Founder dan Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi meriset kelemahan dan pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan empat bakal pasangan calon (bapaslon) di Pilgub Jabar 2024. Hal itu ia ungkapkan saat rilis Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia tentang prediksi suara pada empat bakal pasangan calon (bapaslon) Pilgub Jabar 2024.
Pasca pencalonan Ridwan Kamil di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, suara pendukung Ridwan Kamil diprediksi mengarah ke pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan. Hal itu nampak dalam survei yang Indikator lakukan pada pada 2-8 September 2024 lalu. Survei disebarkan pada 1.200 orang pemegang hak pilih, dilakukan dengan multistage random sampling.
Nama Dedi Mulyadi juga muncul dalam top of mind di warga Jabar. Namanya disebut langsung oleh 40,7 persen partisipan. Tapi apakah posisi Dedi Mulyadi segitu kuatnya? Bagaimana jika dibandingkan kandidat lainnya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menaikkan Popularitas
Burhan menilai, yang membuat survei mantan Bupati Purwakarta dua periode dan Anggota DPR RI 2019-2023 itu tak terkalahkan, sebab mampu memanfaatkan segala platform media sosial. Kang Dedi Mulyadi (KDM), begitu biasa dikenal, dinilai mampu membangun komunikasi dengan masyarakat sejak lama.
"Alasan memilih itu kami tanyakan, paling dominan di Jabar itu faktor popularitas. Jadi kekuatannya di sini mungkin karena dia rajin muter, atau karena lawannya belum panaskan mesin. Dia kan pernah maju meski jadi calon wakil gubernur, tapi sudah punya jejak elektoral yang panjang," ucap Burhan.
Kang Dedi menggandeng Erwan Setiawan, anak bos Persib Umuh Muchtar yang jelas juga punya kepopuleran di mata Bobotoh. Sebetulnya, pola popularitas ini juga nampak pada kandidat lainnya, yakni Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie, Acep Adang-Gita KDI, dan Jeje Wiradinata-Ronal Surapradja. Namun, Burhan melihat Dedi-Erwan populer secara merata.
"Jadi sebetulnya Dedi Mulyadi itu unggul karena simply orang belum mengenal kandidat lain. Suara Dedi merata hampir semua wilayah di Jabar, kecuali di Bekasi dan Banjar. Dedi disinggung pemilihnya banyak di pedesaan, lalu mungkin suara terbanyak dari wilayah Purwakarta dan Pantura," ucap Burhan.
"Nah Syaikhu juga sama, basis pemilihnya mayoritas dari relawan PKS atau dari Bekasi karena pernah jadi Wakil Wali Kota Bekasi. Simply karena calon lain tidak sepopuler Demul (Dedi Mulyadi). Pemilih Syaikhu itu dari basis Bekasi dan PKS karena dia presidennya, jadi sangat lokal," sambungnya.
Dalam riset 'Peta Elektoral Terkini Pilkada Jawa Barat' itu, turut hadir pula Pengamat Politik Unpad Firman Manan dan Dekan Fakultas Dakwah & Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto.
Senada dengan Burhan, Gun Gun menilai kuatnya relawan menjadi kunci pemenangan, sekaligus mendorong popularitas. Ia melihat, basis PKS atau Syaikhu-Habibie kuat di perkotaan, tapi kurang di pedesaan. Sementara Dedi-Erwan kuat di pedesaan, tapi tidak di perkotaan.
"Kuatnya relawan di bawah jadi daya ikat. PKS kuat di perkotaan tapi lemah di pedesaan karena disparitas wilayah yang tinggi di Jabar. Jadi tidak mudah, bahkan ada persepsi PKS di wilayah desa tak terlalu positif," kata Gun Gun.
Sementara itu, Jeje-Ronal sebetulnya cukup populer, tapi dengan segmennya masing-masing. Jeje populer di Pangandaran dan sekitarnya, Ronal memang belum kelihatan polanya di dunia politik tapi suaranya dari kalangan artis.
