"Tragedi Kanjuruhan merupakan pelaksanaan pertandingan sepak bola paling buruk sepanjang sejarah persepakbolaan di Indonesia," ungkap Jafar Sidik belum lama ini.
Bukan tanpa alasan Jafar mengutarakan hal demikian. Pasalnya, masih belum lekang dalam ingatan saat ia menjadi seorang pemain sepakbola. Ia mengenang laga final Divisi Utama Perserikatan antara Persib Bandung vs PSMS Medan di Stadion Utama Senayan (Gelora Bung Karno) pada 1985.
Menurutnya, jika ditinjau dari segi jumlah penonton maka laga Arema FC vs Persebaya Surabaya yang digelar di Stadion Kanjuruhan, belum seberapa jika dibanding pada saat laga waktu itu.
"Dulu saat saya jadi pemain bola, saat Persib melawan PSMS Medan pada sekitar tahun 1984 - 1985, penonton itu rekor di Stadion Senayan, penonton itu penuh banget tapi tidak terjadi kejadian seburuk seperti sekarang ini," terangnya.
Sekadar diketahui dalam beberapa sumber disebutkan bahwa laga final yang mempertemukan Persib Bandung vs PSMS Medan pada tahun 1985, disebut-sebut sebagai laga cukup bersejarah dalam sepakbola tanah air bahkan dunia. Hal itu lantaran jumlah penontonnya yang mencapai hingga 120 ribu - 150 ribu orang.
Maka jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada saat tragedi di stadion Kanjuruhan, Malang, itu jumlahnya mencapai tiga kali lipat bahkan lebih. Jafar pun menilai bahwa pelaksanaan pertandingan antara Arema FC vs Persebaya Surabaya menjadi pelaksanaan terburuk dalam sejarah sepakbola Indonesia.
Padahal, sambung Jafar, jika ditinjau dari sisi fanatisme sepak bola, atmosfer dulu dan sekarang tidak jauh berbeda bahkan dulu lebih mengarah kepada fanatisme kedaerahan. "Kita lihat dari sisi fanatisme, dulu fanatismenya kurang bagaimana, dulu itu fanatismenya, fanatisme kedaerahan dan boleh dibilang kosonglah Jawa Barat ini kalau Persib main, semua berbondong-bondong ke Stadion Senayan," katanya.
Menurut Jafar, perbedaan paling menonjol antara dulu dan sekarang, salah satunya adalah dari sisi karakter suporter. Selain itu, panitia pelaksana pertandingan pun memiliki protap (Prosedur Operasi Standar) yang jelas saat menyelenggarakan pertandingan.
"Kalau dulu saya menilai protap dari penyelenggara dan pihak keamanan jelas saat pertandingan sepak bola dan suporter juga tidak sebrutal seperti sekarang, saya juga tidak paham fanatisme suporter sekarang ini bisa sebrutal ini, padahal kalau dulu itu suporter bisa dikendalikan," ujarnya.
Selaku mantan pemain di era 80-90an yang kini menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Sumedang, Jafar berharap pihak berwajib dapat mengusut tuntas tragedi di stadion Kanjuruhan.
"Selain itu, saya pun berharap tragedi Kanjuruhan dijadikan pelajaran penting bagi semua pecinta sepak bola di Indonesia, jangan ada lagi tragedi seperti ini, jangan ada lagi korban jiwa akibat sepak bola karena sedianya sepak bola itu untuk menjalin persahabatan dan menjalin persatuan," jelasnya.
Tragedi Kanjuruhan pecah seusai laga Arema FC melawan Persebaya, Sabtu (1/10). Kerusuhan berawal saat ada sebagian penonton yang masuk ke lapangan. Polisi dan anggota TNI kemudian membubarkan massa. Gas air mata pun digunakan di dalam stadion. (iqk/iqk)