Kalang Sunda lari ke hutan hingga bertahan di Sungai Cimandiri.
"Kala itu Jaya Antea terus mengejar mereka dan bertarung dengan kalang Sunda hingga ke Gunung Jayanti. Jaya Antea terdesak, tiba-tiba senjata kujang Rakean Kalang Sunda jatuh dan konon menjadi Area Sembah Jaya Tias. Namun Kalang Sunda masih Digjaya, Jaya Antea berhasil ditendang hingga jatuh ke laut dan menjadi ikan. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa jaya Antea menjadi buaya putih di Goa Lalay," papar Irman.
Hingga kemudian gunung tempat pertempuran tersebut akhirnya disebut sebagai Jayanti yang diambil dari mantan senopati kerajaan Pajajaran Jaya Antea.
Namun dalam babad kisah lain, ada juga yang menyebutkan bahwa Jayanti maknanya adalah kejayaan yang dinanti nanti. Hal ini terkait dalam pantun-pantun sunda buhun dari Bogor yang menyebutkan bahwa Kejayaan Pajajaran akan datang dari Palabuhanratu.
"Bulan Desember 1926 Residen Buitenzorg menemuan tulisan yang menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi belum meninggal, tetapi menghilang (mokswa) dan menjadi dewa pelindung. Tanda tanda kedatangan ratu ke tujuh juga sudah banyak terpenuhi dan nantinya Pemerintah Hindia Belanda akan jatuh oleh bangsa kuning yang memerintah seumur jagung," ungkap Irman mengisahkan.
"Kemudian datanglah ratu ketujuh tersebut dari Pelabuhanratu dan menuju ke Batu Tulis kemudian ke Lawang Saketeng dan memasuki Keraton. Hal ini dianggap angin lalu saja oleh pemerintah, namun kenyataannya Belanda benar-benar jatuh oleh Jepang saat itu," sambungnya.
Masih dalam kisah itu, konon kedatangan Ratu Tujuh itu akan terlihat dari puncak Gunung Jayanti yang memang tingginya cukup untuk memantau kearah laut. Secara lokasi memang Gunung Jayanti strategis, karena ketinggian inilah Jepang juga membangun bunker disini untuk memantau gerak musuh dari arah Australia.
(sya/dir)