Pengalaman tidak menyenangkan dialami seorang pengelola travel inisial AR saat berkunjung ke kawasan wisata Geopark Ciletuh Palabuhanratu. Ia menuangkan unek-uneknya melalui akun Instagram HIC_Travel yang kemudian dibagikan ulang oleh pengguna media sosial lainnya.
Kepada detikJabar, AR juga mengaku mendapat intimidasi verbal saat adu tawar dengan beberapa oknum yang meminta uang parkir dan tiket. Ia berharap hal itu tidak menjadi kebiasaan mengingat kawasan itu masuk ke dalam area yang diakui oleh UNESCO dan digelari sebagai kawasan Geopark Ciletuh Palabuhanratu.
"Bulan Maret, saya bawa staf rumah sakit sama beberapa orang dinas dari luar daerah tujuan Ciletuh saya ke Pasar Palabuhan dulu, ketika parkir di luar disuruh (masuk) ke dalam kan, ya udah ke dalam. Bawa satu Hi Ace dan Elf type long, sekitar 34 penumpang. Parkir masuk ke Pasar Palabuhan, katanya parkir di dalam Rp 3 ribu memang di tiket 3 ribu, cuma tiket parkirnya kan manual jadi jam masuk dan jam keluarnya enggak sesuai," kata AR kepada detikJabar, Jumat (11/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat akan keluar, AR melihat ada yang menunggu kendaraan travel ketika kendaraan akan mundur. Saat itu, ia dimintai uang parkir lagi untuk menunggu kendaraan. AR sempat menjawab bahwa sudah bayar parkir di luar namun orang tersebut tetap memintai uang.
"Kita bilang sudah bayar parkir di luar kata mereka ya kang sing ngartos we atuh katanya da di dieu ge aya nu jaga (mengerti aja di sini juga ada yang jaga) kasih lah Rp 2 ribu dia enggak mau akhirnya Rp 5 ribu lah. Begitu mau keluar ada pos parkir tuh di pos parkir ditanya berapa mobil kang, saya bilang dua sama yang belakang, ya udah enggak ada keterangan tarif parkir biasanya kan ada bus segini, elf segini ini kan enggak ada. Diawal kan bilang tiket mobil rata Rp 3 ribu, tapi pas di tiket itu kita kasih Rp 5 ribu dimintain lagi ini sudah mau 2 jam katanya perasaan kita hanya satu jam karena kita bawa tamu enggak mau ribet ya sudah kita bayar saja, akhirnya bayar Rp 10 ribu permobil dua mobil jadi Rp 20 ribu tuh. Pas keluar ada pak ogah tuh nah itu pak ogah saat kita enggak ngasih itu spion mobil dipegang tuh ditungguin, kita kan enggak mau rame ya sudah lah kasih kan lalu kita berangkat langsung ke Ciletuh," bebernya.
'Getokan' tiket kembali ditemukan AR bersama rombongan. Saat itu mereka akan melalui jalur ke Geopark Ciletuh. Saat di pertigaan kendaraan mereka kembali diadang oleh beberapa orang, lagi-lagi dalihnya adalah biaya masuk untuk melintas ke kawasan tersebut.
"Di perjalanan ke Ciletuh, di pertigaan Loji yang mau ke Viharanya, itu perempatan kan yang ke bawah itu dicegat mobil enggak boleh lewat, dicegat mobil pertama Hi Ace ditanyain berapakan katanya yang depan asalnya bilang Rp 40 ribu, saya nanya ini kan perempatan bukan tiket dia bilang ya sudah Rp 10 ribu katanya, sama yang depan yang bawa kebetulan bagian keuangan kita kan ya sudah bayar lewat kalau saya kan enggak bisa begitu, kemudian dihadang lagi mobil yang belakang satu ngetokin satu lagi di depan mobil dijagain. Kang katanya Rp 10 ribu, saya tanya kan tiketnya mana, bukan soal nominal uang kan tapi kan suatu tidak kenyamanan ya. Kata mereka biasa kadieumah mun liwat kadieu kudu sakitu (ke sini kalau lewat ke sini harus (bayar) segitu) enggak ada Rp 10 ribu ada juga Rp 2 ribu saya bilang. Akhirnya mereka bilang Rp 5 ribu saja katanya. Yang enggak enak ada bahasa begini jiga nu teu ngarti wae sarua ngala duit ge go**og (seperti tidak mengerti saja sama-sama nyari uang) nah ada bahasa begitu. Akhirnya kasihlah Rp 10 ribu kita jalan," ungkap AR.
Perilaku kekerasan verbal saat dimintai uang oleh para oknum, dikatakan AR, nyaris terjadi di sejumlah lokasi. Namun ada beberapa juga yang meminta dengan cara yang sopan meskipun lagi-lagi tidak ada bukti pembayaran resmi.
"Di Vihara kawasan Loji saat parkir, masih enak sih bahasanya walaupun nominal agak gede ya tapi dia agak enak ngomongnya, kang parkirnya Rp 15 ribuan ya saya tanya tiket katanya enggak ada di vihara itu, saya jelaskan pak bukan enggak mau ngasih, ini beban di luar beban dari travel ini dari penumpang, kalau enggak tiket kita enggak bisa reimburse ke penumpang, artinya duit kita ngilang. Sampai Puncak Darma masih enak tuh, apa namanya tiketnya masih Rp 15 ribu ada tiketnya dari desa," ujar AR.
