Sega jamblang menjadi satu dari 13 karya budaya di Jawa Barat yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2023.
Sega Jamblang atau nasi jamblang merupakan sajian kuliner khas Cirebon, Jawa Barat. Ciri khas paling mencolok dari makanan ini adalah penggunaan daun jati yang dimanfaatkan sebagai pembungkus nasi.
Umumnya, di setiap bungkus ukuran nasinya hanya sebesar satu kepal tangan. Sehingga biasanya orang yang ingin menikmati makanan ini minimal akan menghabiskan dua bungkus nasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentunya bukan hanya nasi putih. Dalam sajian kuliner sega jamblang, ada beragam lauk pauk yang bisa dipilih. Seperti tempe goreng, semur tahu, kentang, daging sapi, paru, telur dadar dan masih banyak lagi menu lauk yang bisa dipilih sesuai selera.
Di kebanyakan warung-warung yang menjual nasi jamblang, lauk pauk itu biasanya akan ditata dengan cara berjejer di atas sebuah meja. Konsumen bisa meminta kepada penjualnya jika ingin memilih lauk pauk yang diminati.
Saat berkunjung ke Cirebon, rasanya tidak akan sulit untuk mencari warung-warung yang menjual sega jamblang atau nasi jamblang ini. Sebab, hampir di sepanjang jalur pantura Cirebon, ada banyak penjual nasi jamblang. Baik di wilayah Kabupaten maupun Kota Cirebon.
Di daerah berjuluk Kota Udang ini, penjual nasi Jamblang ada yang masih berupa warung sederhana maupun berbentuk rumah makan modern. Namun menu yang disajikan tidak jauh berbeda, yakni nasi jamblang yang dibungkus daun jati dengan dilengkapi oleh beragam lauk pauk.
Di Cirebon sendiri, penjual nasi jamblang bisa ditemukan mulai dari pagi hingga malam hari. Tidak sedikit masyarakat di Cirebon yang biasa menjadikan nasi jamblang ini sebagai menu sarapan, makan siang, maupun makan malam.
Hingga kini, salah satu sajian kuliner khas Cirebon itu masih banyak digemari oleh berbagai kalangan masyarakat. Baik masyarakat setempat maupun dari luar daerah.
Salah satu warga Cirebon yang mengaku cukup menggemari sega jamblang atau nasi jamblang ini adalah Rohman. Pria 24 tahun itu mengaku cukup sering mampir ke warung-warung yang menjual nasi jamblang.
Menurutnya, dengan banyaknya lauk pauk yang dihidangkan, membuat nasi jamblang bisa menjadi menu makan untuk kapanpun. Baik menu makan di pagi hari, siang maupun untuk malam hari.
"Tapi saya sendiri lebih seringnya makan nasi jamblang itu malam. Untuk makan malam," kata Rohman.
Hal serupa diutarakan oleh Laela (28). Sebagai warga asli Cirebon, nasi jamblang baginya bukanlah makanan yang asing. Laela sendiri mengaku memiliki menu lauk favorit saat mampir ke warung-warung nasi jamblang.
Beberapa lauk favoritnya, kata Laela, yaitu mulai dari sambal goreng, ikan tongkol balado, cumi-cumi, hingga ati dan ampela ayam yang dimasak dengan kuah kecap. Menurutnya, semua lauk pauk itu menjadi pilihan yang pas untuk menikmati nasi jamblang khas Cirebon.
"Favoritnya itu kalau makan nasi jamblang. Kalau waktu makan sih ngga nentu. Kadang siang, kadang malam," ucap Laela.
Penggunaan Daun Jati
Dikutip dari laman Disbudpar Kabupaten Cirebon, sega jamblang merupakan sajian kuliner khas Cirebon yang sudah ada sejak tahun 1847. Asal usul lahirnya sega jamblang ini tidak terlepas dari adanya pembangunan pabrik gula Gempol dan pabrik spiritus di Palimanan saat era pemerintahan Kolonial Belanda.
Kala itu, pembangunan dua pabrik tersebut banyak menyerap tenaga kerja yang berasal dari warga sekitar maupun dari wilayah lain. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai kuli bangunan dan ada juga yang bekerja sebagai buruh pabrik.
Tidak sedikit dari para pekerja itu yang harus berangkat pagi-pagi buta. Terutama bagi mereka yang rumahnya jauh dari pabrik. Sebelum melakukan aktivitasnya, para pekerja itu tentu membutuhkan sarapan.
Namun untuk menemukan penjual nasi para pekerja cukup kesulitan. Sebab pada saat itu ada anggapan jika menjual nasi merupakan sesuatu yang dilarang atau Pamali.
Hal ini lah yang kemudian mendorong H Abdulatif bersama istrinya Ny Tan Piauw Lun atau Mbah Pulung membuat makanan berupa nasi bungkus yang dilengkapi beberapa lauk pauk. Nasi bungkus dengan beberapa pauk itu diberikan kepada para pekerja sebagai bentuk sedekah.
Kabar adanya pembagian nasi bungkus yang dilakukan oleh H Abdulatif bersama istrinya Ny Tan Piauw Lun atau Mbah Pulung ternyata menyebar. Hingga akhirnya semakin banyak pekerja yang meminta sarapan.
Meski begitu Mbah Pulung selalu menolak ketika para pekerja memberikan uang. Namun, para pekerja itu kemudian berinisiatif untuk memberikan imbalan alakadarnya kepada Mbah Pulung.
Saat memberikan makanan kepada para pekerja, Mbah Pulung menggunakan daun jati yang dijadikan sebagai pembungkus nasi. Ada alasan tersendiri mengapa Mbah Pulung menggunakan daun jati sebagai pembungkus nasi.
Hal ini karena daun jati memiliki tekstur yang tidak mudah robek maupun rusak. Selain itu, penggunaan daun jati juga bisa membuat nasi jadi lebih awet dalam waktu cukup lama.
Hingga kini, nasi jamblang masih terus eksis bahkan telah menjadi salah satu kuliner khas Cirebon yang cukup terkenal dan banyak digemari oleh berbagai kalangan masyarakat.
Setelah dari perintis pertama, yakni H Abdulatif dan istrinya Ny Tan Piauw Lun atau Mbah Pulung, pembuatan sega jamblang atau nasi jamblang kemudian diteruskan oleh keturunannya dari generasi ke generasi. Warung makan warisan Mbah Pulung itu bernama Nasi Jamblang Tulen.
(sud/sud)