Budaya Sunda punya keunikan tersendiri dalam hal penamaan jenis kuliner. Nama-nama kuliner khas Sunda bahkan terdengar aneh bagi mereka yang baru pertama mendengarnya.
Di balik keunikan itu, ada alasan tersendiri kenapa kuliner khas Sunda punya nama yang 'aneh' dan menggelitik. Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran (Unpad), Elvi Citraresmana punya alasannya.
Elvi sempat melakukan penelitian tentang 'Tata Nama Kuliner Sunda Sebagai Kearifan Lokal dalam Perspektif Cognitive Onomastics' bersama dosen dan mahasiswa Pascasarjana FIB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam penelitian yang dilatarbelakangi pandemi COVID-19 yang berdampak pada UMKM, ditemukan jika ada suatu sistem pada tatanan nama kuliner Sunda hingga membuatnya unik dan aneh.
Dalam keterangan yang diterima detikJabar, Minggu (12/2/2023), Elvi menjelaskan jika kuliner Sunda banyak yang menggunakan akronim. Namun selain itu, ada faktor lain yang akhirnya membuat nama kuliner Sunda menjadi unik.
"Ada juga nama-nama makanan Sunda yang memiliki bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya jauh lebih mudah diingat oleh orang lain," kata Elvi.
Adapun penelitian dilakukan di tiga kota di Jawa Barat, yaitu Bandung, Garut dan Sukabumi dengan kategori nama jajanan pasar, makanan populer, makanan basah, dan makanan tradisional.
Dari tiga kota ini, ditemukan banyak nama makanan unik, salah satunya makanan yang terbuat dari bahan dasar aci atau tepung kanji.
"Contohnya, Ada makanan yang diberi nama dari cara memakannya seperti citruk. Citruk yang artinya aci ngagetruk menghasilkan bunyi getruk saat digigit karena teksturnya yang keras," ungkapnya.
"Hal ini menjelaskan bahwa hanya dari nama saja bisa menentukan konsumen dan konsumen juga bisa memilih produk yang akan dibeli," lanjut dia.
Elvi juga menjelaskan jika masyarakat Sunda seringkali memberi nama makanan dengan cara diulang-ulang atau reduplikasi. Contohnya, makanan 'bala-bala' diambil dari kata bala yang dalam bahasa Sunda artinya tidak bersih atau tidak rapi.
Menurut dia, nama itu disematkan karena isi dari bala-bala adalah berbagai macam sayuran yang dicampur tepung dan dibentuk secara asal. Selain itu, nama makanan yang direduplikasi dengan mengambil kata kerja.
"Salah satunya adalah gado-gado yang diambil dari kata digado atau dimakan tanpa nasi. Ada pula reduplikasi yang terdapat pada awal silabel seperti rarauwan. Rarawuan diambil dari kata dirawu yang artinya diambil segenggam," paparnya.
Elvi melanjutkan, ada pula nama makanan yang cukup unik, yaitu goréjag. Kata ini merupakan singkatan dari goreng jagung. Goréjag juga adalah sinonim dari ngoréjat yang dalam bahasa Sunda artinya terkejut.
"Artinya saya melihat bahwa orang Sunda ini kreatif. Kreatif, unik, tapi tidak meninggalkan akarnya. Orang Sunda juga dikenal humoris, jadi nama-namanya juga tidak terlalu serius, tapi justru ini yang diingat," jelas Elvi.
Dari penelitiannya itu, Elvi memaparkan jika ada nilai-nilai lokal yang penting untuk diangkat pada makanan tradisional Sunda. Jika penelitian ini bisa dilanjutkan ke linguistic landscape, diharapkan hasil dari penelitiannya bisa menjadi dokumentasi tata nama makanan Sunda.
Selain namanya yang unik, bagi dia, kuliner Sunda tidak kalah enak rasanya dengan jenis kuliner lainnya. Hal ini seyogyanya menyadarkan masyarakatnya untuk terus mempromosikan kuliner Sunda yang pasarnya bisa untuk semua kalangan.
(bba/yum)