Tidak hanya merasa "digetok" pungli, AR inisial wisatawan tersebut juga mengakui mendapatkan intimidasi verbal dari oknum tersebut, bukan hanya sekali AR mendapati pungli terjadi nyaris di sejumkah tempat yang ia kunjungi bersama para traveler yang menggunakan jasanya.
"Begini Sukabumi itu, enggak ada tiket. Ribet, banyak pungli Sukabumi itu Cisolok Cipanas 50 (ribu) tadi Cibangban 40 (ribu) sekarang Karang Hawu sudah enggak jauh 100 (ribu). Ribet Sukabumi ribet, pantas pada tidak mau main di Sukabumi di sini ditagih di depan ditagih tidak ada tiketnya guys nih," ujar pria bertopi merah dengan bahsaa Sunda dalam unggahan video akun @HIC_travel seperti detikJabar, Jumat (11/3/2022).
Menurutnya, perjalanan ke Cipanas, Cisolok penuh dengan aksi pungli. Ia pun menyorot peran pemerintah dalam memberantas premanisme.
"Kami tim travel viralkan supaya jangan ada yang ke sini kepalang pusing.)," ujarnya.
Buntut Kekesalan
AR mengaku membuat unggahan itu karena buntut kekesalan sudah tiga kali dia membawa wisatawan ke kawasan Geopark Ciletuh Palabuhanratu selalu 'digetok' soal tarif parkir hingga tiket yang tidak jelas saat mengunjungi destinasi wisata di kawasan tersebut.
"Kalau yang viral itu video ketiga justru, ada tiga video yang pertama tanggal 20 Februari. Ke dua itu tanggal 5 dan 6 Maret bawa tamu ke Ciletuh, besoknya tanggal 8 Maret baru video yang viral itu," kata AR yang mewanti-wanti agar namanya diinisialkan kepada detikJabar melalui sambungan telepon.
Pengalaman tidak mengenakan yang dialami AR saat membawa puluhan wisatawan ke Karang Hawu, ia menyebut bukan kali pertama. Ia kerap diminta membayar parkir sampai Rp 100 ribu.
Menurut AR, ia tidak masalah dengan parkir tersebut selama alur restribusinya jelas. Ditambah, ia perlu laporan ke kantor terkait uang yang keluar berapapun nilainya.
"Dulu parkir enggak sampai 100 ribu. Karena saya agen travel biro perjalanan wisata juga, kan jadi bertanggung jawab atas keselamatan penumpang dari mulai berangkat sampai saya pulang kan, untuk laporan ke kantor," tuturnya.
"Saya tanya parkir berapa katanya Rp 100 ribu kang katanya, saya tanya saat itu kok mahal amat itu padahal 20 Februari masih sepi, mahal banget Rp 100 ribu. Tapi ya udah lah enggak apa-apa, saya tanya ada tiket (parkir) enggak, katanya enggak ada. Akhirnya saya minta terus dan akhirnya diminta menunggu," kata AR yang juga pengelola travel tersebut.
AR akhirnya memilih menunggu, tiket akhirnya diberikan saat acara main para tamu nyaris selesai. Lagi-lagi AR heran karena bentuk tiket dimaksud malah berupa kwitansi dengan cap stempel.
"Sampai akhirnya setelah dua jam baru ada tiket, itu pun berupa kwitansi, tanpa jelas siapa penerimanya, di situ ada cap desa. Saya tanya, saya bukan enggak mau bayar, saya sih memang selama itu ada tiket resmi, kita bayar, mau Rp 1 juta selama itu resmi enggak masalah. Saya enggak bisa laporan ke kantor seperti ini saya bilang kan, enggak biasa seperti ini," ujar dia.
Diintimidasi Verval
Soal intimidasi verbal dirasakan AR usai parkir di area pasar Palabuhanratu. Saat akan keluar dari lokasi parkiran, AR melihat ada orang yang menunggu kendaraan travel ketika kendaraan akan mundur. Saat itu, ia dimintai uang parkir lagi untuk menunggu kendaraan. AR sempat menjawab bahwa sudah bayar parkir di luar namun orang tersebut tetap memintai uang.
"Kita bilang sudah bayar parkir di luar kata mereka ya kang sing ngartos we atuh katanya da di dieu ge aya nu jaga (mengerti aja di sini juga ada yang jaga) kasih lah Rp 2 ribu dia enggak mau akhirnya Rp 5 ribu lah. Begitu mau keluar ada pos parkir tuh di pos parkir ditanya berapa mobil kang, saya bilang dua sama yang belakang, ya udah enggak ada keterangan tarif parkir biasanya kan ada bus segini, elf segini ini kan enggak ada," ujar AR.
Ia mengatakan, awalnya tiket mobil Rp 3 ribu, tetapi setelah dibayar Rp 5 ribu, pelaku kemudian meminta sejumlah uang kembali. Menurut pelaku, AR dan rombongannya telah parkir lebih dari dua jam.