Saat masuk ke kawasan sebelum masuk Curug Cimarinjung rombongan AR kembali dicegat dan dimintai sejumlah uang. Itu terus berlanjut hingga ke kawasan di area yang sama di Curug Sodong. Beragam bahasa tidak mengenakan dihadapi AR, ia meminta restribusi dilakukan secara resmi.
"Saya tanya tiket saya jelaskan lagi bahwa tanpa tiket kami yang rugi. Kata mereka udah kang, udah biasa di sini tong sok ngaresekeun. Cuma kata penumpang nanti kita ganti, ya sudah bayar, itu pertama ke curug cimarinjung ada tiketnya dari desa di Curug Cimarinjung Rp 10 ribuan mobil. Cuma yang jadi gedenya itu justru di Curug Sodong itu dua mobil diminta Rp 60 ribu tanpa tiket, tanpa apa-apa. Memang enggak ada tiket masuk untuk karcis, untuk parkir aja saya tanya ini dari desa atau bukan, saya butuh tiket untuk laporan ke kantor. Mereka bilang sudah biasa bayar aja atuh, mobil juga mobil gede mobil wisata, kalau mobil kecilmah Rp 10 ribuan teu nanaon (enggak apa-apa). Ya udah kita bayar Rp 60 ribu," kata AR.
Tidak hanya saat perjalanan masuk ke beberapa kawasan itu, nasib serupa terjadi saat perjalanan keluar. Mereka kembali dimintai uang oleh para oknum tersebut. Bahkan uang yang sempat diberikan dilempar oleh oknum tersebut karena dianggap tidak sesuai.
"Saya bilang kan kemarin sudah, mereka bilang kan yang jaga beda lagi, kan sekarang saya yang jagana. Dua kali bayar saya bilang kalau begini yang agak kasar yang di Loji. Saya bayar lagi Rp 5 ribu itu dilempar lagi ke dalam, apa katanya Rp 5 ribu teu ngahargaan ka aing pisan (Enggak ngehargain saya), ada bahasa begitu kan, kata mereka mobil begini mah Rp 25 ribu ya udah saya bilang cuma tiketnya mana, dia bilang harese sia mah loba cacapek (susah kamu banyak omong), ya udah Rp 10 ribu katanya akhirnya 2 mobil Rp 20 ribu," ujar AR.
Di perjalanan berikutnya, saat ke Cipanas (Geyser Cisolok) rombongan diminta membayar Rp 50 ribu, lagi-lagi tanpa tiket. AR sempat kembali menanyakan soal tiket, namun jawaban aneh kembali didengar AR.
"Kata mereka ga ada riketnya di sinimah abus we (masuk saja). Okelah bayar karena enggak mau ribut, karena (mobil) dihalangin cone orange kan. Sebelum area parkir ada bangunan baru di atas sedikit lokasinya. Turun kita ke bawah kita didatangin lagi sama tukang parkir katanya Rp 20 ribu bayar sekarang, saya bilang kan di atas sudah bayar dia jawab di atas beda lagi buat tiket masuk, saya nanya lagi dong tiketnya mana kata dia disini enggak usah nanya tiket-tiket lah kang kayak baru ke sini saja. Mending kata dia Rp 20 ribu biasanya saya tagih Rp 50 ribu kata dia, karena saya enggak mau ribet saya bayar kan sambil saya videoin. Nah saat tamu masuk ke dalam mau ke area sungai ditagih lagi Rp 10 ribu per orang, sedangkan saya bawa orang 20 jadi Rp 200 ribu," tutur AR.
"Saya jelaskan lagi, tempat wisata itu ada tiketnya ada iuran wisatanya kalaupun ada apa-apa saya minta tanggung jawab akang bisa berkelit saya enggak bisa minta dasar karena tidak ada tiketnya ribut lah di situ, kata dia wisata lah sing anteng. Pas pulang ada intimidasi verbal, kata dia siamah riweuh jadi sopir travel teh abus we wisata teu kudu gandeng teu kudu riweh (Kamu rusuh, jadi sopir travel. Masuk saja berwisata tidak usah berisik tidak usah merusuh) akhirnya kita pulang, saya naikin di video enggak tahu bakalan jadi viral," pungkas AR menambahkan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi Sigit Widarmadi mengaku sudah mengetahui soal ramainya pungli di kawasan wisata. Ia menyebut pihaknya sudah memberikan imbauan ke berbagai pihak agar hal itu tidak terjadi.
"Pertama kaitan pungli, kita sudah pernah mendengar itu terjadi. Kita sudah sering mengimbau ke teman-teman kelompok sadar wisata supaya memberikan kesadaran dengan apa, pokoknya harus menjaga itu satu supaya wisatawan tidak kapok," kata Sigit.
"Kedua, tidak semua titik wisata itu menjadi kewenangan dinas pariwisata. Jadi yang masuk dengan tiket wisata itu dibuktikan dengan tiket, ada resmi nilai rupiah masuk ke kas daerah. Yang diluar tiket itu kan ada yang dikelola oleh desa, ada yang private, masyarakat, dan ada yang memang free space tidak boleh di tiket," ungkap Sigit.
(sya/mso)










