Sama halnya dengan Acep-Gita, yang punya ketenaran. Tapi lagi-lagi segmennya masih terbatas. Proses saat ini sampai masa kampanye, kata Gun Gun, keempat pasangan kekuatannya akan sangat ditentukan dari komunikasi politik, branding, dan pemasaran mereka.
"Jeje punya daya ikat politik di Pangandaran jadi itu bisa memberikan sumbangsih. Ronal memang belum kelihatan polanya. Keduanya mungkin dapat suara dari segmen partisipan PDIP. Jadi untuk keduanya, harus punya agenda yang intens setelah dipasangkan," ucapnya.
"Acep ya kelebihannya suara dari Pesantren ya, sebagai Ketua Dewan Syuro PKB, akar rumput pesantren yang suaranya lumayan. Tapi kan belum optimalisasi di luar itu. Kang Acep belum terlalu dikenal dan penting untuk keluar dari basis utamanya. Lalu Gita bisa ambil segmen satu-satunya perempuan, ini positioning meski narasinya belum muncul dari Gita untuk menguatkan sosok Acep di Pilgub," sambung Gun Gun.
Memperlebar Kekuatan
Acep-Gita dan Jeje-Ronal, menurut Gun Gun perlu memperlebar basis kekuatannya. Tingkat popularitas Jeje sangat segmented dan terbatas, jadi perlu diperluas. Kerja pemasaran politik perlu dilakukan secara multiplatform, mirip seperti pola Dedi Mulyadi.
"Kalau Kang Dedi ini kuat di Budaya Nyunda dalam kerjanya, ini akan memperkuat kandidat di wilayah political marketingnya. Komunikasi politik di Jabar itu gayanya equaliter atau turun ke bawah, merangkul. Elitisme yang berjarak dengan berbgai kesadarannya akan lemah. Jabar adalah wilayah sebaran desa lebih banyak, dengan wilayah pelosoknya luar biasa, gaya politik jadi kunci," ucap Gun Gun.
Maka, keempat kandidat sebetulnya butuh membidik isu sederhana dengan problem solvingnya. Seperti isu soal pupuk, distribusi, padi, beras, dan basic need lainnya.
Gun Gun juga menyetujui analisis yang dipaparkan Indikator Politik Indonesia. Menurutnya, Dedi Mulyadi memang terlihat melejit, tapi khawatir hanya melejit sendirian tanpa nama Erwan. Jadi, Golkar harus terus semangat untuk menaikan popularitas Erwan juga.
"Erwan kan juga punya pengalaman di dunia politik, jadi ini modal politik di kontes Pilgub Jabar. Parpol di antaranya yang mengusung juga kuat yakni Gerindra dan Golkar, suara dari pemilih Prabowo pasti signifikan. Lalu bisa juga basis komunitas seperti Bobotoh, jadi itu yang menguatkan," ucapnya.
Dalam sampel tersebut juga diketahui masih ada sekitar 16.9% dari 1.200 responden yang baru akan menentukan pilihan calon Gubernur Jawa Barat saat pencoblosan nanti. Sebanyak 24.2% memilih saat hari tenang dan 27.7% menentukan pilihan dalam kampanye resmi.
Artinya, hanya 30% yang sudah punya pilihan kuat sementara 68,8% masih bersifat swing voters atau last minutes voters. Suara-suara inilah yang bakal diperebutkan para kandidat Pilgub Jabar 2024.
Isu yang Bisa Menjegal
Soal popularitas, Dedi Mulyadi memang belum terkalahkan di Jabar. Tapi Firman Manan melihat ada celah yang berpotensi menjegal langkah Demul untuk unggul di Pilgub.
"Ada beberapa kelemahan, yakni kita mengacu Pilgub 2018, problem Dedi Mulyadi itu sentimen keagamaan atau politik identitas. Ya ini mungkin saja muncul lagi, apalagi tidak ada figur nasionalis dan religius. Ini kan munculnya pasangan keduanya nasionalis. Kalau isu itu muncul, ya akan efektif untuk kelompok pemilih muslim yang signifikan jumlahnya," kata Firman.