"Akhirnya bayar Rp 10 ribu per mobil dua mobil jadi Rp 20 ribu tuh. Pas keluar ada pak ogah tuh nah itu pak ogah saat kita enggak ngasih itu spion mobil dipegang tuh ditungguin, kita kan enggak mau rame ya sudah lah kasih kan lalu kita berangkat langsung ke Ciletuh," bebernya.
'Getokan' tiket dan intimidasi verbal melalui bahasa-bahasa kasar kembali ditemukan AR bersama rombongan. Saat itu mereka akan melalui jalur ke Geopark Ciletuh. Saat di pertigaan kendaraan mereka kembali diadang oleh beberapa orang, lagi-lagi dalihnya adalah biaya masuk untuk melintas ke kawasan tersebut.
Dicegat Mobil
AR pun dicegat oleh para pelaku pungli di pertigaan Loji, saat dalam perjalanan ke Ciletuh. Para pelaku yang mengendarai mobil itu kemudian meminta Rp 40 ribu kepada AR. Tetapi AR menolak, akhirnya si pelaku pungli itu menurunkan tarif Rp 10 ribu. AR tetap bersikeras tak membayar, karena merasa tagihan tersebut tidak resmi.
"Kemudian dihadang lagi mobil yang belakang satu ngetokin satu lagi di depan mobil dijagain. Kang katanya Rp 10 ribu, saya tanya kan tiketnya mana, bukan soal nominal uang kan tapi kan suatu tidak kenyamanan ya. Kata mereka biasa kadieumah mun liwat kadieu kudu sakitu (ke sini kalau lewat ke sini harus (bayar) segitu) enggak ada Rp 10 ribu ada juga Rp 2 ribu saya bilang. Akhirnya mereka bilang Rp 5 ribu saja katanya. Yang enggak enak ada bahasa begini jiga nu teu ngarti wae sarua ngala duit ge go**og (seperti tidak mengerti saja sama-sama nyari uang) nah ada bahasa begitu. Akhirnya kasihlah Rp 10 ribu kita jalan," ungkap AR.
Perilaku kekerasan verbal saat dimintai uang oleh para oknum, dikatakan AR, nyaris terjadi di sejumlah lokasi. Namun ada beberapa juga yang meminta dengan cara yang sopan meskipun lagi-lagi tidak ada bukti pembayaran resmi.
"Di Vihara kawasan Loji saat parkir, masih enak sih bahasanya walaupun nominal agak gede ya tapi dia agak enak ngomongnya, kang parkirnya Rp 15 ribuan ya saya tanya tiket katanya enggak ada di vihara itu, saya jelaskan pak bukan enggak mau ngasih, ini beban di luar beban dari travel ini dari penumpang, kalau enggak tiket kita enggak bisa reimburse ke penumpang, artinya duit kita ngilang. Sampai Puncak Darma masih enak tuh, apa namanya tiketnya masih Rp 15 ribu ada tiketnya dari desa," ujar AR.
Saat masuk ke kawasan sebelum masuk Curug Cimarinjung rombongan AR kembali dicegat dan dimintai sejumlah uang. Itu terus berlanjut hingga ke kawasan di area yang sama di Curug Sodong. Beragam bahasa tidak mengenakan dihadapi AR, ia meminta restribusi dilakukan secara resmi.
"Saya tanya tiket saya jelaskan lagi bahwa tanpa tiket kami yang rugi. Kata mereka udah kang, udah biasa di sini tong sok ngaresekeun. Cuma kata penumpang nanti kita ganti, ya sudah bayar, itu pertama ke curug cimarinjung ada tiketnya dari desa di Curug Cimarinjung Rp 10 ribuan mobil. Cuma yang jadi gedenya itu justru di Curug Sodong itu dua mobil diminta Rp 60 ribu tanpa tiket, tanpa apa-apa. Memang enggak ada tiket masuk untuk karcis, untuk parkir aja saya tanya ini dari desa atau bukan, saya butuh tiket untuk laporan ke kantor. Mereka bilang sudah biasa bayar aja atuh, mobil juga mobil gede mobil wisata, kalau mobil kecil mah Rp 10 ribuan teu nanaon (enggak apa-apa). Ya udah kita bayar Rp 60 ribu," kata AR.
Tidak hanya saat perjalanan masuk ke beberapa kawasan itu, nasib serupa terjadi saat perjalanan keluar. Mereka kembali dimintai uang oleh para oknum tersebut. Bahkan uang yang sempat diberikan dilempar oleh oknum tersebut karena dianggap tidak sesuai.
