Didi Mainaki dan Reportase yang Mengantarnya ke Piala Dunia

Didi Mainaki dan Reportase yang Mengantarnya ke Piala Dunia

Yuga Hassani - detikJabar
Minggu, 29 Mei 2022 12:00 WIB
Didi Mainaki saat di Piala Dunia 2018 Rusia.
Didi Mainaki saat di Piala Dunia 2018 Rusia. (Foto: Istimewa)
Bandung -

Didi Mainaki tak pernah menyangka perjalan kariernya bisa sampai menginjakkan kaki di negara yang dikenal dengan sebutan Beruang Merah alias Rusia. Dalam sebulan, dirinya menghabiskan waktu di tengah perhelatan besar sepak bola Piala Dunia 2018.

Ia didaulat untuk melakukan peliputan Piala Dunia saat ini. Jelas momen langka karena hanya bisa dirasakan segelintir jurnalis dari Indonesia. Didi pun membagi kisahnya soal perjalanannya.

Meski reporter senior di Radio Republik Indonesia (RRI), Didi mengaku tetap melalui tes terlebih dahulu untuk bertugas di Piala Dunia. Bahkan tes tersebut dilakukan bersama reporter RRI di seluruh Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Awal proses ke sana ya melalui testing. Jadi reporter RRI se-Indonesia itu di-testing di Jakarta, terus diuji di berbagai sisi, dari pengetahuan bolanya, kemudian cara melakukan siaran langsungnya, dan di tes bahasa Inggrisnya. Alhamdulillah melalui testing tersebut saya terpilih bersama almarhum Firman Sagindo dari RRI Jakarta," ujar Didi kepada detikJabar belum lama ini.

Didi Mainaki saat di Piala Dunia 2018 Rusia.Didi Mainaki saat di Piala Dunia 2018 Rusia. Foto: Istimewa

Didi menuturkan, bisa meliput Piala Dunia menjadi pencapaian paling tinggi. Apalagi kata dia, kesempatan bisa meliput perhelatan tersebut sangat tidak mudah.

ADVERTISEMENT

"Naik hajinya wartawan sepak bola adalah sudah meliput Piala Dunia. Saya alhamdulillah sudah satu kali meliput Piala Dunia di Rusia pada tahun 2018," katanya.

"Saya pikir liputan di Rusia menjadi perjalanan jurnalistik yang paling tinggi menurut saya sampai saat ini," tambahnya.

Didi mengungkapkan, ada hal berbeda saat melakukan peliputan di Indonesia dan di Rusia pada Piala Dunia 2018. Kata dia, hanya orang-orang tertentu yang bisa memasuki akses khusus.

"Kalau di sana memang hanya orang-orang yang punya akses saja yang bisa masuk. Tanpa dibekali dengan ID Card ya tidak bisa masuk. Bahkan banyak wartawan dari Indonesia yang liputan di sana, tapi mereka hanya liputan di luar, artinya meliput sisi-sisi lainnya saja, kayak nonton bareng, pusat-pusat perbelanjaan," ucapnya.

"Kalau saya, kebetulan RRI itu menjadi media official adio Piala Dunia World Cup 2018. Jadi kita punya akses khusus untuk masuk ke stadion-stadion yang menggelar pertandingan," jelasnya.

Didi mengatakan, dalam peliputan Piala Dunia 2018 disediakan ruangan khusus bagi reporter-reporter di seluruh dunia. Sehingga bisa berbaur dengan reporter dari berbagai belahan dunia itu menjadi kebanggan tersendiri bagi dirinya.

"Kita dikasih ruangan khusus untuk radio-radio di seluruh dunia. Itu kebanggaan saya bisa liputan di sana. Jadi tidak hanya kebanggaan buat, saya tapi juga buat keluarga. Mungkin akan sulit kalau untuk diulangi lagi," ucap Didi.

Ia mengaku mendapat pelajaran berharga dalam melakukan reportase pada perhelatan tersebut. Bahkan tak segan ia belajar dari penyiar-penyiar radio dari negara lain.