Posisi Dedi memang belum tentu aman. Ia kerap kali diterpa isu politik identitas atau keagamaan, isu musiman yang bisa mengancam tiap Demul nyalon jadi pejabat daerah.
Meski begitu, Firman melihat temuan-temuan ini masih bisa berubah atau volatil, mengingat pada Pilgub Jabar 2018 prediksi suara para kandidat banyak yang berubah. Selain itu, meski suara para pendukung Ridwan Kamil di Jabar berpotensi geser ke Demul, tapi masih ada PR yang harus digarap pasangan ini.
"Selain itu dalam riset juga terlihat pemilih Dedi Mulyadi kebanyakan lulusan pendidikan rendah karena dari pedesaan. Jadi kampanye di tingkat perkotaan ini belum digarap oleh Dedi-Erwan. Selain itu RK pun belum bilang akan mendukung siapa di Jabar. Jadi mungkin saja persaingan kompetitif 2018 terulang," ucapnya.
Terlalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi jelang masa kampanye dalam waktu 2,5 bulan. Firman melihat Pilgub Jabar 2024 punya beberapa perbedaan dengan Pilgub Jabar 2018. Periode sebelumnya, Pilgub berlangsung sebelum Pilpres. Syaikhu saat itu dapat banyak suara karena memang dapat momennya.
"Sudrajat-Syaikhu kan diusung Prabowo, mereka dapat momen '2019 Ganti Presiden'. Kalau hari ini beda, karena ada konsolidasi dan dugaan saya ini kita terbuka saja, ada kesepakatan di level elit jadi tidak kompetitif. Kalau ada peluang Syaikhu-Habibie, problemnya Gerindra jadi nggak punya posisi kepala darah di wilayah strategis. Tapi kalau dilepaskan, pertarungan bebas, ya bisa saja Pilgub nanti jadi kompetitif," kata Firman.
Sama dengan Firman, Burhan juga menilai terdapat perbedaan dalam Pilgub 2018 dan 2024. Jawa Barat menjadi wilayah yang dalam tiga kali Pemilu memenangkan Prabowo Subianto.
Periode sebelumnya, Prabowo mendukung Sudrajat-Syaikhu sehingga mereka dapat suara yang lumayan, sementara tahun ini Prabowo mendukung Dedi Mulyadi. Ditambah lagi periode saat ini, ada kelompok yang diprediksi bakal 'malas' mencoblos nama yang diusung PKS.
Jadi, suara Syaikhu-Habibie nampaknya tak bisa diprediksi melejit seperti periode lalu saat PKS mengusung Syaikhu.
"Ini karena kesesuaian basis Prabowo dan calon yang diusungnya. Lalu kemarin sempat muncul nama Anies dilontarkan oleh PKS. Tapi PKS malah koalisi dengan KIM Plus. Kalau pendukung Anies masih ngambek, mereka bisa enggan pilih Syaikhu-Ilham," ucap Burhan.
Burhan pun beberapa kali menyinggung pasangan Acep-Gita dan Jeje-Ronal yang nampaknya harus kerja keras. Partai pengusung masing-masing yakni PDIP dan PKB, dinilai belum benar-benar memperkenalkan calon Gubernur dan Wakil Gubernurnya.
"Gus Imin ini harus kerja keras kenalkan pasangan yang diusung di Jabar. Lalu untuk pasangan Jeje-Ronal juga jangan sekedar didaftarkan, apalagi lewat zoom. Jadi biar elektabilitas tidak serendah ini. Tapi ini fenomena sementara, kita nggak boleh mendahului takdir Tuhan," tuturnya.
Yang jelas, Burhan mengatakan bahwa keempat pasangan calon ini nantinya bisa mendulang suara, bergantung dengan seberapa kuat usaha kampanye para calon dan pendukungnya. Sebab, masyarakat Jabar tak bakal memilih calon yang mereka tidak kenal.
(aau/mso)