"Saya bilang kan kemarin sudah, mereka bilang kan yang jaga beda lagi, kan sekarang saya yang jagana. Dua kali bayar saya bilang kalau begini yang agak kasar yang di Loji. Saya bayar lagi Rp 5 ribu itu dilempar lagi ke dalam, apa katanya Rp 5 ribu teu ngahargaan ka aing pisan (Enggak ngehargain saya), ada bahasa begitu kan, kata mereka mobil begini mah Rp 25 ribu ya udah saya bilang cuma tiketnya mana, dia bilang harese sia mah loba cacapek (susah kamu banyak omong), ya udah Rp 10 ribu katanya akhirnya 2 mobil Rp 20 ribu," ujar AR.
Sengaja Diviralkan
AR mengaku sengaja memviralkan peristiwa tidak menyenangkan saat mengantar wisatawan ke sejumlah destinasi wisata di kawasan Geopark Ciletuh Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Sebagai pelaku usaha, AR berharap pihak terkait bergerak melakukan pembenahan agar hal serupa tidak terulang kembali. Aksi pungli berupa tiket dan parkir ketika dibiarkan menurutnya akan mencoreng lokasi wisata tersebut dan membuat wisatawan kapok untuk datang kembali.
"Sebagai sesama pelaku usaha wisata, tentu harus menghindari stigma buruk pelanggan kami kepada pihak kami. Misalkan jangan sampai ada anggapan pungli-pungli itu bagian dari kami mencari keuntungan lebih dari lokasi wisata. Jadi wisatawan ada yang beranggapan ah paling akal-akalan sopir (travel), nyari uang lebih dapat bagi dua. Jadi dianggapnya kita dapat dari para oknum ini, tentu hal ini kan tidak baik juga," kata AR kepada detikJabar, Jumat (11/3/2022).
Dalam beberapa rentetan kejadian AR juga kerap ngotot meminta bukti tiket atau karcis, menurutnya ketika hal itu tidak diberikan maka kru travel yang akan menombok uang tersebut karena tidak adanya bukti yang diberikan.
"Kalau ada bukti kan kita bisa reimburse ke klien, atau bukti kami juga ke perusahaan (travel). Kalau tidak ada ya akhirnya kita nombok," ujarnya.
Selain itu ketika ada retribusi resmi, AR yakin hal itu akan menjamin kenyamanan wisatawan karena dengan tiket dan karcis resmi ada jaminan asuransi dan pemasukan iuran wisata ke daerah yang dituju.
"Enggak masalah mau tagih Rp 1 juta juga enggak masalah, cuma yang jadi masalah ini satu saya travel saya bawa penumpang artinya keselamatan mereka dari mulai berangkat sampai pulang jadi tanggung jawab saya. Nah kata saya begini kalau di tempat wisata ada kejadian kecelakaan mau besar mau kecil apalagi amit-amit sampai meninggal dunia, saya harus minta pertanggungjawaban ke siapa? Ketika resmi kan ada asuransi ada iuran wisata dan sebagainya," harap AR.
"Apalagi kita anak Jawa Barat ya, banyak tujuan destinasi apalagi Sukabumi kan masuk UNESCO ya kawasan Geopark Ciletuh harapan kita yang begitu beresinlah, misalkan Pangandaran ya, rapi disana itu semuanya jelas. Memang tempat wisata terkenal mahal, hanya kalau tidak wajar kan menjatuhkan tempat itu sendiri ya," pungkas dia.
Tanggapan Dinas Pariwisata
Dikonfirmasi detikJabar, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi Sigit Widarmadi mengaku sudah mengetahui soal ramainya pungli di kawasan wisata. Ia menyebut pihaknya sudah memberikan imbauan ke berbagai pihak agar hal itu tidak terjadi.
"Pertama kaitan pungli, kita sudah pernah mendengar itu terjadi. Kita sudah sering mengimbau ke teman-teman kelompok sadar wisata supaya memberikan kesadaran dengan apa, pokoknya harus menjaga itu satu supaya wisatawan tidak kapok," kata Sigit.
"Kedua, tidak semua titik wisata itu menjadi kewenangan dinas pariwisata. Jadi yang masuk dengan tiket wisata itu dibuktikan dengan tiket, ada resmi nilai rupiah masuk ke kas daerah. Yang diluar tiket itu kan ada yang dikelola oleh desa, ada yang private, masyarakat, dan ada yang memang free space tidak boleh ditiket," ungkap Sigit.
Kewenangan Dispar, menurutnya hanya sebatas di titik-titik resmi yang ditentukan dan seluruhnya berdasarkan Peraturan Daerah (Perda).
"Nah, kewenangan kita itu di tiket berdasarkan Perda. Pertama, Geyser Cipanas itu masih ditutup karena masih proses pembangunan, kedua Ujung Genteng, yang ketiga Mina Jaya, keempat itu Pondok Halimun," jelasnya.
"Cinumpang di luar itu kita tidak memberlakukan tiket. Nah, kita memberikan sosialisasi ke tempat sekitar situ. Nah, ketika ada yg melakukan itu wisatawan mesti menyadari kalau ada yang tidak ditiket itu berarti oknum-oknum yg tidak bertanggung jawab," sambung Sigit.
(sya/yum)