"Saya termasuk orang yang tidak alergi untuk belajar atau mengadopsi apapun dari manapun. Saya lebih banyak terinspirasi dari radio-radio dari Amerika Latin. Ngomongnya lebih cepat, dan ketika gooool itu (sambil mempraktekan). Saya pikir itu bagus untuk saya terapkan di radio saya bekerja. Alhamdulillah para pendengar senang menanggapi itu, jadi saya pikir kita harus terus belajar," katanya.

"Di dunia broadcasting itu dinamis, jadi setiap hari berkembang. Karakter pendengar pun berkembang seiring perkembangan zaman. Jadi bagi saya bukan hal tahu ketika harus mengadopsi hal-hal seperti itu," jelasnya.

Dia mengatakan dari segi suporter pun terdapat perbedaan dalam memberi dukungan bagi tim kesayangannya. Menurutnya, suporter luar negeri lebih disiplin.

"Pertandingan pertama kalau enggak salah Rusia lawan tim dari Afrika, di sana saya menyaksikan bagaimana euforianya penonton kalau dibandingkan dengan di Indonesia. Animonya sama, karakternya juga sama, cuma hanya yang membedakan di sana mereka lebih disiplin, di sana mereka lebih sportif. Jadi ketika timnya kalah, ya sudah," kata Didi.

Didi Mainaki saat di Piala Dunia 2018 Rusia.Didi Mainaki saat di Piala Dunia 2018 Rusia. Foto: Istimewa

Menurutnya, suporter luar negeri riuh satu sama lain tersebut hanya saat pertandingan. Di luar itu, suporter di sana tetap berdampingan.

"Mereka ramai ketika sedang bertanding saja, tetapi ketika sudah selesai, ya pulang. Bahkan di jalan itu saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri mereka bareng-bareng kedua suporter berjalan bersama menuju kendaraan massal. Ada yang menuju kereta bawah tanah atau ke kendaraan umum lainnya. Nah itu yang membedakan di Rusia dan di Indonesia," tuturnya.

"Dengan itu Indonesia masih perlu banyak belajar bagaimana menjungjung tinggi respek," tegasnya.

Bahkan menurutnya beberapa suporter di belahan dunia memiliki ciri khas masing-masing. Itu menjadi sesuatu dan pengetahuan yang baru baginya.

"Saya bisa melihat karakter orang dari belahan dunia, suporter belahan dunia. Oh ternyata orang Jepang mah darisiplin (pada disiplin) nih, sampah juga dipungutan (dibersihkan) setelah pertandingan. Oh pendukung inggris mah ekspresif ketika memberikan dukungan, sambil minum bir, segala macam. Kroasia juga sama kaya gitu. Oh pendukung Arab mah parake (pada pakai) gamis. Ya jadi pengetahuan tersendiri bagi saya," katanya.

Didi menyebutkan, dalam peliputan Piala Dunia 2018 hampir tidak pernah mengalami duka ataupun kesedihan. Pasalnya yang dialami saat peliputan banyak pelajaran baru.

"Kalau saya boleh jujur tidak ada duka ketika berada di Rusia. Kebanyakan di sana itu suka aja. Saya bisa berinteraksi dengan ribuan wartawan dari seluruh dunia, walaupun dengan bahasa terbatas. Tapi kan tidak semua paham bahasa Inggris. Yang penting bahasa tatar saja nyampai," jelasnya.

"Prinsip saya, kerja menyalurkan hobi itu ya ini. Liputan itu bagi saya mah tidak ada keterpaksaan. Malah rindu terus, tidak kapaksa (terpaksa) kerja tuh. Suka aja. Mau maen malam, mau jauh, suka aja, karena memang kitanya hobi. Tah gini ketika kerja dibarengi dengan hobi, dibayar pula, udah enak gimana lagi," katanya.

"Jadi banyak hal positif ketika ke sana dan itu menjadi pengalaman jurnalistik yang paling tinggi yang saya rasakan. Mungkin tidak semua orang bisa mengalami hal tersebut. Makanya saya bersyukur sekali diberikan kesempatan, diberikan talenta bisa ke sana," pungkasnya.




(ors/ors)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads