Tuuuutttt. Suara uap dari gerobak pedagang putu melintas di kawasan yang dikenal dengan nama Kota Paris atau Jalan Cimandiri, Kelurahan Kebonjati, Kota Sukabumi. Pria paruh baya itu berhenti untuk melayani warga yang berminat membeli kue putu.
Kepada detikJabar, Tahrudin (55) mengaku sudah berjualan selama 10 tahun. Usaha kue putu itu ia teruskan dari orang tuanya. Selain kue putu, dia juga menjual klepon.
"Jualan sudah 10 tahun, aslinya saya dari Brebes, Jawa Tengah tapi sudah lama di Sukabumi tapi tiap dua bulan sekali pulang. Ya yang beli ada saja cuma jarang. Jarang yang minat makanan tradisional, kebanyakan kan sekarang pilih cemilan atau makanan yang di kafe-kafe. Banyak kan zaman sekarang makanan-makanan enak terus bisa pesan online juga," kata Tahrudin kepada detikJabar, Kamis (8/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahrudin bergumam, makanan tradisional kini semakin ditinggalkan oleh anak-anak muda. Mereka, kata dia, lebih menyukai makanan cepat saji atau makanan yang dijual di etalase dengan nilai gengsi yang tinggi.
"Padahal kue putu ini punya nilai filosofinya loh. Bikinnya memang sederhana tapi proses pembuatan kue putu itu sebenarnya melambangkan kesabaran dan ketelatenan. Nunggu kue matang sampai sempurna terus menyiapkan bahannya juga harus benar," ujarnya.
Makanan tradisional yang dijualnya itu terbuat dari tepung beras, gula merah dan kelapa parut, dikukus dengan menggunakan bambu sebagai cetakannya. Adonan tepung beras berisi gula merah dimasukkan ke dalam cetakan bambu dan disimpan di atas panci pengukus.
Selanjutnya, kue putu dikukus hingga matang dan disajikan di atas kertas nasi dengan taburan kelapa parut. Perpaduan kelapa parut dan adonan kue putu membuat perpaduan rasa manis dan gurih.
Tahrudin mengatakan, proses pembuatan bahan-bahan kue putu menghabiskan waktu empat jam setengah. Dengan membawa gerobak, ia pun mulai menjajakan kue putu ke berbagai wilayah di Kota Sukabumi.
"Sehari habis tiga kilogram, jualan dari jam 15.00 WIB sampai jam 22.00 WIB. Dari sini ke Kebonjati terus naik ke Cimanggu," ucapnya.
Sebelum berjualan kue putu, ia pernah berjualan sekoteng namun tak berlangsung lama. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali meneruskan usaha orang tuanya.
Penghasilan Tahrudin pun kadang tak menentu. Meski demikian, dari berjualan kue putu, ia bisa menghidupi istri dan empat anaknya. Jatuh bangun dunia usaha pun sempat ia lalui, namun keluarga tetap menjadi motivasi utamanya.
"Anak semua empat, meninggal satu orang, yang tiga sudah berkeluarga semua. Satu anak kerja di Bandung. Alhamdulillah penghasilan jualan bisa menghidupi keluarga. Ya pernah (jatuh bangun) namanya juga kehidupan sebentar jatuh, sebentar bangun lagi, ya motivasi dari keluarga," tutupnya.
(sud/sud)